Pages

Standupwrongway Fanfict JKT48 : Unreachable 2 (Part 1)

Friday 7 August 2015
120 menit sesudah acara perpisahan...

Shania membuka pintu kamarnya dengan pelan lalu menutup dengan kaki kanannya, ia melemparkan tasnya ke sofa lalu menjatuhkan diri ke tempat tidurnya. Kini ia menggenggam sebuah kotak kecil dan menatapnya, air matanya jatuh tatkala melihat kotak kecil yang diberikan Zaki itu. Lalu dengan cepat ia mengusap air matanya lalu pergi mandi dan keramas.

Setelah mandi, Shania lalu duduk di meja rias sambil menatap wajahnya ke cermin, ia melihat wajahnya lesu dan tidak bersemangat. Kenapa aku tidak menanyakannya kemana dia pergi ? pikir Shania karena ia lupa menanyakan kemana Zaki akan pergi. Dengan cepat ia mengambil handphone-nya lalu menelepon sepupunya yang berteman baik dengan Zaki.

"Halo."

Shania menarik nafas sebentar, mengumpulkan tenaga untuk berbicara karena ia sudah tidak berbicara semenjak ditinggalkan Zaki. "Hmm, Halo. Valdy kamu lagi dimana ?"

"Lagi di rumah, baru aja sampai, ada apa nelepon ?"

"Aku mau nanya sama kamu."

"Mmm ?"

"Kamu tau gak Zaki mau pergi kemana ?"

"Pergi ? Maksud kamu ?"

Shania mendengus, "Aku serius, Valdy."

"Ya, aku juga serius. Aku gak tau dia mau pergi."

Pikiran Shania kembali pada kejadian saat di atap sekolah, saat ia memeluk Zaki dengan erat karena selama sebulan lelaki yang dicintainya menghilang, saat ia mencium Zaki dan merasa bahwa itu adalah ciuman pertama dan terakhirnya. Shania menggenggam erat kotak kecil yang belum dibukanya karena tidak berani, bukan tidak berani akan tetapi Shania memang belum mau membukanya.

"Halo.. Halo.. Shania ? Halo." panggil Valdy yang menyadarkan Shania dari lamunannya.

"Eh iyaa.. Maaf-maaf."

"Zaki gak ada bilang mau kemana sama aku, begitupun sama teman-teman lainnya. Nanti kalau aku tau dia pergi kemana secepatnya aku ngasih tau kamu, Oke ?"

"Oke."

"Tenang-tenang dia mungkin gak pergi lama, yaudah Shania aku mandi dulu, bye."

Shania menatap layar handphonenya, "Aku yang nelepon, dia yang matiin. Dasar." gumamnya.

Setelah, itu Shania sibuk menelepon satu-persatu teman dekat Zaki dan jawaban mereka semua sama, tidak tahu Zaki pergi kemana.

"Bukannya Zaki tadi ketemu kamu ? Kok kamu bisa gak tau dia mau pergi kemana ?" tanya Viny ketika Shania bertanya kemana perginya Zaki.

"Dia cuman bilang mau pergi, tapi gak bilang mau kemana, dari omongannya jelas dia bakal pergi lama." kata Shania.

Viny pun yang mendengar Shania terlihat khawatir tersenyum lebar, "Kamu ngehawatirin dia ? Udah pasti dan benar kamu cinta sama dia. Tapi maaf ya Shania, aku gak tau dia pergi kemana."

Setelah menutup telepon dengan Viny, Shania hanya terdiam sambil memainkan kotak kecilnya, memutarnya, memukulnya pelan, namun tak berani membukanya. Lalu entah kenapa bagaikan bayangan yang melesat cepat, Shania teringat sesuatu. Dengan cepat ia membongkar lemari bukunya dan mengambil sebuah buku catatan yang telah usang, ia membukanya lalu menemukan banyak sekali nomor telepon, ia memeriksanya satu-satu.

"Nah, ketemu." gumam Shania pelan lalu mengambil handphonenya dan menakan nomornya.

"Halo, ini siapa ?"

*
*****
*

"Woy, udah semua belum ? Tiket, Paspor, apa semua." kata Reyhan kepada adiknya yang ingin merantau jauh.

"Hmm, udah." jawab Zaki lalu mengusap mukanya, ia masih menggunakan jas yang ia pakai di acara perpisahan karena sesampainya disana ia harus pergi ke kantor penyelenggara beasiswa. "Aneh ajah dapet tiket pesawat yang bertepatan sama acara perpisahan. Untung ajah kita cepet-cepet."

Reyhan mengusap kepala adiknya itu. "Gausah dipikirin, oke sukses ya disana, jangan lupa ngabarin kalau udah sampai."

Mereka berdua berpelukan sejenak dan setelah itu Zaki menarik kopernya dan berjalan menjauhi kakaknya, belum jauh berjalan ia berhenti dan berbalik, "Bang, kalau ada yang nanya gue pergi kemana, tau kan jawab apa ?"

Reyhan mengangguk sambil mengancungkan jempolnya. Setelah melihat adiknya sudah tidak terlihat, ia kembali ke mobil yang terparkir tak jauh dari gedung terminal. Saat sudah menghidupkan mesin mobil, tiba-tiba nada dering handphonenya berdering keras, ia bergumam kesal lalu menatap layar handphonenya dan tidak dikenal, Siapa ?

"Halo, ini siapa ?" sapa Reyhan sedikit kesal.

"Ha-halo. Ini Kak Reyhan kan ?" tanya seseorang yang meneleponnya.

Reyhan berfikir sejenak setelah mendengar suara orang yang meneleponnya. "Hmm, iya. Eh kayaknya aku kenal ini suara siapa. Shania ?"

"Iya, aku Shania." jawab Shania yang masih duduk di depan meja riasnya, lalu menutup buku catatan yang ia ambil tadi dan melemparnya ke tempat tidurnya.

"Ada apa ?" Reyhan siap menjawab ketika Shania bertanya kemana Zaki pergi.

"Kakak tau Zaki mau pergi kemana ?" tanya Shania dengan penuh harap sambil tangan kirinya yang menggenggam kotak kecil itu.

"Barusan aku lihat dia pergi sama Ayah, tapi gak tau kemana." jawab Reyhan berbohong tentunya karena dia sendiri yang mengantar adiknya ke Bandara.

Shania yang mendengar jawaban Reyhan terlihat bingung, sebenarnya permainan apakah yang dimainkan mereka ? pikirnya, "Dia bawa apa aja pas pergi ?"

Reyhan hanya tersenyum mendengar pertanyaan Shania sekaligus bingung kenapa Zaki harus merahasiakan kepergiannya ke teman-temannya. "Bawa ransel sama koper, cuman dua itu."

"Oh, yaudah makasih kak." Shania menutup teleponnya.

Shania menarik nafas dan menghembuskannya kembali, ia bingung dengan semua ini. Teman-temannya dan bahkan kakaknya sendiri tidak tau kemana Zaki pergi kemana. Ia lalu merebahkan diri di kasurya sambil memandangi langit-langit kamarnya, ia tidak memikirkan apa yang akan ia lakukan. Shania sekarang hanya memikirkan Ichsan Zaki.

Kotak kecil yang terletak di atas meja rias itu kembali mengundang Shania untuk menyentuhnya. Ia membolak-balik kotak itu terus menerus tanpa berniat membukanya. Namun harus berapa lama ia begini terus membiarkan kotak kecil itu tidak buka, dengan perlahan ia membukanya.

Ketika kotak itu terbuka, Shania hanya tersenyum lalu mengambil sesuatu yang di dalam kotak itu.

"Cincin yang bagus." ia tersenyum.

*
*****
*

6 Bulan kemudian

London, UK

Zaki mengupil di saat berjalan menuju stasiun kereta api bawah tanah, ia baru saja pulang dari kampusnya. Ia memeluk tubuhnya sendiri, hembusan angin di musim gugur yang sejuk ini membuatnya harus cepat beradaptasi sebelum mati kedinginan.

"Hey, Zaki!" teriak seseorang yang memanggil namanya.

Zaki menoleh kebelakang dan melihat seseorang melambaikan tangannya lalu mendekat, "Ah Lakhsan, kemana saja kau ?"

Seseorang yang dipanggilnya Lakhsan itu sebenarnya adalah teman Zaki, bahkan teman satu flat Zaki. Lakhsan bertubuh lumayan tinggi, berkacamata dan dia berasal dari India. Melihat temannya memeluk dirinya sendiri membuat Lakhsan tertawa, "Zaki, tampaknya kau kedinginan, maklum lah seperti ini London di musim gugur."

Melihat temannya tertawa membuat Zaki ikut tertawa, "Beginilah, maklum kulit tropisku belum bisa beradaptasi dengan cepat."

"Jangan banyak alasan, bagaimana kalau kita ke Hyde Park saja ?" tawar Lakhsan, Zaki hanya mengiyakan karena sudah lama ia tidak kesana.

Sampai di Hyde Park yang merupakan taman terbesar di London, Zaki mengerutkan keningnya melihat banyak sekali orang yang mengunjungi taman ini.

"Kau bingung mengapa banyak sekali orang di taman ini ?" tanya Lakhsan seakan membaca pikiran Zaki, ia menambahkan, "Ya mereka semua berkumpul disini untuk menikmati sisa kehangatan musim panas, menurutku begitu."

Mereka berdua lalu duduk di tepi danau di taman itu, melihat banyak sekali orang yang berlalu lalang, ada yang berpacaran, seorang ibu yang membawa bayinya berkeliling menggunakan kereta dorong, bahkan ada yang tidur dengan santainya di taman ini.

Lakhsan membetulkan letak kacamatanya. "Barusan, aku bertemu seorang wanita. Dia terjatuh waktu itu tepat didekatku dan aku menolongnya." Zaki melihat lawan bicaranya ini tersenyum. "Kau tau ? aku berhasil mendapatkan nomor teleponnya. Senang rasanya dan aku langsung jatuh cinta kepadanya."

Zaki hanya tertawa mendengar cerita yang menurutnya terlihat mengada-ngada, lalu pandangannya lurus kepada anak-anak yang sedang bermain bola, Lakhsan menepuk bahu Zaki. "Aku mau bertanya kepadamu, apakah kau pernah mencintai wanita atau bahkan memberikan sesuatu kepadanya ?"

Zaki hanya tersenyum lalu melihat sinar jingga mentari di langit. "Kau mau tau ? Tentu saja pernah dan sekarang aku mencoba melupakannya. Tapi memang dasar, dia sudah membuatku jatuh lebih dalam. Jatuh cinta kepadanya."

Lakhsan menaikkan satu alisnya. "Kau mencintainya ? Tetapi mengapa kau ingin melupakannya dan maaf aku bertanya terus kepadamu. Apa kau pernah memberikan sesuatu untuknya ?"

"Ya, pernah. Sebuah cincin."

*
*****
*

Jakarta, Indonesia.

Shania berjalan menuju cafe bersama Valdy dan Viny. Ketika Zaki tidak ada beginilah Shania, selalu bermain bersama Viny dan mengobrol bersama Valdy. Banyak laki-laki yang mendekatinya akan tetapi Shania tidak menganggapi karena sampai saat ini dia belum melupakan seseorang yang memberikan cincin yang kini terpasang di jari manisnya.

Valdy membuka pintu cafe dan melihat yang lainnya sudah datang, "Maaf gue telat."

"Ah kampret lu, kebiasaan ngaret." kata Alex.

Semua pun terlihat senang karena setelah 6 bulan tak bertemu akhirnya bisa berkumpul bersama. Shania dicekoki beberapa pertanyaan tentang cincin emas putihnya, ia hanya menjawab membelinya dan tentunya tak bisa bilang bahwa Zaki yang memberikannya.

"Ngomong-ngomong, ada yang tau Zaki kemana selama ini ?" tanya Arraufar. Semua hanya diam tak ada yang bersuara termasuk Shania yang hanya bisa tertunduk setelah mendengar Arraufar bertanya. "Shania, kamu tau kemana Zaki ?"

"Engga tau, dia pergi gitu ajah dan gak bilang mau kemana." jawabnya tenang padahal dia ingin sekali menangis ketika mengingat Zaki.

Taufan mengetuk-ngetuk meja. "Waktu pas udah UN dia menghilang selama sebulan, pas sesudah acara perpisahan dia menghilang lagi sampai sekarang. 6 bulan." Katanya sambil tersenyum pahit.

Shania melihat semuanya pada terdiam ketika membicarakan Zaki. Laki-laki itu adalah magnet perhatian sekarang. Bahkan yang paling gila Alex mengiranya terdampar di Laut Mediterania.

"Mungkin dia pindah ke luar negeri ? Menurut feeling gue dia pindah ke Eropa atau gak Asia Timur." kata Valdy lalu semuanya pada menatapnya seakan-akan Valdy tau segalanya. "Ngapain pada ngeliatin gue ? Itu cuman nebak-nebak ajah."

"Tebakan lu masuk akal, kayaknya dia pindah ke luar negeri." kata Sinka.

Valdy menyesap kopinya lalu melanjutkan. "Gue gak tau dia pergi kemana, tapi yang pasti waktu kelas 10 atau 11 dia pernah bilang ke gue mau kuliah di luar negeri."

Shani yang tadi terdiam lalu membuka suara. "Mungkin dia ke luar negeri karena dapet beasiswa ?"

"Bisa jadi." jawab Alex. "Tapi gue yakin dia gak bakal ngelupain kita semua."

Semua mengangguk setuju.

Sesudah berkumpul mereka semua membubarkan diri. Shania, Valdy, dan Viny berjalan menuju parkiran.

Saat di mobil, Shania hanya diam melihat Valdy dan Viny bercanda. Lalu ia berusaha mencari momen yang pas untuk bertanya.

"Viny, Valdy maaf ya udah ganggu kalian berdua." kata Shania.

"Loh gak apa-apa kok Shania," kata Viny sambil tersenyum. "Santai ajah."

"Hmm, menurut kalian apa bener Zaki dapet beasiswa ke luar negeri ?" tanya Shania.

Valdy hanya tersenyum melihat Shania dari kaca depan mobilnya. "Bisa jadi bisa engga. Tapi menurut feeling aku sih dia emang keluar negeri. Aku telepon handphonenya gak aktif terus, dan email pun gak dibales dia. Bener-bener menghilang dia."

"Ya semoga ajah lah dia gak lupa sama kita semua." kata Viny.

Jika Zaki mendapat beasiswa dan belajar di luar negeri itu bagus bukan ? Tetapi mengapa hati Shania terasa sakit sekali tiap kali mengingatnya, meninggalkannya begitu saja, sendirian.

*
*****
*

"Selamat malam!" seru Lakhsan lalu menjatuhkan diri di sofa.

Mereka berdua sudah sampai di flatnya yang terletak di Paddington. Tercium aroma makanan yang sangat lezat.

"Kalian berdua sudah datang ? Kemana saja kalian ? Berkencan ?"

"Jaga mulutmu Damien, kami berdua hanya baru pulang dari taman." jawab Lakhsan.

Damien hanya tersenyum lalu melanjutkan masak. Damien Bertrand, begitulah namanya. Ia adalah koki di sebuah restoran di daerah Covent Garden dan berasal dari Prancis. Ia pandai memasak apapun yang dia mau dan itu memudahkan langkahnya untuk menjadi koki handal di usia muda, ia berusia 5 tahun lebih tua dari Zaki.

Mereka bertiga patungan untuk menyewa flat ini, orang yang pertama menempati flat ini adalah Damien, lalu disusul Lakhsan dan yang terakhir adalah Zaki. Flat ini lumayan besar dan bertingkat dua. Di lantai bawah ada 2 kamar, dapur, ruang tengah, meja makan dan balkon yang menghadap ke Hyde Park, sementara di lantai 2 ada satu kamar dan satu kamar mandi. Zaki sendiri menempati kamar yang di lantai dua.

"Zaki, kau sudah makan ?" tanya Damien.

Zaki duduk di kursi meja makan lalu menjawab. "Belum, apa yang kau masak ?"

"Aku memasak kwetiau goreng dari resep yang kau berikan kepadaku. Bukannya kau pandai memasak ?" Damien mencoba merayu Zaki agar membantunya.

"Ya begitulah, kau mau aku membantumu kan ? Bilang saja dari tadi." Zaki lalu berjalan ke dapur, sementara Lakhsan sedang membuat kopi hangat.

Setelah kwetiau itu jadi, mereka bertiga makan di meja makan. "Hmm, bagaimana kencan kalian berdua tadi ?" tanya Damien sambil tersenyum mengolok.

"Sudah kubilang bukan kencan, koki muda." ketus Lakhsan.

"Bukannya kau sudah punya pacar ?" tanya Zaki mengalihkan topik. Baru-baru ini Damien resmi berpacaran dengan wanita Inggrs. Wanita itu mempunyai rambut hitam tebal, mempunyai hidung yang mancung, dan mata yang bulat.

"Tentu saja, kami berdua besok malam mau berkencan." Damien menatap Zaki. "Jadi urusan untuk mengisi perut Lakhsan yang malang ini aku serahkan kepadamu."

"Bisakah kau diam ?" Lakhsan terlihat kesal, Damien hanya tersenyum lalu melanjutkan makan.

Setelah makan, mereka berkumpul di ruang tengah. Damien asik menonton acara masak-masakan, sementara Lakhsan sibuk dengan handphonenya, dan Zaki juga sedang sibuk dengan laptopnya. Zaki sedang melihat-lihat di toko online karena ia ingin sekali membeli road bike yang baru. Saat sedang asik mencari-cari tiba-tiba handphonenya berdering, ia menatap layar lalu langsung mengangkatnya.

"Halo, ada apa Bang ?" tanya Zaki.

Reyhan berdeham sebentar, "Gimana disana, enak ?"

"Ya begitulah." Zaki lalu berdiri dan mengambil muffin di kulkas yang ternyata sisa satu.

"Zaki, gue aneh sama lu kenapa ngerahasiain kepergian lu. Teman-teman lu nelepon gue mulu tapi gak gue angkat." keluh Reyhan.

Memang ada maksud Zaki merahasiakan ini semua yaitu agar Shania tidak datang menyusulnya kesini karena ia adalah orang yang tidak bisa menyusahkan orang lain. Ia pun berfikir bahwa Shania mungkin sudah melupakannya selama 6 bulan terakhir ini.

Kakaknya itu melanjutkan. "Gak ada niat ngehubungin Shania ? Dia kayaknya paling kangen sama lu."

"Mmm, nanti gue telepon." Kata Zaki berbohong, ia sama sekali tidak niat menghubungi Shania karena pasti  Shania akan menyusulnya jika tau ia ada di London.

"Yaudah, oh iya, gue udah di Paris nih, kalau lu mau kesini bilang dulu ya." ucap Reyhan.

Zaki mendengus pelan. "Oke, makasih ban--"

"Tunggu-tunggu, Zaki, di London ada temen gue yang juga kuliah disana, lu gak perlu tau dia siapa dan kalau ketemu pun lu bakal kaget." kata Reyhan lalu menutup teleponnya. Zaki tak peduli siapa teman kakaknya itu.

Kakaknya itu sekarang sudah tinggal di Paris dan membuka usaha makanan disana sambil berkuliah. Zaki ingin sekali pergi kesana tapi apa daya rasa malas masih menyerangnya. Kini ia sedang melamun memikirkan Shania tentunya, apakah Shania sudah melupakannya ? Atau yang lebih parah mungkin, yaitu menemukan yang lebih baik darinya. Zaki mengenyahkan pikiran itu lalu bergegas ke kamar mandi.

Besoknya, tepatnya sore hari menjelang malam di hari Sabtu. Damien sudah siap dan rapi untuk pergi makan malam bersama pacarnya dan ia prihatin melihat dua teman satu flatnya yang sedang bermain PS.

"Kalian berdua, apakah tidak berniat mencari wanita di London ?" tanyanya sambil tersenyum tipis.

Lakhsan pun membalasnya. "Tenang saja, aku kemarin sudah chatting dengan perempuan yang aku suka."

"Baguslah." Damien lalu menatap Zaki. "Kau sudah menemukan wanita yang membuatmu jatuh cinta disini, Zaki ?

"Aku tidak tertarik pada wanita disini." Kata Zaki, melihat Damien mengerutkan keningnya dengan cepat ia menambahkan, "Tidak, aku bukan gay. Cuman belum ada wanita disini yang membuatku tertarik."

"Teruslah mencari Zaki, oke aku pergi, dulu." Damien lalu pergi dan di ruang tengah hanya ada Zaki dan Lakhsan.

Mereka berdua terus bermain hingga jam 10 malam dan mereka pun sudah menghabiskan 5 snack yang ada di lemari makanan.

"Aku lapar sekali." kata Lakhsan.

"Kau mau aku memasak untukmu ? Sayang sekali, aku sedang tidak berniat memasak." Lalu Zaki melihat jam yang menunjukkan pukul setengah 10. "Oke aku akan membeli makanan diluar."

"Kau mau aku temani ?" tanya Lakhsan.

"Tidak, biar aku sendiri saja."

Jalanan kota London masih ramai, Zaki dengan mengenakan jaket berwarna birunya berjalan berbaur dengan warga kota yang berlalu lalang. Ia menaiki bis yang 24 jam beroperasi menuju Mayfair untuk menuju ke restoran khas Indonesia langganannya.

"Zaki." Sapa seorang pelayan yang bernama Dayat. "Mau mesan apa, kebetulan hari ini kita buka sampai jam 11 hari ini."

Zaki tidak peduli Restoran ini tutup jam berapa yang terpenting adalah ia bisa mengisi perutnya yang sudah keroncongan. "Aku mesen soto betawi ajah 2 porsi." Ia tau Lakhsan suka sekali soto betawi.

Setelah 2 porsi soto betawi di tangan, Zaki langsung memutuskan langsung pulang dan menyantap soto yang nikmat ini. Saat diperjalanan ke halte bis ia mendengar teriakan seorang wanita dan dari teriakannya itu sepertinya sedang dalam bahaya. Ia lalu menghampiri sumber suara tersebut dan ternyata suara tersebut berasal dari gang yang sempit di Mayfair.

Suara itu kembali terdengar kali ini ada isak tangis yang keras, Zaki tanpa berpikir panjang langsung menyusuri gang sempit itu dan tak diduga ada seorang Pria yang mencoba memerkosa seorang wanita. Wanita itu terbaring di tanah dan si Pria mencoba melepaskan pakaiannya satu-satu.

"Hey!" teriak Zaki lalu berlari dan menarik pria itu menjauhi si wanita.

"Kau, berani-beraninya mengganggu ku. Dasar." Pria itu berdiri dan dari wajahnya dia ternyata mabuk berat. Zaki berhasil menghindari tinju yang dilayangkan pria itu dan membalasnya dengan menendang perutnya. Pria itu memegangi perutnya dan tanpa ampun Zaki kembali menendang wajahnya dan tersungkur.

"Maaf mengganggumu." kata Zaki menunduk kepada pria itu. Menunduk menghina.

Pria itu bangun lalu mengancam. "Awas kau!" Lalu pria itu berlari dan pergi. Zaki sudah terbiasa diancam dan biasanya ancaman itu hanya omong kosong belaka.

Wanita itu berdiri. "Terimakasih sudah menolongku. Kau baik-baik saja ?"

Zaki menoleh kebelakang dan menatap wanita itu. "Ya, sama-sam.. Eh ?"

"Hah ? Kamu..."

To Be a Continued

3 comments: