Pages

Standupwrongway Fanfict JKT48 : Unreachable (Part 2)

Saturday 25 July 2015
Pagi hari yang begitu damai, gue menghirup udara pagi dalam-dalam sambil mengowes sepeda gue. Terlihat banyak sekali dari anak SD sampai yang sudah bekerja menaiki sepeda mereka dengan santai. Keadaan gue gak begitu baik di pagi hari ini karena gue tidur jam 2 dini hari gara-gara begadang nonton bola, rencananya gue bakal tidur di kelas.

"Awal semester udah lesu gini, ayo semangat ah." Kata Viny yang melihat wajah gue yang ngantuk. Viny adalah orang kedua yang selalu menyapa gue di pagi hari di Sekolah, sementara orang pertamanya adalah satpam sekolah.

Gue melihat Arraufar dan Yuvia sedang bercanda, tangannya udah sembuh ternyata, sementara Valdy sedang membaca novelnya, dan Taufan sedang mengobrol dengan Sinka. Melihat Alex gak ada kerjaan, gue menghampirinya, tapi gue melihat ada yang beda.

"Wess, gila, gantungan kunci loker lu udah bentuk titit ajah." Kata gue sambil memegang gantungannya.

"Woiyaa dong, ini oleh oleh dari Paman gue waktu itu pergi ke Bali, gue gak minta kaos atau apapun, tapi minta gantungan kunci ini ajah." Kata Alex sambil mengelus gantungan bentuk titit itu.

"Loh kenapa gak minta Dhika ajah ngebuatin ?" Tanya gue.

"Dhika bilang dia udah kehilangan kemampuan bikin gantungan bentuk titit, jadinya gitu deh." Jawab Alex seperti bocah yang masih polos, gue lama-lama stress. Gue pun memilih duduk dan tidur untuk memulihkan tenaga gue karena gue yakin hari pertama semester baru biasanya gak belajar.

Gue pun terbangun dan melihat jam sudah menunjukan pukul 9 dan ternyata kelas sudah kosong dan hanya gue yang tersisa padahal belum jam istirahat, gue mengumpulkan nyawa sejenak lalu ingat bahwa setiap hari pertama semester baru pasti ada peringkat keseluruhan hasil rapot semester lalu. Tapi gue lapar dan memutuskan untuk ke kantin membeli makanan. Setelah memesan bubur ayam dan es teh manis gue melihat Shania sedang duduk sendirian sambil mengaduk es teh manisnya, tanpa pikir panjang gue piun menghampirinya.

"Masih sendirian ajah nih ?" Tanya gue sambil duduk dihadapannya, "Boleh ya gue duduk disini ?"

Shania hanya tersenyum lalu berkata, "Iya nih, kayak biasa ajah sendiri soalnya dia lagi-lagi ngehindar gitu."

Gue pun mengaduk bubur ayam itu karena gue adalah tipe pengaduk dan Shania hanya terdiam sambil terus mengaduk es teh manisnya, gue tau dia masih bingung dengan tingkah pacarnya yang serasa menjauhi dia layaknya wabah penyakit.

"Enak ya makannya ?" Tanya Shania sambil melihat gue yang sedang menyuap bubur tersebut dengan lahap.

"Iya, soalnya gue lapar banget tadi abis bangun tidur di kelas." Jawab gue.

"Lu gak liat peringkat semester ?" Tanyanya lagi, gue hanya menggelengkan kepala karena mulut gue penuh dengan bubur.

Setelah menelan bubur yang memenuhi mulut gue tadi, gue menjawab, "Males liat begituan, lagian gue udah pasti menang lawan lu."

"Hahahaha." Shania tertawa kecil lalu termenung sejenak, lalu melanjutkan, "Gue lagi berantem sama Zildjian."

Gue langsung bertanya, "Kenapa ?"

Shania hanya tersenyum sambil mengaduk kembali es teh nya, "Gue tau dia selama ini punya selingkuhan dan ternyata cewek itu juga anggota OSIS."

"Kalau begitu kenapa gak lu labrak ajah, kan lu Ketua OSIS." Kata gue sambil menyuap suapan terakhir dari bubur gue ini.

Shania hanya menggelengkan kepala lalu tersenyum sambil tetap menatap es teh manisnya yang sisa setengah, "Gue gak sejahat itu, walaupun gue selalu bericara dengan nada kasar ke lu, tapi gak mungkin gue menggunakan jabatan gue buat sesuatu yang gak berguna, iya kan ?"

Gue hanya terdiam mendengar perkataannya itu, ternyata dibalik sifatnya yang kasar ke gue ternyata dia cewek yang baik pada biasanya, "Iya juga sih, tapikan dia yang ngebuat hubungan lu sama Zildjian renggang."

"Mungkin Zildjian udah bosen sama gue, makanya dia selingkuh." Kata Shania melanjutkan lalu menghabiskan es teh manisnya, "Gue balik dulu ke kelas ya."

Dia lalu meninggalkan gue sendiri di kantin, ternyata Shania masih bertahan dikala dia disakiti oleh orang yang sangat dia sayangi, gue sedikit kagum dengan dia walaupun di dalam dirinya gue yakin masih menganggap gue rivalnya.

Gue pun membereskan piring dan mengembalikannya kepada ibu-ibu kantin yang sedang ngegosip sama penjual sosis bakar.

Lalu setelah itu gue berjalan menuju ruang kelas dan sempat melewati mading yang penuh oleh kertas yang memuat peringkat semester lalu, gue pun melihatnya.

Kampret, kali ini gue kalah sama dia, gumam gue dalam hati.

***
Keesokan harinya gue pun kembali memutuskan untuk tidur di kelas, kali ini gue duduk di belakang Sinka yang tampaknya keheranan melihat gue sering tidur di kelas.

"Kenapa sih tidur disini mulu ? Di rumah lu gak punya kamar ?" Tanya Sinka sambil membalikkan badannya.

"Yaelah, gue pengen tidur ajah." Kata gue berhenti sejenak, lalu melanjutkan, "Eh Sinka badan lu kan--"

Sinka dengan cepat memotong, "Apa ? Gendut ? Padahal gue cuman gemuk, lu mau gue ngehalangin lu tidur kan pas ada guru masuk ?"

Gue hanya mengangguk, padahal sekarang guru pada rapat.

Ketika sedang mimpi indah, tiba-tiba gue dibangunkan oleh suara gaduh dari seruan Alex dan Dhika, kedua orang gila itu kembali membuat keributan dan samar-samar gue melihat ada guru kesiswaan dan ah siapa dia gue gak tau, pokoknya dia adalah seorang cewek, mungkin dia murid baru dan gue gak memperdulikan itu, tapi kedua orang gila itu kembali ribut dan memaksa gue keluar kelas untuk mencuci muka.

Disaat gue mencuci muka dan minum air di wastafel gue menguping pembicaraan 2 orang yang sedang lewat di belakang gue.

"Eh ada anak baru ya di semester baru ini ? Katanya sih dia cantik, pengen deh gue gebet." Kata satu orang itu.

"Iya ya katanya dia masuk XI-10, kenapa gak masuk kelas kita ajah ya ?" Tanya satu orang teman di sebelahnya.

Cantik ? Kelas XI-10 ? Siapa dia ? Gue tentu penasaran siapa dia tapi gue masih tidak mau mendengar suara kedua orang gila itu. Ketika sedang minum air kran ada yang menepuk pundak gue dari belakang, gue keselek.

"Eh, maaf-maaf." Kata cewek itu, gue keselek dengan cara yang tidak elit.

"Oh nggak apa-apa Beby, kenapa nyamperin gue ?" Tanya gue berbasa-basi.

"Hehe, mau ke taman gak ?" Ajak Beby ke gue. Gue mengiyakan lalu kita pergi ke taman.

"Hmm, Zaki aku mau ngomong nih sama kamu." Kata Beby setelah kita duduk di taman, gue hanya mengangkat alis, lalu dia melanjutkan, "Aku lagi suka sama seseorang."

Gue kaget tentunya, tapi gue tau dia gak suka sama gue, "Jangan bilang kamu suka sama kakak kelas yang aku hajar."

"Ya bukan lah, tapi aku suka sama..." Kata Beby gantung, gue menatapnya penasaran, "Aku suka sama... Hmm..." Gue pun menunggu Beby mengeluarkan kata-katanya sambil mengupil, "Aku suka sama Dhika, temen kamu itu."

Gue pun menahan nafas dan kelingking gue gak mau keluar dari lubang hidung, ternyata si pembuat gantugan titit ada yang suka! Pesona apa yang dipancarkan Dhika sampai bisa memikat hati Beby, gue bertanya. "Kok bisa suka sama dia ?"

"Kok kamu nanya gitu sih, ya aku suka ajah sama dia, soalnya waktu itu.. Ah engga ceritanya panjang." Kata Beby sambil memandangi pepohonan.

"Engga, ya baguslah kamu suka sama dia, Dhika orangnya baik tapi kelakuannya aneh ya aku yakin kamu cocok sama dia." Kata gue mencoba mempromosikan Dhika. Setelah beberapa menit kami berdua kembali ke kelas masing-masing.

Sampai di kelas, gue melihat ada satu meja yang dikerubungi temen-temen gue kecuali si Valdy yang masih fokus sama novelnya, gue pun menghampirinya.

"Eh roda koper, murid barunya siapa sih ?" Tanya gue ke Valdy yang langsung menutup novelnya lalu mendekat ke arah gue.

"Lu kenalan ajah sendiri, pasti gak kaget kok dia siapa, lagian gue juga belum salaman sama dia. Males banget." Kata Valdy sambil memandangi kerumunan itu, gue pun menghampiri mereka.

Taufan menepuk pundak gue, "Eh Zak, kenalin nih---"

"Eh Zaki ? Kamu Zaki kan ?" Kata murid baru itu, gue menelan ludah dan seakan gak percaya. Teman-teman gue menatap gue dengan tatapan heran.

"Ka.. Kamu... Shani ?" Tanya gue kembali, dia hanya tersenyum lalu mengulurkan tangannya.

"Kayaknya kita harus kenalan lagi, Aku Shani Indira." Kata dia.

Gue menjabat tangannya, "Gue Ichsan Zaki, KM disini dan orang yang diujung sana lu juga pasti tau dia siapa."

Valdy menatap gue, "Kampret lu." Valdy lalu menarik nafas lalu menjelaskan, "Shani tuh dulu adalah temen curhatnya Zaki dan temen gue juga, tapi pas kelas X dia pindah entah kemana gue gatau, eh pas kelas XI dia pindah kesini, kayaknya Zaki bahagia tuh."

Gue pun membantah, "Gak, gue biasa ajah! Kampret lu Valdy!"

"Ciee... Ciee.. Zaki." Kata Arraufar sambil tersenyum, gue pun rasanya ingin mematahkan tangannya lagi.

Senang ? tentu! karena sahabat lama gue kembali dan ternyata kami sekelas kaya di SMP dulu, gue dulu sempat suka sama Shani ini tapi sayangnya dia hanya menganggap gue sebatas sahabat dan gak lebih. Shani sering mendengarkan curhatan gue dan sebaliknya, gue rasa dia mungkin bisa membantu jika gue mengalami kebuntuan dalam berbagai masalah. Terutama...

Ah kok gue jadi memikirkan si Ketua OSIS itu.

***

Dua minggu setelahnya, saat bel pulang sekolah berbunyi, gue berniat pergi ke lapangan sebentar untuk bermain bola sama teman-teman gue. Ternyata Valdy sudah ada dilapangan duluan, gue pun disapa salah satu teman gue.

"Heh Zaki, ngomong-ngomong anak baru yang di kelas lu udah punya pacar belum ?" Tanya Untung, teman gue yang menghuni kelas XI-6, dia tetangga gue, rumah kami hanya berjarak 50m.

"Udah dong, kebetulan pacarnya lagi ngomong sama lu sekarang." Kata gue bercanda lalu memeperin upil gue ke bajunya.

Untung menjitak gue lalu membalas dengan kembali memeperkan upilnya ke baju gue, kita berdua terlihat seperti 2 pria yang kekurangan ilmu.

"Jangan kebanyakan bohong lu, ayo main cepetan, masuk tim gue!" Seru Untung.

Setelah 30 menit bermain gue pun beristirahat, ternyata gue cocok juga main satu tim sama Untung, terlihat Valdy begitu kewalahan menutup ruang gerak Untung. Handphone gue pun bergetar.

"Ada waktu ? Ketemuan di cafe biasa bisa gak ?" Kata seseorang ngeline gue.

"Hooh sip, aku kesana." Balas gue.

"Ajak Valdy sekalian ya!" Kata dia.

Gue mengiyakan lalu memanggil Valdy yang sedang bermain dan memberikan handphone gue ke dia.

Valdy mengkerutkan kening, dia berkata. "Aduh, gue lagi asik nendangin kaki orang padahal, ayok cabut!"

Kami berdua pun menuju cafe yang terletak di mall yang tak jauh dari sekolah menggunakan sepeda. Sesampainya disana kita langsung parkir dan pergi ke cafe.

"Ada apa nih ?" Gue melihat Kak Melody duduk bersebelahan dengan Kak Veranda yang sedang memainkan handphonenya.

Kak Melody tersenyum, "Oh engga, cuman mau nraktir kalian berdua ajah soalnya udah lama gak nraktir adik kelas yang baik hati ini."

"Yaudah aku pulang ajah ya kalau gitu ?" Tanya Valdy, gue tau Valdy menganggap ini hanya buang-buang waktu.

"Eh jangan pulang, udah disini ajah." Kak Ve menahan Valdy sambil menyimpulkan senyum tipis. Valdy langsung duduk kembali lalu memesan minuman.

"Hmm Zaki, gimana kabar Reyhan ?" Tanya Kak Melody menanyakan Abang gue.

"Oalah, nanyain mantan pacarnya, dia baik-baik ajah dan kabar baiknya dia masih jomblo." Kata gue. Abang gue sendiri adalah mantan pacarnya Kak Melody.

"Eh, yang bener ? Seriusan kamu Zaki ? Dia masih jomblo ?" Tanya Kak Melody sambil menopang dagunya.

"Kak, masih sayang ya sama Bang Reyhan ?" Tanya gue balik, Kak Melody hanya mengangguk.

"Udah balikan ajah, aku dukung kok." Kata Kak Ve sambik menepuk pundak Kak Melody, lalu melanjutkan, "Kebetulan aku juga lagi suka seseorang--"

"Siapa ?" Potong gue dengan cepat, ingin mengetahui siapa yang di sukai Kakak kelas gue yang paling cantik ini.

"Orangnya dulu sempet suka sama aku, tapi dulu aku gak suka sama dia dan entah kenapa aku jadi suka sama dia sekarang." Ujar Kak Ve.

Valdy mencondongkan mukanya ke depan, "Dulu aku suka sama Kak Ve, hehehe."

Gue dan Kak Melody langsung menatap Valdy dengan tatapan bingung, Kak Melody bertanya, "Serius ?"

"Orang yang Kak Ve maksud mungkin itu aku." Kata Valdy.

"Kamu masih suka kan sama aku ?" Tanya Kak Ve.

Valdy menatap jendela dan melihat bayangannya sendiri, lalu menggeleng pelan. Kak Ve hanya tersenyum melihat orang yang disukainya ini.

"Kamu udah punya pacar emangnya ?" Tanya Kak Melody.

"Ehh... Kalo itu.. Hmm... Belum kayaknya. Hehehe." Kata Valdy, gue melihat tingkahnya yang aneh ini, curiga sebenarnya dia udah punya. Tapi siapa ?

"Kok gitu sih jawabnya, kalau punya ya bilang ajah." Kata Kak Melody, "Eh Zaki, bilangin ke Reyhan nanti aku main ke rumah ya, jujur aku kangen sama dia."

Gue hanya mengangguk, sementara Valdy dan Kak Ve saling diam satu sama lain, setelah laa di cafe itu akhirnya kami membubarkan diri.

"Jangan nyesel dy lu udah gituin Kak Ve, gue kalau jadi lu langsung gue pacarin dia." Kata gue sambil menyenggol siku Valdy.

"Hahaha, kampret, gak gue gak nyesel kok, lagian sebenarnya gue udah punya seseorang yang lebih baik dari Kak Ve. Udah ah gue pulang dulu." Kata Valdy mengayuh sepedanya dengan cepat, lalu belum jauh Valdy berhenti dan berteriak, "Menurut gue, lu cocok sama Shania, gue jamin!"

Valdy kampret, gue jadi mikirin dia lagi.

***

Hari sabtu pagi pun tiba, gue lagi bersepeda keliling kota bersama Bokap dan Abang gue. Disaat berkeliling gue bertemu Arraufar dan Taufan yang sedang minum di pinggir jalan.

"Woy, bareng gak ?" Tanya gue.

"Siap Zak!" Seru Taufan.

Akhirnya setelah berkeliling kota kami pun pulang ke rumah masing-masing, gue pun langsung mandi dan memilih untuk tidur karena lelah.

"Ichsan, bangun!" Bokap gue membangunkan dan jam menunjukan pukul 2 siang, gue lapar berat.

Bokap melanjutkan. "Ada yang nyariin kamu itu diluar, Papa gatau siapa."

Mungkin itu Arraufar atau gak Taufan. Gue pun langsung turun ke bawah dan menuju keluar. Dan ternyata itu orang yang gak gue duga kedatangannya.

"Eh, Ketua OSIS ? Ada apa kesini ?" Tanya gue ke Shania yang datang tiba-tiba.

"Zaki, panggil gue Shania ajah." Kata Shania.

"I.. Iyaa... Shan, ngapain kesini ?" Tanya gue kaku.

"Cuman pengen main ajah, temen-temen gue pada jalan sama pacarnya." Kata Shania sambil menundukan kepalanya, gue tau apa yang dia dirasakan.

"Hmm... Yaudah deh masuk." Kata gue.

Gue mengajak Shania ke meja makan karena gue udah lapar berat dan ternyata meja makan kosong akan makanan, KENAPA DINAMAIN MEJA MAKAN KALAU BEGINI!

"Oh iya, gue baru inget Nyokap gue pergi ke Belanda sama teman arisannya jadinya gak ada yang masak, gue masak dulu ya, lu udah makan ?" Tanya gue ke Shania. Shania menggeleng.

Langsung gue pun langsung menuju dapur dan melihat-lihat isi kulkas. Ternyata Nyokap pergi ke Belanda dengan meninggalkan sedikit harapan, cuma ada 2 ikat kangkung dan sebungkus karage yang siap masak.

"Shan! suka kangkung gak?" Tanya gue sambil memastikan bahwa Shania suka kangkung.

"Suka banget Zak! Itu makanan favorit gue!" Seru Shania.

Disaat gue sedang mengiris bawang dan cabe, sambil memasak karage, Shania menghampiri gue ke dapur. "Zak, mau gue bantuin gak ? Kebetulan gue bisa masak kangkung !"

"Gausah Shan, gue gak mau ngerepotin lu, serius jangan biar gue ajah." Kata gue, tapi Shania tetap memaksa sehingga gue mengiyakan dia membantu gue. Disaat masak pun kami sedikit-sedikit bercanda, untung kami tidak bercanda seperti mengiris tangan satu sama lain dengan bahagia.

"Makasih ya udah bantuin gue." Kata gue setelah masak.

"Hahaha, iya-iya." Kata Shania sambil tersenyum. "Lu jago juga masak."

Kami berdua pun makan tanpa bersuara karena terlalu fokus menikmati Cah Kangkung yang enak ini, gue kebetulan bisa masak gara-gara Bokap dan Nyokap gue juga suka masak, jadi apa salahnya anaknya juga suka.

"Eh Shan, ke ruang tamu ajah yuk." Ajak gue, Shania hanya mengangguk.

Di ruang tamu, gue membolak-balik halaman koran dan tidak ada berita yang menarik, gue pun memilih mengobrol Shania yang terlihat diam.

"Shan, kamu masih berantem sama Zildjian ?" Tanya gue.

"Duh, kok jadi aku-kamu gini sih." Kata Shania.

"Gapapa, enak ajah dan lagian kita udah kenal lama." Ujar gue membuat alasan.

"Iya dia masih menjauh dari aku, padahal aku sayang banget sama dia dan heran kenapa dia jadi gini gara-gra cewek itu." Kata Shania, kayanya rasa sayang Shania ini tidak dihargai oleh Zildjian yang berani selingkuh di belakangnya. Shania lalu bercerita panjang tentang hubungannya yang kampret ini.

"Terus, sampai kapan kamu kaya gini terus ?" Tanya gue.

"Sampai aku benar benar lelah sama keadaan ini, mungkin." Shania lalu tertunduk sambil menutup wajahnya.

Sampai lelah ? Gue yakin Shania ini sudah lelah! Tapi dia memilih bertahan sama orang yang dicintainya ?

Tak terasa udah jam setengah 7 malam dan Shania udah menghabiskan 6 gelas sirup yang gue berikan, dan untungnya dia gak makan permen whisky yang ditaruh di atas meja karena bisa bikin mabok.

"Shan, ke taman kota yuk, aku traktir siomay langganan aku. Mau gak ?" Ajak gue ke Shania.

"Ayo boleh kebetulan aku juga lagi laper." Kata Shania, gue langsung bergegas mengganti baju dan mengambil kunci mobil.

Diperjalanan, Shania terus bercerita seperti saat malam kami berdua dinner dan seperti biasa gue hanya mendengar ceritanya yang terbilang menarik tapi kayaknya terkesan ada yang dilebih-lebihkan.

"Mang Adat! Siomay 2 ya!" Kata gue menyapa Mang Adat yang menjual siomaynya sejak lama di taman ini.

Mang Adat hanya tertawa melihat gue lalu melihat Shania di samping gue. "Waahhh ada Zaki, sekarang mah udah bawa cewek ya dulu biasanya sendiri. Pacar ya ?" Shania hanya tersenyum melihat tingkah Mang Adat.

"Eh bukan Mang, ini temen saya bukan pacar." Bantah gue. Mang Adat hanya tersenyum, gue dan Shania lalu duduk menunggu siomaynya datang.

Disaat makan Shania terus saja berbicara, gue dengan senang hati mendengarnya.

"Kamu kayaknya butuh teman ngobrol ya ?" Gue menyela omongan Shania.

"Hooh, soalnya gue udah jarang cerita sesuatu ke orang." Shania menyilangkan sendok dan garpunya setelah makan, lalu melanjutkan, "Biasanya aku ngobrol sama Zildjian, tapi dia nyuruh diem mulu gara-gara aku bawel." Kata Shania sambil melihat sekelilingnya lalu mencondongkan mukanya kedepan, "Kayaknya kamu orang pertama yang gak ngeluh kalau aku banyak omong."

Tentu saja, gue suka cewek yang banyak omong karena mereka bersifat terbuka. Gue gak suka ajah sama cewek yang suka diam seperti menyembunyikan sesuatu yang Top Secret bagi dirinya misalkan dia ternyata berjakun.

"Ya engga apa-apa, lagian di dalam mobil jadi rame gak kaya dulu gue kemana-mana sendiri tak ada yang bersuara kecuali penyanyi di radio." Kata gue.

Shania tertawa, gue langsung membayar siomay ini ke Mang Adat, saat membayar tiba-tiba Mang Adat merangkul gue, "Kayaknya kamu harus ngejaga dia deh, firasat saya sih gitu."

Saat pulang, gue sengaja mematikan radio agar terus mendengar celotehan Shania, entah kenapa gue suka kalau dia sedang bercerita.

Dan bisa gue katakan...

Zildjian emang bego menyia-nyiakan cewek seperti dia.

***

Hari senin yang begitu damai, gue membuka loker dan mengambil CD Dance Hits Vol.11-1 yang gue pinjam dari Arraufar.

Saat gue berjalan di koridor kelas XI menuju kelas gue yang terletak paling ujung, gue melihat Shania dan Zildjian sedang berselisih.

"Kamu berani-beraninya selingkuh di depan aku kemarin!" Kata Shania sambil mengusap air matanya. Dia menangis.

"Itu gak seperti yang kamu lihat Shan." Kata Zildjian sambil memegang tangan Shania.

"Jelas-jelas kemarin kamu meluk dia! Di depan aku lagi!" Kata Shania sambil mencoba melepaskan pegangan Zildjian. "Lepasin gak!"

"Aku gak akan ngelepasin, maafin aku Shania!" Kata Zildjian dengan nada sedikit kasar.

"Aaawww sakit. Lepasin ih!" Shania merintih kesakitan, gue gak suka kalau ada cowok yang nyakitin cewek, tapi gue gak bakal ikut campur untuk urusan ini. Akhirnya Shania berhasil melepaskan tangannya dari genggaman Zildjian dan menamparnya.

"Kita putus! Aku gak bisa disakitin lebih lama lagi sama kamu! Aku capek!" Kata Shania lalu masuk kedalam kelasnya. Zildjian memegang pipinya dan melihat gue dari kejauhan, dia pun menghampiri gue.

"Pas istirahat gue mau lu keatas gedung sekolah, Gue tunggu!" Kata Zildjian sambil memegang pipinya yang ditampar Shania. Gue pun langsung berjalan ke kelas dan melihat Shania sedang menangis sambil ditenangkan oleh teman-temannya.

Bel istirahat berbunyi, gue langsung ke atap gedung sekolah, sampai disana gue melihat ada 3 orang yang seperti menunggu seekor mangsa. MAMPUS! GUE BAKAL DIHABISIN DISINI!

Gue melihat 3 orang itu adalah Zildjian, kakak kelas yang gangguin Beby, dan yang satu lagi sepertinya bukan manusia dan dia memiliki rambut cepak yang mengecewakan.

"Datang juga lu! Maksud lu apa ? Ngerusak hubungan gue sama Shania ?!" Kata Zildjian tidak ramah.

Gue hanya mengangkat bahu tanda tidak peduli, kabur adalah hal yang gue pikirkan pertama kali tapi apa gunanya.

"Gue Sofyan, berani-beraninya lu ngerebut Beby dari gue!" Seru si Kakak kelas yang gue hajar waktu festival budaya. Mungkin ini maksud dari 'Awas lu' yang dia katakan.

"Gue Saon," Kata si rambut cepak, tentunya itu nama yang buruk untuk dilafalkan.

Gue menghela nafas panjang, "Terus ?"

"Bangsat lu!" Kata Zildjian lalu mendorong gue dan meninju pipi gue, gue tersungkut lalu Sofyan menarik kerah seragam gue dan meninju pipi sebelah kanan. Gue dalam posisi jatuh, badan gue kaku padahal gue ingin membalas.

"Dasar lemah! Ini cowok yang berani ngerebut Shania dari gue ?" Zildjian menendang perut gue, untungnya gue belum makan dari pagi sehingga tak perlu ada yang gue muntahkan.

3 orang itu menghajar gue dengan buas, gue hanya pasrah ditonjoki, ditendang, dan dipukul. Tak ada niat membalas, karena gue gak mau ngelawan 3 orang pengecut ini yang beraninya keroyokan.

Daaakk! Bunyi yang keras itu berasal dari pintu yang terbuka, mereka bertiga melihat pintu itu ternyata ada Arraufar dan Valdy yang datang lalu menendang muka Zildjian dan Sofyan bersamaan, mereka terkapar lalu saat Arraufar ingin menghajar Saon, gue berteriak, "Woy, Jangan hajar dia! Dia kagak salah" Gue berusaha teriak tapi apadaya Saon terlanjur dihajar sama Arraufar, dia pingsan.

Valdy menginjak kedua tangan Sofyan, "Kenapa ngehajar temen gue ? Mau gue mampusin lagi ? Udah ngegangguin Viny terus ngegangguin temen gue ?" Sofyan terlihat meminta ampun, Valdy terus menginjaknya. Hah ? Viny ?

Arraufar membantu gue yang udah babak belur, "Sorry telat, gue jajan dulu tadi, btw rencana kita berhasil kan ?"

"Kayaknya," Gue mencoba berbicara banyak tapi pipi gue terasa sakit. Tentunya, gue udah bilang ke mereka berdua tentang hal ini, tapi mereka telat datang.

"Bawa ke UKS, gue izinin ke si Tulus dulu, lu gausah masuk selama 3 hari ya, muka lu hancur gitu!" Kata Valdy.

Gue pun diobati oleh anak PMR yang sedang berjaga di UKS, Valdy lalu datang dengan surat dan tas gue.

"Pulang sana, naik MRT ajah, sepeda lu biar si Untung yang bawa." Kata Valdy sambil melihat anak PMR yang sedang mengobati gue, "Eh lu Michelle kan ? Yang bener ngobatinnya."

"Iya, kak"

***

Selama 3 hari gue beristirahat, Nyokap gue setia menemani disamping gue. Teman-teman gue datang menjenguk ke rumah, sementara Shania tak sekalipun menjenguk gue. Mungkin dia gak tau gue dihajar mantan pacarnya.

Setelah beristirahat 3 hari, gue pun masuk sekolah dan sepanjang hari di sekolah gue hanya berdiam diri di kelas karena belum sepenuhnya pulih.

"Udah baikkan belum ?" Tanya Viny seraya tersenyum.

"Hehe, udah kok, senyum dari kamu udah obat tersendiri dari aku." Kata gue sambil mencoba tersenyum, tapi pipi gue masih sedikit bengkak.

"Idih gombal," Kata Viny lalu pergi.

Bel pulang sekokah berbunyi, gue pulang naik MRT karena gue gak bawa sepeda, saat berjalan menuju stasiun gue melihat Shania sedang berjalan sambil memainkan handphone-nya.

Gue menghampirinya lalu memegang pundaknya, "Hey Sh..."

Brak! Gue ditonjok oleh Shania lalu gue terjatuh. Shania yang mengetahui kalau orang yang di tonjoknya itu gue langsung meminta maaf, "Eh Zaki, maaf-maaf aku kira tadi tukang hipnotis, ternyata kamu. Maaf!"

"Eh iya gapapa."

"Yaudah, sebagai permintaan maaf aku traktir minum di cafe ya!" Kata Shania, gue mengangguk.

Sesampainya di cafe, Shania melihat muka gue yang begini kaget.

"Mantan kamu, wakil kamu yang ngebuat muka aku begini." Kata gue.

"Kok bisa ?" Tanya Shania seraya memegang pipi gue yang ditonjoknya tadi, gue meringis kesakitan.

"Soalnya dia kira aku jadi perusak hubungan kamu sama dia." Jawab gue sambil merasakan enaknya dielus-elus Shania.

"Makasih." Kata Shania sambil terus memegang pipi gue yang makin lebam gara-gara di tonjok tadi.

Gue memegang tangan Shania lalu menjauhkannya dari pipi gue, "Buat apa ?"

Shania hanya menggeleng pelan, kami berdua pun hanya terdiam satu sama lain. Gue sibuk mengaduk kopi panas ini sementara Shania mendiamkan Frappucinonya yang terlihat lezat itu.

Shania lalu memecah keheningan, "Dia bener-bener nyakitin gue waktu hari minggu, tepat saat dia berulang tahun."

Waktu hari minggu itu, Shania pergi ke rumah Zildjian dengan maksud memberikan surprise, namun apa daya ternyata Zildjian tidak ada dirumahnya, Shania lalu menunggu. Saat Zildjian tiba disaat itu Shania terlihat senang, namun ketika ada cewek lain di sebelahnya Shania terdiam dan mereka berpeluka. Tentunya, dia sakit hati melihatnya lalu langsung memilih pulang dan tak menghiraukan teriakan Zildjian memanggil namanya.

"Tapi, pas putus dari dia kok aku jadi lega padahal aku sayang banget sama dia." Kata Shania. Gue merasa lucu ajah. Shania melihat gue tertawa kecil bertanya, "Kok ketawa ?"

"Lucu ajah, masa langsung lega putus dari orang yang di sayang."

Shania kembali memegang pipi gue yang ditonjoknya, "Dia udah nyakitin aku dan tak menghargai rasa sayang aku ke dia."

"Duh enak di pegang gini, jadi cepet deh sembuhnya." Kata gue.

"Dih gombal!" Shania lalu memukul pelan pipi gue.

"Aw!"

Setelah minuman kami berdua abis, kami pun berjalan kembali ke stasiun lalu menaiki kereta. Ternyata dia turun di stasiun yang sama dengan gue.

"Eh kita samaan turunnya, rumah aku di blok J." Kata Shania.

"Aku di blok H." Ujar gue.

Kami berdua berpisah di pertigaan jalan, gue merasa baikkan setelah pipi gue di elus-elus Shania tadi. Tapi hari ini sayangnya...

Gombalan gue hari ini ke dua cewek gagal.

***

Sebulan berlalu, frekuensi pertemuan gue dengan Shania bisa dibilang sering walaupun kami berdua menjaga jarak jika di sekolah, sementara jika malam minggu kami berdua sering jalan-jalan berdua.

"Mid-test seminggu lagi ya ? Gimana kalau kita belajar bareng ?" Kata Sinka, kami semua lagi berkumpul di meja Valdy dengan tujuan mengganggunya membaca novel.

"Ayo ajah tapi di rumah siapa ?" Tanya Arraufar sambil memainkan pipi Yuvia.

Kami semua menunjuk Valdy.

"Oh yaudah di rumah gue ajah, kapan ?" Tanya Valdy pasrah.

"Sabtu ajah, btw PS lu masih ada kan ?" Tanya Alex.

Valdy hanya mengangguk.

"Ok hari sabtu ya!" Kata gue, semua mengiyakan.

Hari Sabtu, kami semua berada di ruang tamu rumah Valdy.

"Hoy, ayo naik ke kamar gue semua." Kata Valdy. Kami semua lalu menuju kamar Valdy.

"Kamar lu lumayan gede, tapi sayang masih gedean kamar gue." Kata Arraufar yang memang memiliki kamar yang besar dan rumah yang besar juga. Orang kaya.

"Ngomong-ngomong rak buku lu dimana dy ? Kok gue liat gak ada ?" Tanya Sinka.

"Disini nih." Kata Viny sambil membuka laci yang terletak dibawah tempat tidur. Gue heran kok Viny bisa tau.

Sinka bertanya lagi "Lah kok kamu tau Vin ? Apa jangan-jangan..."

Viny dengan cepat memotong. "Eh engga kok, aku tau ajah soalnya aku juga biasa nyimpen buku di laci bawah tempat tidur."

"Jangan banyak alasan ah Vin, hayooo kamu sama Valdy ada apa ?" Sinka mulai memojokkan Viny dengan pertanyaan itu. Viny hanya diam.

"Woy mau belajar gak ?" Kata Valdy.

"Lah lu sendiri kenapa megang joystick ?" Tanya Taufan sambil membuka buku.

"Gue nyusul ajah, eh Alex ayo lu main PES sama gue, yang kalah push up 50x." Kata Valdy dengan polosnya menghidupkan PSnya.

"Ayo." Alex mengiyakan, semua memandang mereka berdua dengan tatapan aneh.

Semua pun belajar bersama, Arraufar sering ditanyai oleh yang lain karena dia pintar. Gue memilih membaca majalah di balkon kamar Valdy.

Tak berselang lama, tiba-tiba ada yang menepuk kepala gue, "Mentang-mentang peringkat 5 jadi gak belajar gitu ?" Tanya Arraufar.

"Males, gak ada mood." Jawab gue.

Kami berdua terdiam memandangi langit yang biru, sambil diiringi suara teriakan Alex yang bernada kecewa.

"Gue jadi inget waktu gue nembak Yuvia di lapangan, cuacanya cerah kayak gini." Kata Arraufar sambil memandangi langit.

"Keren banget menurut gue, lu berani banget." Kata gue, "Boleh dong gue denger cerita lu awal ketemu Yuvia ?"

Arraufar hanya mengangguk lalu mulai bercerita.

Waktu Arraufar kelas IX SMP, dia menghadiri acara kantor Bokapnya dengan tujuan ingin makan karena Nyokapnya pada saat itu gak masak. Ketika Arraufar sedang makan, datang seorang perempuan yang cantik duduk disebelahnya, awalnya Arraufar malu untuk berkenalan tapi akhirnya dia memberanikan diri. Mereka berdua pun berkenalan, cewek itu bernama Cindy Yuvia yang ternyata adalah anak staff Bokapnya Arraufar, Yuvia terlihat cantik dengan dress warna merahnya.

Tak butuh waktu lama, mereka berdua langsung akrab satu sama lain. Yuvia sendiri adalah murid pindahan dari Jepang, sementara Arraufar adalah makhluk asing yang dilahirkan di semak-semak belukar.

Arraufar semakin bahagia ketika mendengar bahwa Yuvia ini masih jomblo dan dia belum pernah pacaran sama sekali. Mereka berdua akhirnya berpisah dari pertemuan yang tak terduga itu, tapi untungnya sebelum berpisah mereka berdua sempat berfoto. Arraufar mengira ini adalah saat pertama dan terakhir dia bertemu denganya.

"Tapi, gue berharap dia satu SMA sama gue dan ternyata, lu liat sendiri, bukan hanya satu sekolah, tapi satu kelas!" Seru Arraufar, gue hanya tersenyum mendengar ceritanya. Dia melanjutkan, "Tololnya, saat itu gue gak sempet minta No. Handphonenya."

"Ketika gue ngeliat lu dari atas gedung nembak Yuvia, gue melihat lu sebagai orang yang romantis." Kata gue sambil menepuk pundak Arraufar. Arraufar sendiri nembak Yuvia di lapangan basket.

"Iya, disaat cowok lain ngasih boneka, bunga, atau coklat. Gue saat nembak dia malah ngasih..."

Gue dengan cepat memotong. "Album Foto. Ya Album foto yang berisikan foto Yuvia yang lu foto secara diam-diam."

Arraufar tertawa, "Hahaha, gue gak bakal menyia-nyiakan bakat fotografi gue, sekalipun pas nembak cewek."

Keren, pikir gue dalam hati.

Gue dan Arraufar masuk ke dalam dan belajar, sementara Alex sedang push up karena kalah dari Valdy.

Tak lama kemudian ada yang mengetuk pintu, Valdy terlihat berbincang sebentar lalu masuk dengan membawa makanan dan diikuti oleh seorang cewek yang gak asing bagi gue.

"Eh Megumi, abis bangun tidur ?" Tanya gue.

"Oh engga, aku udah bangun dari pagi tapi tadi abis nonton film ajah di kamar." Jawab Megumi sambil meletakkan gelas dan sirup. Megumi adalah adik perempuan Valdy.

Lalu ada seorang perempuan datang dengan memakai baju tidur, terlihat mukanya masih ngantuk.

"EH ?! Kamu ? Shania ? Kok bisa ada disini ?" Tanya Arraufar kaget, gue tidak terkejut dengan hal ini tapi hanya merasa bingung kok bisa Shania ada disini, make baju tidur lagi.

"Kak Shania ini sepupu aku, dia semalem nginep di kamar aku." Kata Megumi sambil memeluk nampan.

"Hah ?! Kalau dia sepupu kamu berarti Shania sepupu Valdy dong ?" Tanya Sinka terlihat bingung. Valdy dan gue berteman dari SD sampai sekarang, tapi kok gue baru tau ternyata Shania ini sepupunya.

Gue masih membisu, Shania menggosok matanya lalu berkata, "Loh, kalian belum tau ? Kirain Valdy ngasih tau kalau aku sepupunya."

Alex menjitak Valdy, "Jangan jadi pendiam lu kalau di kelas! Sampai-sampai gue gatau Ketua OSIS ini sepupu lu sendiri."

"Shania, bantu aku dong ngerjain soal ini, kan kamu peringkat 4 di semester lalu, peringkat 5 disini gak ada gunanya." Kata Viny sambil menatap gue dengan sadis. Gue menelan ludah.

"Oh iya-iya, aku bantu." Shania lalu duduk disebelah Viny.

Kami semua pun belajar dengan normal kecuali Valdy yang sedang menonton TV sambil memakan kacang. Gue gak fokus belajar karena terus menerus melihat Shania yang tampak cantik walaupun abis bangun tidur.

"Woy Zaki, jangan ngeliatin Shania mulu lu!" Seru Valdy tanpa melihat kearah gue dan terus fokus nonton TV.

"Eh engga! Jangan sembarangan lu!" Gue membantah.

Setelah belajar kami semua hanya mengobrol ringan, sementara Alex sedang ada di kamar mandi karena kebelet boker, Valdy menguncinya diam-diam dari luar.

"Eh Shani, kamu kenal sama Zaki dari kapan ?" Tanya Taufan ke Shani yang duduk disebelahnya.

"Hmm, dari hari pertama MOS di SMP, kebetulan aku satu kelompok sama Zaki." Kata Shani sambil tersenyum ke arah gue.

"Gue kenalan ajah sama dia, soalnya dia terlihat kesepian gitu gak ada temen." Kata gue.

"Engga gitu ceritanya." Kata Valdy sambil memainkan kunci, "Zaki bilang ke gue kalau Shani itu cantik, terus gue paksa Zaki kenalan sama dia. Dia canggung abis pas kenalan di depan Shani."

Gue melempar kacang ke arah Valdy, Shani hanya tertawa mendengar cerita Valdy, sementara Shania hanya diam memakan kacang sambil terus menyimak apa yang kami ceritakan bertiga mengenai masa-masa saat SMP dulu.

"Iya gue akuin Shani itu baik dan cantik pula, gue dulu sempet naksir, tapi sekarang engga, bahkan gue kayaknya udah menemukan seseorang yang--"

"Siapa ?" Potong Shania tiba-tiba..

Gue hanya tersenyum, lalu melanjutkan. "Kalau ditanya siapa ? Gue gak bakal jawab siapa. Gue hanya perlu menjawab dengan tindakan, bukan ucapan."

"Idih, lebay banget sih lu!" Kata Sinka. Taufan menepuk pundak gue.

"Eh Valdy, lu udah punya pacar kan ?" Tanya Arraufar, gue dan teman-teman penasaran dengan Wakil KM yang aneh ini.

"Kalau gue jawab iya lu semua pasti nanya-nanya, kalau gue jawab engga semua pasti bilang kalau gue bohong." Kata Valdy.

"Yaudah, jawab ajah sih punya apa engga, jangan buat aku penasaran." Kata Viny sambil menatap Valdy, "Maksud aku jangan buat kita semua penasaran."

"Iya, aku--"

"WOY KAMPRET! SIAPA YANG NGUNCIIN GUE! WOY BUKAIN!" Teriakan Alex memotong omongan Valdy, Valdy bergegas membukakan pintunya. Alhasil, Valdy kembali dijitak sama Alex.

"Eh lu belum jawab pertanyaan Arraufar, lu udah punya pacar belum ?" Tanya Taufan setelah Valdy duduk kembali, gue juga penasaran.

"Iya, gue udah punya, kenapa emangnya ?" Tanya Valdy dengan santai, ekspresi muka Viny berubah.

"Tuh kan, aku jadi tau kamu udah punya pacar, kenapa gak dari dulu aku tau kamu udah punya." Kata Viny sambil menyimpulkan senyum yang dipaksakan, lalu dia melanjutkan. "Kenapa gak dari dulu aku tau kamu udah punya pacar." Viny menutup mukanya.

"Eh Viny, kamu kenapa ?" Tanya gue khawatir dia tiba-tiba menutup mukanya.

"Gapapa." Viny mengangkat mukanya kembali. Tampaknya Viny kecewa karena orang yang disukainya sudah mempunyai pacar.

Tak terasa sudah jam 5 sore, kami semua membubarkan diri. Gue sendiri pulang jalan kaki karena rumah gue dan Valdy dekat.

Saat di jalan tiba-tiba ada seseorang yang memanggil nama gue, entah kenapa gue tersenyum mendengarnya.

"Ada apa Shania ?" Tanya gue ke cewek yang memanggil tadi.

"Aku pengen pulang lah, tapi kebetulan jalan pulang kita searah, sekalian bareng." Kata Shania sambil membetulkan letak kacamatanya.

Gue hanya mengangguk lalu kami berdua berjalan bersama. Shania berjalan tepat di samping gue sambil bercerita, gue dengan sabar mendengar ceritanya yang kadang tak nyambung, tapi melihat caranya tersenyum gue menjadi betah berlama-lama bersamanya.

"Zaki, kamu sama Shani kok akrab banget. ?" Tanya Shania.

"Kok nanya gitu ?" Kata gue, Shania hanya terdiam, gue melanjutkan. "Dia cuman sahabat aku kok, bener deh, jangan cemburu dong."

"Hah ? Cemburu ? Kenapa harus cemburu ngeliat kamu sama dia ? Hahaha engga!" Kata Shania.

Gue hanya diam melihat tingkahnya, Shania yang merasa dilihat pun bertanya, "Kok ngeliatin aku terus ?"

"Kenapa emangnya ? Abisnya kamu can..." Ucapan gue gantung, Shania melihat gue dengan tatapan heran, dia memang cantik tapi apa mungkin gue semudah itu mengatakannya ?

"Lupakan Shan, lupakan." Kata gue, Shania hanya tersenyum lalu kami berdua melanjutkan jalan tanpa bersuara.

Saat di pertigaan jalan, dimana kami berpisah karena gue harus belok kiri.

"Shania, aku duluan, hati-hati ya." Kata gue sambil melambaikan tangan.

"Iya, jangan lupa ngeline aku ya kalau udah sampai rumah." Kata Shania. Tumben Shania bersikap seperti itu.

Sampai di rumah gue langsung ke kamar mandi buat boker. Disaat boker gue masih berpikir tentang perkataan gue tadi, 'Gue hanya perlu menjawab lewat tindakkan, bukan ucapan'

Gue gak tau kapan harus bertindak, tapi bagaimana pun juga gue harus melakukkannya.

***
Dua minggu setelah midtest, gue setiap malam sering menelepon Shania walaupun rumah kami berdua hanya berjarak 2 blok, rasanya pengen setiap malam gue bertemu dengan dia tapi apadaya tugas dari sekolah membuat gue sibuk dan merasa dunia ini membosankan.

"Kamu lagi apa ?" Tanya Shania diseberang menelepon gue.

"Barusan abis selesai ngerjain tugas bahasa prancis," Kata gue sambil melihat jam dinding, ternyata udah jam 11 malam.

"Oh gitu, udah makan belum ?" Tanya Shania lagi.

Gue memegang perut gue yang kosong karena belum makan demi mengerjakan tugas gak penting ini, "Belum, ini mau cari makan keluar, kebetulan Mama aku gak masak."

"Gimana kalau aku traktir kamu makan nasi goreng di Blok I ? Aku juga belum makan." Ajak Shania.

Mengapa tidak ?

Malam ini terasa lebih dingin dari malam-malam sebelumnya, gue memakai jaket coklat yang tebal kesayangan gue untuk menahan dinginnya malam. Gue pun berjalan menuju tempat nasi goreng itu dijual, ternyata Shania sudah duluan sampai, gue menghampirinya.

"Loh kok gak pake jaket ? Dingin loh malam-malam gini." Kata gue melihat Shania yang hanya memakai piyama berwarna pink.

"Gak apa-apa kok, udah biasa dingin kaya gini." Jawab Shania.

Makanan pun tiba, gue langsung menyantapnya. Sesudah makan, kami berdua memilih untuk pulang karena sudah larut malam.

"Makasih." Kata gue setelah Shania membayar nasi goreng itu.

"Iya sama-sama." Kata Shania.

Gue melihat jalanan yang gelap dan sepi ini. Melihat Shania berjalan sendiri di kegelapan malam tentu berbahaya.

"Shania, aku anterin sampe depan rumah ya." Kata gue, dia hanya mengangguk.

Disepanjang jalan, Shania bercerita tentang guru matematika yang dicap killer oleh seluruh murid di sekolah, dan beruntung gue gak diajar sama dia. Shania terus bercerita tapi kedua tangannya selalu digosok karena udara dingin malam ini menusuk sekali. Tanpa berkata apapun, gue langsung memakaikan jaket coklat yang gue kenakan ke Shania, lalu merangkulnya agar tidak kedinginan.

"Eh Zaki ?" Tanya Shania bingung karena gue merangkulnya dengan erat.

"Gapapa, aku kasihan liat kamu kedinginan." Kata gue. Badan kami berdua jadi terasa dekat, sebelumnya gue gak pernah sedekat ini sama cewek manapun. Shania berhenti berbicara ketika gue merangkulnya, hanya desiran angin dan langkah kaki kita berdua yang terdengar.

"Gimana ?" Tanya gue sambil terus merangkul erat Shania.

"Hangat," Jawabnya singkat.

Sampai didepan rumah Shania, gue melonggarkan rangkulan gue ke Shania tapi tak berniat melepaskannya.

"Zaki, aku udah sampai." Kata Shania.

Gue langsung melepaskan rangkulan itu. "Eh iya-iya, yaudah aku pulang dulu ya. Jaket itu simpen dulu ajah, nanti aku ambil kalau sempat."

Disepanjang jalan gue gak berhenti memikirkan Shania untuk mengusir hawa dingin yang menusuk ini.

***
Besoknya, gue bersekolah dengan normal sementara kejiwaan Alex masih dibawah normal, dia masih selalu memamerkan gantungan kuncinya yang berbentuk titit ke orang-orang. Valdy entah kenapa jadi berubah, dia jarang membaca buku lagi semenjak dia mengaku sudah punya pacar, sampai sekarang gue dan teman-teman masih bertanya-tanya siapa pacarnya. Viny pun terlihat biasa saja hari ini walaupun gue tau dia sakit hati karena mengetahui orang yang disukainya sudah mempunya pacar.

Bel istirahat berbunyi, gue seperti biasa hanya bergabung dengan Taufan yang selalu membawa laptop ke sekolah, sementara Valdy tetap duduk dikursinya sambil memainkan handphonenya.

"Viny, ada yang mau ketemu." Kata seseorang yang gak gue kenal, Viny pun menghampirinya.

Anehnya tiba-tiba koridor menjadi ramai oleh murid-murid lainnya.

"Woy sini semua, ini menyangkut Viny." Kata Alex yang sedang melihat dari jendela. Gue, Taufan, Arraufar dan Dhika langsung menghampiri Alex dan melihat dari jendela. Viny mau ditembak kakak kelas.

"Wah ini si Herman, anak kelas XII-6. Wah mau nembak Viny, taruhan sama gue diterima apa engga ?" Kata Dhika ke Alex. Alex memilih diterima sementara Dhika sebaliknya.

"Si Herman ini ganteng, gak mungkin ditolak Viny." Kata Alex.

Terlihat koridor ramai, Herman sepertinya benar ingin menyatakan cintanya ke Viny dengan membawa bunga di tangannya. Herman mengangkat satu tangannya ke udara, semua terdiam.

Herman berdeham, lalu berbicara. "Viny, aku dan kamu udah kenal lama dari SMP, pertama kali aku melihatmu aku langsung tahu bahwa kamu adalah perempuan paling tepat untuk mengisi kekosongan hati ini. Jujur saja, aku suka sama kamu dan cinta mati sama kamu, tak peduli kata orang-orang yang tidak suka kepadaku karena menyukaimu dan aku yakin hatimu masih kosong saat ini..."

Herman menghentikan celotehannya yang terlalu baku, Viny mengangkat kedua alisnya.

Tiba-tiba ada bunyi seretan kursi, gue membalikkan badan lalu melihat Valdy bangkit dari kursinya lalu mengambil sebuah buku dan berjalan menuju keluar kelas, gue tau Valdy ingin ke taman untuk membaca buku, karena jika bukan di kelas, di taman lah dia membaca buku. Tapi Valdy malah belok ke kiri lalu menghampiri Viny dan Herman.

Valdy menepuk pelan kepala Viny meggunakan buku itu, "Makasih ya, gue udah selesai baca bukunya." Valdy lalu melangkah maju ke arah Herman dan melewatinya, Viny hanya tersenyum dan memeluk buku itu.

Semua terdiam, lalu Valdy berbalik lagi ke arah mereka, "Lu Herman kan ? Sorry kalau gue gak sopan, Btw, lu bawa bunga, mau ngelayat ke makam siapa ?" Semua yang di koridor tertawa.

Valdy melanjutkan jalan, tapi Herman menarik bahu Valdy lalu meninju pipi sebelah kiri Valdy. Terlihat Arraufar mengepal tangan kanannya erat, gue menahannya agar tidak ikut campur. Viny hanya terdiam dengan memasang tampang biasa saja.

Herman menarik kerah seragam Valdy, "Lu siapa ? Berani-beraninya ngeganggu gue!"

Valdy tidak menjawab, hanya diam. Semua orang di koridor terlihat ribut. Herman bertanya lagi, "Emangnya lu siapanya Viny ? Kok bisa-bisanya lu ngeganggu gue sama dia."

Lagi-lagi Valdy hanya diam, Arraufar terlihat tak sabar, "Kampret! Jangan tahan gue Zak, gue pengen ngehajar si Herman!" Kata Arraufar.

"Eh kampret jangan, nanti gue kalah taruhan." Kata Alex. Dhika menjitaknya.

"Jawab woy!" Herman mendorong Valdy dan meninjunya dengan keras, Valdy tersugkur. "Jangan ganggu gue sama Viny! Lagi, lu bukan siapa-sia...."

"Dia pacar gue." Kata Viny sambil menatap tajam ke arah Herman. Semua di koridor diam mendengar ucapan Viny.

"Yang bener ajah ?" Kata Taufan, gue dan teman-teman bingung. Ternyata selama ini...

"Dari kapan ? Aku tau kok kamu sekarang masih jomblo!" Kata Herman seakan tak percaya dengan kenyataan ini, begitupun gue.

"Dari kapan ya ? Hmm..." Viny berhenti sebentar, terlihat senyumnya terpancar, "Dari setahun yang lalu."

"Yes gue dapet 100k!" Dhika heboh sendiri, gue gak percaya dengan hal ini, yang gue tau selama ini Valdy belum punya pacar, begitupun Viny. Jika memang mereka berdua pacaran, kenapa mereka menyembunyikan hal ini ? Apa maksud dari raut wajah Viny yang seakan kecewa waktu itu ?

Valdy bangun lalu meninju pipi kiri Herman dan menendang perutnya sehingga badan herman terpental dan menabrak tong sampah plastik yang langsung pecah.

"Sekarang gue yang nanya, lu siapa nya Viny ?" Tanya Valdy, Herman memegangi perutnya. Valdy mengambil bunga milik Herman lalu memberikannya kepada Viny, "Kalau gasuka buang ajah ya."

Viny mengambil bunga itu. Valdy lalu pergi meninggalkan Viny dan berjalan dan tak lupa menginjak kaki Herman yang tersungkur. Anak-anak cewek langsung mengerumuni Viny lalu bertanya-tanya.

"Bilang dan bangunin gue kalau sekarang gue mimpi." Kata Sinka yang juga melihat dari jendela.

"Sinka bangun." Kata Taufan sambil menggoyang-goyangkan bahu Sinka. Sinka hanya tertawa lalu mencubit perut Taufan.

Gue lalu mengejar Valdy, tak lupa gue menghampiri Herman terlebih dahulu. "Maafin wakil gue ya." Herman hanya mengangguk lesu sambil memegang perutnya.

"Jadi begitu ya, ternyata Viny pacar lu, gak nyangka gue." Kata gue. Valdy dan gue sedang berada di tribun lapangan bola. Valdy menggosok pipi kirinya, gue melanjutkan, "Kenapa lu harus diam-diam begini ?"

"Dia yang minta. Gue nembak dia setahun yang lalu saat gue ingin meminjam novel dari dia. Gue di terima dengan mudahnya, senyumannya mempermudah itu semua. Tapi dia minta untuk merahasiakan hubungan ini, gue gatau jelas apa tujuannya waktu itu." Gak biasanya Valdy bercerita panjang lebar seperti ini, "Viny banyak yang suka ternyata, gue melihat Viny beberapa kali ditembak oleh cowok lain, dia menolaknya dengan halus. Tentunya semakin lama Viny terus begitu, maka berapa banyak cowok yang dibuatnya sakit hati ? Makanya gue menghentikkan ini semua. Untuk membuat Viny berhenti kelelahan menolak dan menghentikan jumlah cowok yang udah sakit hati ditolaknya."

"Gak biasanya lu cerita kayak gini." Kata gue sambil menepuk bahu Valdy.

"Lagi mood ajah gue." Kata Valdy. "Eh, Shania sering ngomongin lu kalau lagi ngobrol sama gue. Dia nanya-nanya gitu tentang lu. Tapi gak gue jawab biar dia terus penasaran."

"Wah yang bener lu ?" Kata gue tersenyum.

Valdy mengangguk.

Tak diduga Shania sering membicarakan gue, entah kenapa gue senang dengan hal ini. Lalu gue memandang sekitar lapangan dan melihat seorang cewek yang gue kenal di kejauhan. Gue hanya tersenyum melihatnya.

Ternyata, Shania memakai jaket coklat yang gue pinjamkan semalam.

1 comment: