Pages

Standupwrongway Fanfict JKT48 : Unreachable 2 (Part 9)

Tuesday 17 May 2016
Beberapa Tahun Lalu...

"Permisi..." Shania mengetuk pintu rumah pacarnya...

Namun tidak ada tanda-tanda adanya orang di dalam rumah tersebut. Ia memilih menunggu pacarnya yang sedang pergi.

Dengan pakaian yang sangat bagus dan membawa sebuah kotak yang berisikan hadiah ulang tahun pacarnya, ia siap menyambutnya dengan senang hati. Kebetulan rumah pacarnya tidak mempunyai pagar, sehingga Shania duduk menunggunya di teras sambil menyanyikan pelan sebuah lagu yang ia sukai.

Saat ditengah nyanyian, suara mesin mobil muncul, Shania berdiri karena tau bahwa itu mobil pacarnya.

Namun..

Ia melihat dibalik dahan pohon yang tumbuh dipekarangan rumah pacarnya. Pacarnya tidak sendiri, melainkan dengan seseorang perempuan yang tidak ia kenali.

Lalu dirinya melihat mereka berpelukan. Rasanya seperti dihantam palu mjolnir. Dengan gerakan cepat ia keluar sambil menghantamkan kotak hadiah itu kepada pacarnya seraya menangis.

"Shania!" seru Zildjian, namun Shania tidak menghiraukannya, ia tau terlalu sakit untuk menerimanya, namun ia terlanjur menerima rasa sakit itu.

Ia tak mau mengalami rasa sakit seperti itu lagi karena siapa yang mau.

***

Paris, Prancis

Shania menutup mulutnya, tidak berkata-kata ketika melihat orang yang dimaksud Veranda. Dengan cepat ia menampar orang itu dengan segala amarahnya dan pergi keluar restoran dengan cepat.

"Dasar bajingan!" kata Farisha kepada Adam yang lalu mengikuti Shania keluar.

Shania berlari sambil menangis, ia tak percaya akan terjadi lagi hal yang sama seperti dulu. Farisha menghampirinya lalu memeluk erat Shania.

"Udah Shan...." kata Farisha sambil mengelus rambut Shania.

"Apa kamu gak tau sakitnya digituin ?! Asal kamu tau! Aku udah diginiin dua kali! Dua kali Farisha!" kata Shania sambil menangis dengan keras.

Farisha tidak bisa berbicara banyak dan lebih memilih untuk membawa Shania ke tempat yang cukup sepi karena ia tak mau Shania menjadi tontonan orang yang lewat.

Semua rencana jalan-jalan Shania menjadi buyar ketika melihat Adam selingkuh di depan matanya sekali lagi. Kini ia merasa bahwa Paris bukan kota yang romantis seperti yang banyak orang katakan. Di kota ini, semua menjadi buram di mata Shania.

Kini, Shania mulai tidak percaya apa itu cinta...

***

London, UK

"Kapan lu ke Prancis ?" tanya Gatot, temannya yang ikut rapat. Kini mereka sedang duduk-duduk di depan Sungai Thames.

"Lusa, kalau lu dapetnya kemana nih ?" tanya Zaki sambil mengambil bungkus rokok yang ada di sakunya. "Mau ?"

"Boleh." kata Gatot dengan senang hati mengambil sebatang. Zaki tau bahwa merokok itu tidak baik, namun untuk saat ini, rokoklah yang bisa menenangkannya karena ia sedang pusing-pusingnya mengurus ini-itu di PPI.

"Bajingan emang si Adam itu, main pergi ajah dia, terus kerjaannya di bebanin ke gue semua lagi." kata Zaki.

"Emang banyak yang gak suka sama dia. Gue akuin tampangnya oke, tapi tanggung jawab gak ada sama sekali. Dulu mah dia rajin bener, sekarang gegara dapet pacar jadi gitu dia." kata Gatot, lalu melanjutkan. "Katanya dia bilang ke gue dia pergi sama temennya ke Paris."

"Shit." umpat Zaki.

Mereka lalu hanya diam menikmati sunyinya malam karena memang sudah jam 2 malam dan cukup sepi. Ia mengeluarkan rokok keduanya dan terus terdiam terdiam sampai akhirnya pikirannya melayang kepada Shania. Tentunya ia sangat menyesal meninggalkan Shania disaat ia mengatakan bahwa ia mencintainya, bodohnya lagi, Shania juga mencintainya. Namun, dengan mudahnya ia meninggalkan perempuan itu.

Aku ingin bertemu, namun sediakah kamu bertemu dengan orang yang sudah meninggalkanmu ?
Aku ingin bertemu, namun apakah kamu akan menerimaku kembali ?
Aku ingin bertemu, namun sediakah kamu mengizinkanku menghapus semua kesalahanku kepadamu ?
Aku ingin bertemu, namun semuanya sudah terlanjur karena kamu sudah bersama yang lain.

Jadi bagaimana ? Apa kamu bisa kembali menerima laki-laki bajingan sepertiku ini ?

Zaki bangkit dari duduknya. "Oke, gua balik dulu."

Ya, untuk saat ini, berendam di flatnya akan membuat dirinya lebih baik.

Ia pikir bertemu dengannya adalah yang terbaik untuk menjelaskan semuanya.

***

Bandung, Indonesia

Valdy sedang sibuk dengan laptopnya karena banyaknya tugas yang harus ia kerjakan. Di samping itu ia melihat handphone-nya yang penuh dengan pesan dari Viny dan juga Arraufar. Namun ia membiarkannya untuk fokus mengerjakan tugasnya.

Namun ia terpikirkan oleh Shania. Akhir-akhir ini Shania jarang sekali menghubunginya. Biasanya, dalam sehari Shania menghubungi Valdy hanya sekedar lewat Line dan sesekali lewat telepon, hanya sekedar ingin memberitahu keadaannya dan menanyakan ini itu tentang Bahasa Prancis.

"Halo, Shania. Tumben gak nge-line. Apa kabar ?"

Sent.

Selang setengah jam, tak kunjung ada balasan dari Shania. Valdy pikir mungkin Shania sedang sibuk, untuk sekarang, ia lebih baik berpikir positif kepada Shania.

"Kampret!" teriak Valdy, karena sudah dua jam ia menunggu balasan dari Shania, kini pikirannya kacau karena memikirkan sepupunya. Ia berpikir mungkin terjadi sesuatu kepada Shania. Valdy sudah menganggap Shania seperti adiknya sendiri dan pastinya rasa khawatir akan muncul.

Namun, Valdy teringat sesuatu. Ia mencoba mengcek pulsanya dan berharap itu cukup untuk menelepon seseorang yang Shania kenal. Shania pernah memberikan info kontaknya, namun waktu itu Valdy tidak peduli dan mengabaikannya.

Kini, ia menscroll terus chat historynya dengan Shania. Tidak ketemu.

Ia mencoba mengingat-ingat namanya...

"Oh kampret, kan ada tombol search!"

Ia lalu mencoba mencari kata kunci yang dekat-dekat dengan info kontaknya. Setelah lama mencari akhirnya ia menemukannya.

"Farisha ? Cantik juga."

Lalu setelah ia add, ia segera menuliskan pesan.

"Hmm.... Halo. Ini gue Valdy, sepupunya Shania. Gue yakin lu tau gue, pasti Shania cerita. Gini, kabar Shania sekarang gimana ?"

Tak lama kemudian Farisha membalasnya.

"Oh ya ? Hmm.. Bisa minta no.telp lu ? Biar enak ceritanya."

Valdy lalu memberikannya. Ia menunggu beberapa menit sampai akhirnya handphonenya berbunyi.

"Halo." sapa Valdy mencoba sedikit merubah suaranya karena memang ia sedang sedikit serak.

"Hahaha, kok suaranya aneh banget ? Serak gitu."

"Hmm, iya gue lagi serak. Jadi, gimana kabar Shania." Valdy tanpa basa-basi lama langsung menanyakannya.

Ada jeda panjang sampai akhirnya Farisha menjawab. "Jujur, gue gatau sekarang keadaannya gimana. Gue datang ke apartemennya tapi gak dibuka-buka, terus gue coba telepon gak diangkat, gue coba kirim sms gak di bales."

Pasti ada masalah, pikir Valdy. "Hmm. Mungkin dia lagi gak enak badan atau gimana kali ya ?"

Jeda panjang lagi, Valdy pikir ada sesuatu yang coba di sembunyikan Farisha. "Eeehh.... I-iya."

"Kok jawabnya gitu ? Sebenernya ada apa ? Coba jujur, sumpah gue panik banget dia gak ada kabar. Jangan sampe gue kesana terus dobrak pintu apartemennya!" kata Valdy dengan tegas. "Jujur coba, jangan bohong, walaupun mungkin Shania bilang ke lu gaboleh cerita ke siapa-siapa."

"Sebenernya... Oke gini. Jadi.."

Farisha menceritakan semua yang ia lihat ketika Shania melihat pacarnya, ternyata pergi ke Paris bersama Veranda.

"Qu'est-ce qui vient de se passer!!!! Degoutant!"

"Shania gak berhenti nangis, pas kita sampai di Marseille juga dia murung terus." jelas Farisha.

Valdy hanya terdiam, mungkin ia pikir Shania hanya perlu menyendiri untuk menenangkan dirinya. Tapi, ini terjadi dua kali, mengapa perempuan sepertinya harus disakiti dengan cara yang sama. Mengapa Shania bisa dengan jatuh cinta kepada laki-laki bajingan seperti itu ?

"Oke. Makasih ya, ntar gue line ya buat nanyain kabar Shania."

Valdy merebahkan dirinya di kasur. Sekarang ia memikirkan apa yang bisa ia pikirkan.

***

Marseille, Prancis

Shania bangun dari tidurnya yang cukup lama. Sekarang, tubuhnya dibalut dengan selimut tebal, ia sedang tidak enak badan selepas pulang dari Paris. Dengan gerakan lambat ia meraih handphonenya yang ternyata baterainya tinggal 2%, jam menunjukkan pukul 5 sore. Kepalanya terasa pusing, badannya pun lemas, suhu tubuhnya panas.

Dengan memaksakan dirinya, ia mencoba berdiri untuk berjalan ke kamar mandi. Namun saat baru saja berdiri, kepalanya terasa pusing dan ia pun merebahkan badannya kembali ke kasur. Ia pikir bahwa istirahat sedikit dapat memulihkan keadaannya.

Batin Shania masih terasa sakit. Ia sekarang masih saja mengingat kejadian yang membuatnya luka lama muncul kembali. Mengapa selalu saja pelakunya sama, yaitu laki-laki yang mengaku mencintainya dan pura-pura baik kepadanya. Mengingat itu semua, Shania sadar itu memperburuk keadaannya, namun semakin ia menjauhi ingatan itu, semakin bernafsu pula ingatan itu mengejarnya.

Ia bangun kembali dari tidurnya dan mencoba memaksakan diri ke kamar mandi hanya untuk sekedar cuci muka dan gosok gigi. Di cermin, ia melihat wajahnya begitu pucat. Setelah dari kamar mandi, ia mencari obat di laci mejanya, waktu itu ia sempat membelinya ketika dirinya sedang demam juga.

Setelah agak dirasa baik, Shania mengambil charger dan mengcharge handphone-nya yang sudah lowbatt. Ia melihat banyak sekali panggilan tak terjawab dari Farisha dan juga banyak sekali line dari Valdy yang belum ia balas.

Namun ia agak malas ketika membaca nama Adam di layar handphone-nya. Ia banyak sekali mengirimkan pesan lewat line, meminta maaf. Mulut manis yang biasanya Shania sukai dari Adam kini menjadi bisa yang mematikan. Kata-kata yang selama ini terucap dari lisannya adalah dusta yang Shania konsumsi. Shania berpikir bahwa betapa bodoh dirinya bisa menerima laki-laki seperti itu untuk kedua kalinya.

Lalu ada bunyi ketukan pintu bernada 1-2-1, Shania tau itu Farisha, lalu dengan langkah berat ia mencoba membukakan pintu untuk temannya itu.

"Aduh Shania!" Farisha memegang pipi Shania. "Pucat banget muka kamu!"

Shania hanya tersenyum lemas. "Aku lagi gak enak badan."

Farisha lalu dengan cepat menutup pintu dan menyuruh Shania untuk tiduran. Ia dengan sigap mengambil  kain dan baskom kecil berisi air dan mengompres temannya itu.

"Bentar ya, aku ke kamar Rizki dulu." kata Farisha. Rizki adalah teman Farisha dan juga Shania yang kebetulan tinggal hanya berbeda satu lantai dengan Shania.

Tak lama kemudian, Farisha kembali dengan membawa Rizki yang sudah berpakaian rapi. "Gila lu, sakit kok gak bilang-bilang, entar lu kenapa-kenapa susah juga." seru Rizki.

"Kamu ganti baju dulu ajah, kita ke rumah sakit cepetan." kata Farisha.

***

Sepulang dari dokter, keadaan Shania sudah mulai baikan. Kini mereka bertiga berada di mobil Rizki yang dengan mantap memegang kemudi stir.

"Gue udah denger semuanya Shan." celetuk Rizki memecah keheningan.

"Maksudnya ??" tanya Shania tidak paham.

"Ya yang di Paris itu. Bukan maksud ngingetin lu balik ke kejadian itu, cuman gue gak tahan ajah pengen komentar." jelas Rizki. Memang, Rizki adalah orang yang apa adanya saat berbicara, bahkan ia berani mengungkapkan kejelekan seseorang di depan orang itu sendiri. Ia lebih suka berterus terang daripada harus memendamnya. "Gue liat lu kok bisa-bisanya jadian sama cowok yang begitu. Asal lu tau ya, cowok yang biasanya banyak gombal itu gue yakin banyak simpenannya."

Farisha dan Shania hanya terdiam, Rizki melanjutkan. "Gue kasih tau, cowok ganteng itu banyak, yang baik banyak, yang humoris banyak, tapi yang tulus itu susah sekarang, yang tulus mencintai lu tanpa memikirkan perempuan lain. Bahkan disaat dia lagi sama perempuan lain, pikirannya gak bisa jauh-jauh dari lu."

"Hati lu lemah, Shan. Lu dengan mudahnya memberikan hati lu itu kepada laki-laki yang gak jelas mencintai lu apa engga. Bukan maksud gue mengubah lu jadi cewek yang selektif dalam milih pasangan, tapi gue harap lu belajar dari kejadian ini. Sekarang, gue nganggap Adam sama lu salah. Adam salahnya udah jelas, sementara salahnya lu adalah menerima dia masuk ke hati lu yang lemah itu."

"Jadi gue harus gimana ?" tanya Shania.

"Nah itu, gue gak tau. Gue ngasih wejangan ajah, sisanya terserah sama lu. Kalau terjadi hal kaya gitu lagi, jangan sampe lu bilang 'bener juga kata Rizki ya'. Oke ?" kata Rizki. "Gue gak suka liat cewek nangis, kecuali dia nangis pas lagi di...."

Farisha menampar pelan Rizki. "Disaat gini otak lu masih juga ngeres!"

Rizki hanya menyengir dan kembali fokus menyetir.

***

London, UK

Zaki sedang bersiap-siap untuk pergi ke Prancis. Ia tau ini akan menjadikan perjalanan yang biasa saja dan ia hanya membawa sebuah ransel yang berisi seadanya. Tak lupa ia membawa indomie 2 bungkus karena itu adalah sebuah barang vital baginya jika ia berpergian jauh.

"Lu mau kemana ?" tanya Wisnu yang sedang bermain di flatnya.

"Ke Paris lanjut ke Marseille, gue kayaknya bakal di Paris dulu 2 hari satu malam, ketemu abang gue." kata Zaki sambil memasukan pakaiannya ke ransel.

"Wuih boleh juga. Gue belum pernah tuh ke Paris, mau sih kesana, tapi masa sendiri. Gak asik. Kata orang-orang Paris kan romantis." kata Wisnu.

"Gak ada yang romantis selain Lake District menurut gue. Oiya, kata orang Venice juga kota romantis. Kata orang itu, padahal Venice mah bau pesing kalau masuk gang kecilnya. Romantis dari mana ?" jelas Zaki.

Wisnu mengernyitkan dahinya. "What ? Bau pesing ? Lu pernah kesana ?"

"Gak pernah, gua baca review gitu dan tentunya dari bokap nyokap gua yang tinggal disana." jawab Zaki.

"Baru tau gue orang tua lu tinggal disana."  Wisnu melangkah ke meja yang ada dipojok kamar yang diatasnya ada tiket pesawat dan paspor tentunya. "Yakin lu besok perginya ?"

"Hah ? Iyalah. Kan udah jelas ada di tiketnya." kata Zaki yang menutup persiapannya dengan merapatkan resleting ranselnya.

"Kampret, ini di tiket lu berangkat lusa! Wah salah baca lu!" seru Wisnu.

Zaki melihat tiketnya dan tidak percaya. "Eh bener juga ya, wah kampret nih temen gue ngibulin." Zaki meminta temannya membelikan tiket dan temannya bilang bahwa besok ia harus ke Paris.

"Iya, lu nya juga bego mau ajah di kibulin."

Zaki lalu memilih memikirkan untuk mengisi satu hari yang tak terduga itu.

***

Bandung, Indonesia

"Akhirnya!" Valdy beranjak dari kursinya dan merebahkan dirinya di kasur. Ia melihat jam dinding menunjukkan pukul 10 malam. Ia meraih handphone-nya dan membuka semua notifikasi yang muncul.

Missed Call (26) dari Viny.

"Anjeer!!!! Viny ngamuk nih!" Valdy lalu mencoba menelepon balik, namun hasilnya bisa ditebak, Viny tidak mengangkatnya. Ia mencoba beberapa kali namun hasilnya tetap sama. Valdy memilih untuk membiarkannya dan turun kebawah untuk memasak Indomie.

Sesudah memasak indomie. Valdy mengambil handphonenya dan melihat-lihat teman line-nya. Namun entah kenapa dirinya sangat ingin menelepon Arraufar, namun pulsanya tidak memadai untuk melakukan panggilan internasional.

zamish : eh anak sultan, telepon gue dong. gue gak ada pulsa nih.

Lalu tak lama kemudian ada balasan

arraufar : iya nyet.

"Halo ?" kata Valdy memulai percakapan dengan temannya itu.

"Iye, ada apa nih nelepon." terdengar suara Arraufar seperti yang mengantuk.

"Wah lu ngantuk ya ? Sorry kalau ganggu yaudah matiin ajah." kata Valdy.

"Tenang ajah, gue niat begadang sekarang. Lagian gua males tidur soalnya gila panas bener nih." 

"Lah bukannya lu pake AC ya ?" tanya Valdy yang baru ingat kalau sekarang adalah musim panas.

"Pake, cuman masih ajah panas. Banyak dosa kali ya gue ?" tanya Arraufar.

"Iya kali." kata Valdy.

Tidak ada pembahasan lagi, mereka berdua terdiam. "Eh Dy, gimana ntar kalau kita reunian kecil-kecilan ?" kata Arraufar ememcah keheningan.

"Boleh juga, tapi pastiin waktunya biar pada bisa semua, sekarang lagi pada sibuk."

"Ya gak dalam waktu dekat juga lah, pas musim dingin gimana ?" ujar Arraufar.

"Gila, di Bandung mana ada musim dingin." kata Valdy.

"Eh, maksudnya disini yang musim dingin aelah."

Lalu mereka membicarakan tentang bagaimana reuni itu akan terwujud, walaupun kemungkinannya kecil, mereka berdua mencoba mengatur waktu yang sangat pas.

"Oke, ntar gue sampein ke anak-anak." kata Arraufar.

"Okelah! Bye!" Valdy menutup telepon dan ia menyesal sudah mengobrol dengan Arraufar karena indomie yang ia masak sudah dingin.

***

London, UK

Zaki terbangun dari tidurnya yang cukup nyenyak, ia batal berangkat hari ini karena salah melihat jadwal, ia merasa ceroboh karena salah melihat jadwal hari keberangkatan adalah kebodohan yang langka. Ia melihat jam yang menujukkan pukul 8 pagi, ia berencana pergi ke rumah Mang Adat karena kebetulan dirumahnya sedang ada acara makan-makan. Zaki tidak mau rugi.

Selesai mandi, ia turun dan melihat Damien dan Lakhsan sedang bermain PS.

"Selamat Pagi!" sapa Zaki kepada meraka berdua, menggunakan bahasanya sendiri.

"Oh! Pagi!" kata Lakhsan yang sudah sedikit demi sedikit bisa berbahasa Indonesia. Ia tentunya belajar sendiri dan sering menguping ketika Wisnu dan Zaki sedang mengobrol.

"Are you lose, Damien ?" tanya Zaki.

"Of course! Now, I'm playing with  freak gamer!" jawab Damien.

"Relax!" kata Lakhsan sambil menepuk bahu Damien.

Setelah meminum kopi, ia langsung pergi ke rumah Mang Adat, sebelum itu, ia harus bertemu dengan Alle dan Asep, yaitu rekan kerjanya untuk bersama-sama ke rumah bosnya. Namun saat di tengah perjalanan, handphone Zaki berbunyi..

"Halo ?" sapa Zaki.

"Halo, Zaki, kamu dimana ?" tanya seseorang yang meneleponnya.

"Ini siapa ?" tanya Zaki.

"Naomi! Ini Naomi!" Naomi menjawab dengan nada sedikit panik. "Kamu dimana ?"

"Lagi mau ke Fulham, kenapa ?" tanya Zaki, kini rasa laparnya berubah menjadi rasa cemas.

"Bisa ke flat aku gak sekarang ? Aku mau ngomong sesuatu." kata Naomi.

Zaki melihat kedua temannya terus berjalan sementara Zaki yang di belakangnya bimbang antara ke flat Naomi atau ke acara makan-makan Mang Adat. "Oke-oke, aku kesana sekarang." Lalu Zaki menutup teleponnya. "Sorry ya, saya ada urusan mendadak nih."

Asep terlihat kecewa. "Aduh, padahal enak-enak makanannya disana. Lebar kalau kata orang sunda mah."

"Yasud, pergilah, nanti aku bungkusin." kata Alle.

"Sorry ya guys!" lalu Zaki berbalik dan berjalan menuju flat Naomi dan tentunya flat Veranda juga.

***

"Semuanya kacau." kata Naomi ketika Zaki baru saja duduk di sofa. "Veranda sekarang gak mau keluar kamar, dia baru aja pulang dari Paris."

"Kok bisa ?" tanya Zaki.

"Gatau, aku ketok pintu kamarnya berulang kali tapi gak dibuka-buka." ujar Naomi.

Mereka berdua lalu hanya diam. Zaki hanya melihat sekeliling flat ini sementara Naomi hanya terdiam menatap toples yang berada di meja, ia tak berani menatap mata Zaki. Lalu Zaki beranjak dari sofa dan berjalan menuju pintu kamar Veranda. Zaki mengetoknya berulang kali, namun tak ada tanda-tanda kehidupan dibalik pintu itu, seperti pintu rumah yang ditinggal mudik penghuninya.

"Hey, buka dong pintu--" Lalu Zaki mendengar suara kunci pintu yang diputar sang pemilik, lalu dengan cepat ada tangan yang menariknya masuk ke dalam dan menutup kembali lalu menguncinya dengan tegas.

"Zaki!" kata Veranda yang lalu memeluknya erat-erat. Zaki tidak tau apa yang terjadi dengan perempuan ini namun ia membiarkan Veranda memeluknya. Lama sekali. Zaki melihat kamar Veranda yang berantakan dan juga mata mantan pacarnya yang merah, seperti orang yang baru saja menangis dalam waktu yang lama.

"Ada apa ?" tanya Zaki namun Veranda hanya menggelengkan kepalanya dan terus memeluk Zaki.

Veranda melepaskan pelukannya lalu ia duduk di kasurnya dan menutup wajahnya. Zaki tidak mengerti apa yang sedang terjadi. Ia lalu membuka jendela kamar Veranda dan sinar matahari langsung menyeruak menerangi kamarnya.

"Ada apa ?" tanya Zaki mengulangi pertanyaan sebelumnya. Namun Veranda hanya terdiam dan perlahan air matanya jatuh kembali. Ia pikir bahwa Veranda sedang patah hati, tentunya. Zaki mengerti dan memilih untuk tidak bertanya tentang ini itu. Ia memilih duduk di samping Veranda dan mengelus-elus rambutnya.

"Want some coffee ?" Tanya Veranda sambil bangkit dari duduknya. Zaki hanya mengangguk dan mengikuti Veranda dari belakang.

Ia tak tau apa yang terjadi, mungkin pilihan terbaik untuk sekarang adalah dengan tidak menanyakannya sesuatu hal yang bisa membangkitkan rasa sakit itu, namun pilihan buruknya adalah pasti Veranda tidak akan bisa memendam masalah itu sendirian.

Zaki sekarang hanya peduli sebagai teman, bukan peduli sebagai seorang yang disayang.

***

Charles de Gaule, Paris, Prancis

"I've been trying to reach you. uuuu~~" sambil menunggu Abangnya yang belum datang menjemput, ia mendengarkan lagu kesukaannya yaitu Nurses - Trying To Reach You.

Zaki tau ia sedang berada dimana ia harus bisa berbahasa Prancis. Karena dari yang ia tau, orang Prancis adalah warga dunia yang paling sombong budaya. Susah sekali berkomunikasi disini karena warga disini hanya mau berbahasa Prancis dan tidak mau berbahasa Inggris. Padahal sebenarnya mereka bisa.

"Udah lama ?" tanya Reyhan yang menyusulnya di sebuah kedai kopi, tak jau dari pintu kedatangan.

"Baru ajah nyampe sih, btw, lu makin gendut sumpah." kata Zaki lalu memeluk Abangnya itu.

Lalu Reyhan memesan minuman yang sama seperti yang Zaki pesan. "Gila ajah, restoran gue lumayan rame hari ini, untungnya asisten gue bisa gantiin gue sebentar."

"Lu jarang banget nelepon gue, bang." kata Zaki.

"Harusnya gue yang ngomong begitu. Tapi lu nelepon bokap sama nyokap lancar kan ?" tanya Reyhan.

"Sebulan dua kali ada lah, gue lagi sibuk ngurus PPI ajah ini, soalnya ketuanya bajingan banget, jadinya tugas dia di hibahin ke gue semua." keluh Zaki. "Mantan pacar gue sekarang lagi murung terus, gue khawatir bawaannya."

"Mantan masih ajah lu pikirin ? Udah gausah."

"Bukan gitu. Tapi kayaknya gue masih gak terima dia mutusin gue, malah terakhir kali ketemu, dia meluk gue lama gitu sambil nangis. Mungkin gara-gara pacar barunya kali." jelas Zaki.

Reyhan hanya tersenyum kecil, lalu ia mencoba mengalihkan pembicaraan. "Gimana kalau jalan-jalan ? Ke Eiffel gitu atau Louvre ? Gue jadi tour guide lu deh seharian."

"Okelah oke."

***

"Ah di poto doang bagusnya, aslinya biasa ajah." kata Zaki ketika melihat menara Eiffel yang terkenal itu.

Reyhan meninju pelan bahu adiknya. "Bisa ajah lu, mentang-mentang udah lama tinggal di Eropa."

"Eh kalau keatas bisa kan ? Bagus gak sih ?" tanya Zaki kepada tour guidenya.

"Bagus sih bagus, tapi gue kurang suka." jawab Reyhan. "Oh iya, gimana kalau gue anter lu ke tempat favorit gua di Paris ? Gak akan nyesel deh, soalnya gue suka kesana kalau lagi nenangin diri."

Zaki lalu berjalan mengikuti Abangnya menuju tempat yang dimaksud. Sepanjang perjalanan, ia dipandu oleh Abangnya mengenai ini dan itu, dari taman favoritnya, restoran favoritnya, sampai tempat yang paling ia benci. Zaki pikir Reyhan seperti berceramah daripada menjelaskan.

"Lu harus liat restoran itu, gue gak suka tuh sama restoran itu, soalnya jujur gue dicuekin abis-abisan sama pelayannya. Apa karena muka melayu gue ini gak enak dilihat atau gimana ?" kata Reyhan berapi-api.

"Nah taman ini!" jelas Reyhan. "Ini taman dimana gue ketemu pacar gue sekarang!" Reyhan menunjukkan tamannya seakan-akan itu taman terbaik di dunia.

Zaki tersenyum. "Lu udah punya pacar bang ?"

"Oh iya dong, dan lebih hebatnya lagi dia orang Indonesia. Percaya sama gue, cewek tercantik di dunia tuh adalah cewek dari Indonesia." seru Reyhan.

"Oooohhh begitu..." gumam Zaki.

Lalu sampailah mereka di tempat yang Reyhan maksud.

"Arc de Triomphe, menurut gue ini adalah tempat terbaik di Paris." jelas Reyhan.

Zaki lalu naik keatas lalu ia terkagum-kagum. "Bener juga, keren bang."

"Gua bilang juga apa." lalu Reyhan mengambil handphonenya dan memfoto adik kesayangannya secara diam-diam. Karena pada dasarnya Zaki memang tidak suka difoto, ia lebih memilih memfoto apa yang ia lihat, daripada ia harus memfoto apa yang orang harus lihat darinya.

Zaki merasakan bahwa Paris terlihat sangat bagus jika dilihat dari atas bangunan megah itu. Namun entah kenapa ada rasa yang mengganjal hatinya mengenai kota ini. Seperti ada sesuatu yang menyakitkan sudah terjadi kepada seseorang yang ia kenal.

"Gue gak bisa bilang Paris kota yang romantis." kata Zaki.

"Gue demikian, sama. Alasan gue simpel, karena suatu kota gak akan mempengaruhi arti romantisme itu sendiri. Lu di kampung kumuh juga pasti bisa menciptakan sesuatu yang romantis. Label kota romantis menurut gue gak cocok buat semua kota di dunia, karena suasana romantis bisa dirasakan dimana saja." kata Reyhan.

Zaki hanya menghela nafas dan setuju dengan perkataan Reyhan.

"Gue laper, gimana gue ke restoran lu makan gitu." kata Zaki.

"Why not ?"

Lalu ia tau apa yang akan ia rencanakan malam ini.

***

Marseille, Prancis
Malam Hari

Shania sedang terduduk di depan TV sambil menonton film dokumenter tentang perang saudara di Afrika. Ia tentunya tak sengaja menonton namun untuk saat ini tayangan tersebut memikat Shania untuk menontonnya.

"Halo ?" sapa Shania mengangkat handphonenya.

"Yap, Shania. Gimana sehat ?" tanya Farisha.

"Oh iya agak mendingan, Makasih ya." jawab Shania.

"Besok Ayah aku nyuruh jemput utusan dari PPI London gitu di bandara, aku mager berat. Apa aku suruh adik aku buat jemput dia ya ?" kata Farisha.

"Loh kenapa gak kamu ajah ? Siapa tau dia cowok gitu, ganteng, terus kamu suka." kata Shania.

"Nah iya, itu boleh. Tapi sayangnya ayah aku gak ngasih tau dia cowok atau cewek dan tambahan mengejutkan lainnya adalah ayah aku gak ngasih tau namanya. Cuman ngasih nomor teleponnya, tapi aku belum telepon dia." tutur Farisha yang mungkin sedikit kesal.

"Jadi, aku harus ikut kamu jemput si perwakilan itu nemenin kamu gitu ?" tanya Shania.

"Maunya sih begitu, cuman ya kamu belum sehat, okedeh aku pergi berdua ajah sama Adik aku. Oke Shania, semoga cepat sembuh!" kata Farisha menutup teleponnya.

Shania tidak peduli kepada si perwakilan itu yang pasti, dirinya kini sedang asik menyaksikan film dokumenter yang ia tonton sekarang.

Namun, saat menonton, tiba-tiba handphonenya berbunyi, Shania bergumam kesal tapi setelah membaca notifikasi yang ternyata dari emailnya, ia langsung sumringah karena blogger kesayangannya, Sanzacks, memposting postingan baru.

I Was In Paris

Oke, sebelumnya gue minta maaf, soalnya udah lama banget gue gak posting sesuatu di blog ini. I had a lot of problems, love problem. Haha, canda. Kali ini, gue gak di London, tapi sedang berada di kota yang romantis menurut orang-orang. Hh!

"Hah ?! Di Paris ?!" Shania berteriak dalam hatinya.

Shania membaca semua dengan senang setiap kata demi kata yang dituturkan blogger favoritnya itu. Dari ia mendarat dan mengeluh soal tentang orang Prancis dan juga senang karena bisa bertemu dengan Kakaknya yang tentunya Sanzacks tidak beri tahu namanya.

Katanya malu. begitu alasan Sanzacks ketika ia tidak menyertakan nama Kakaknya.

Sanzacks mengaku bahwa ia sedikit kecewa dengan menara Eiffel, karena tidak seperti apa yang ia lihat difoto. Shania juga heran Sanzacks sama seperti Farisha, yaitu suka sekali melihat kota Paris dari atas di Arc de Triomphe. Shania maish bingung tentunya.

Gue suka Arc de Triomphe, gue merasa seperti di pusat pertemuan berbagai macam tujuan, ada yang pergi ke kantor mungkin, dokter mungkin, atau harus ke pengadilan, atau menjemput pacarnya. Maksud gue, Arc de triomphe tepat berada di titik pertemuan 12 jalan lurus, atau lebih jelasnya, silahkan meluncur ke wikipedia.

Abang gue udah punya pacar ternyata, cantik, gue udah ketemu, hampir ajah jatuh cinta, karena gue masih inget sama cewek yang gue rindukan sampai sekarang, dia nyebelin ya ? Ya! Masa dia beraninya ngelarang gue mencintai cewek lain ? Tapi tak apa, itulah istimewanya dia di hidup gue, dan gue bertanya-tanya, apakah dia masih mengistimewakan gue di hatinya ? fifty-fifty, oh no, im not sure, She probably hates me, haha.

Shania hanya tersenyum membacanya, walaupun itu tentunya bukan untuk dirinya, namun ia merasakan bahwa Sanzacks mewakili apa yang ia rasakan sekarang. Jika Sanzacks adalah laki-laki dalam cerita itu, maka Shania yang menjadi karakter perempuannya apabila cerita itu mengubah kelamin tokoh utamanya.

Dan gue bakal susun ulang perkataan Abang gue, sedikit mengganti :

Paris ? Menurut gue bukan yang romantis, walaupun gue bisa merasakan cinta disini. Suatu kota tidak akan mempengaruhi romantisme, bahkan di kampung perkumuhan pun, kalian bisa membuat suasana menjadi romantis, tak perlu jauh-jauh pergi, lingkungan sekitarmu adalah tempat yang romantis. Gelar Kota Romantis harusnya tidak ada, tidak ada. Karena kalian harus tau, bahwa cinta dan romantisme bisa dilakukan dimana saja.

Dan sekarang aku berharap, perempuan yang aku rindukan, membaca ini, melihat ini, dan menghafal semua kata-kata diatas.

Bahwa dimanapun aku berada, aku selalu cinta kepadamu.

To be continued~

Read more ...