Pages

Standupwrongway Fanfict JKT48 : Unreachable 2 (Part 7)

Wednesday 27 January 2016
Jakarta, Indonesia

Shania sudah sampai di rumah setelah ia mengantarkan Adam ke Bandara. Ia lalu bergegas menuju kamar dan merebahkan dirinya di kasur, memikirkan kembali apa yang sudah ia dengar di radio, namun ia memilih tak mempermasalahkan itu. Selagi ada Adam, mungkin Shania bisa perlahan melupakan Zaki.

Shania mengambil handphone-nya dan ia langsung kaget ketika melihat Path-nya dan mengetahui Valdy berada di London. Lalu ia langsung nge-line Valdy dengan segala amarah yang ia pendam mengapa Valdy tak mengajaknya.

"BANGKE! KENAPA KAMU GAK BILANG-BILANG KALAU MAU KE LONDON, AKU IKUT!" Ia tulis dengan capslock yang menyala-nyala.

Namun setelah beberapa jam, tak ada balasan. Shania memilih untuk tidur karena lelah.

London, UK

Valdy terdiam ketika melihat siapa yang baru saja masuk dan ia melihat orang itu bergumam sedikit dengan bahasa yang tidak ia ketahui.

"Oh iya, ini temen gue..." Belum Wisnu menyelesaikan ucapannya, Zaki menghampiri Valdy lalu menepuk kedua bahu Valdy dengan keras.

"Ini beneran lu ? Valdy ?" tanya Zaki bersemangat.

"Oui!" jawab Valdy datar. Ia tau ini diluar akal sehat, bayangkan saja ketika teman yang sudah lama menghilang tanpa sebab dengan sengaja dan saat bertemu dia seakan-akan tak berdosa, seakan tak mengingat kesalahan apa yang dia lakukan.

"Eh... Jadi kalian udah kenal ? SMALL WORLD!" seru Wisnu.

"Udah, gue sama dia kan temenan dari SD sampai SMA dan hebatnya lagi kita sekelas terus." ujar Zaki sambil tersenyum.

"Hmm, kalau begitu, Valdy. Kenapa lu gak minta Zaki ajah yang jemput tadi ? Kalian kan teman lama, kok sampai minta gue sih ? Itu kalau emang kalian udah temenan dari SD."

Zaki terdiam, terlebih Valdy. "Hmm, kejutan ajah hahaha. Lagian lu kan yang ngebet pengen ngejemput gue ?" jawab Valdy.

"Eh Dy, ada yang mau gue tunjukin." Zaki lalu bergegas ke kamarnya yang berada di lantai dua, sementara Valdy mengekor di belakang

Valdy melihat bahwa kamar Zaki ini kecil, namun nyaman. Terdapat satu meja, kursi, kasur, lemari, dan satu lukisan besar.

"Mau nunjukin apaan ?" tanya Valdy.

"Engga jadi, gue disini mau ngobrol ajah sama lu." jawab Zaki santai. "Jadi, apa kabar ?"

"Flat." kata Valdy datar karena ia menjadi malas ketika berhadapan dengan orang yang penuh salah, namun, ia seakan tak merasa berdosa, mungkin tulah untuk saat ini dan kedepannya tidak tau.

"Hmm begitu.." ucap Zaki.

Akhirnya setelah itu mereka terdiam tanpa kata, tangan Valdy lalu merogoh koceknya dan mengambil handphone-nya, lalu ia melihat pesan dari Shania.

"BANGKE! KENAPA KAMU GAK BILANG-BILANG KALAU MAU KE LONDON, AKU IKUT!"

Valdy hanya tertawa melihatnya. Tentu saja dia marah, selain London itu kota yang keren, disini pula terdapat Blogger idolanya, yang kini sedang berada di depannya.

"Sorry, bukan aku gak ngasih tau tapi tiketnya mahal tau! Udah ah!" Valdy membalas line dari Shania, lalu setelahnya dari Arraufar, Viny dan semuanya. Tentu menurut Valdy ini menyenangkan ketika masih bisa berhubungan dengan teman walau jarak tak memungkinkan, berbeda dengan si brengsek di depannya yang pergi tanpa sama sekali memberitahu temannya.

"Senyum-senyum sendiri lu." kata Zaki.

Valdy tersenyum lebar. "Iya, ini temen-temen gue pada nge-line, seneng juga masih berhubungan sama temen walau jarak tak memungkinkan."

Sindiran itu membuat Zaki terdiam, ia memikirkan teman-temannya di Indonesia dan juga tentunya Shania. Namun setelah Valdy berkata seperti itu, Zaki tak mampu untuk bertanya, padahal ia sangat mau.

"Gue nyesel juga gak ngasih tau kalian kalau gue mau pergi kemana. Gue gak bilang-bilang ke London karena gue gak mau buat Shania terus memikirkan gue dan tentunya gak mau buat Shania menyusul gue kesini. Semua udah terlanjur."

"Tapi sayang Zaki, Shania justru lebih memikirkan lu, dia udah ngira lu udah gak ada di dunia ini, gak ada jejak."

"Gue emang tolol, memang seharusnya gue ngasih tau Shania dan kalian kalau gue mau pergi ke London. Makanya gue membuat blog untuk melampiaskan rasa menyesal gue ke kalian dan rasa rindu gue ke Shania."

"Lu gak tolol, namun sedikit dibawahnya, bego. Lu bego karena lu mikirin cuman ntar bagaimana Shania. Gue tau lu mikir jika Shania tau lu disini, dia bakal nelepon lu terus dan tentu itu mahal banget, dia mungkin bakal liburan kesini untuk bertemu lu, lu gak mau buat dia repot secara kalian emang belum pacaran, dan yang paling ekstrim Shania ikut lu kesini dan menimba ilmu. Tapi menurut gue, lebih baik Shania tau dimana diri lu sekarang, daripada dia merindu dengan seseorang yang tak pasti lagi apa ada atau tidak di dunia ini." kata Valdy panjang lebar.

Valdy melanjutkan. "Btw, bagus kan omongan gue tadi ?"

Zaki hanya diam mendengarnya dan dalam hati iya mengiyakan apa yang Valdy katakan.

Lalu pikiran Zaki kembali ke masa itu.

***

Beberapa Tahun Lalu
Jakarta, Indonesia

Zaki sedang bermain poker di kelas bersama teman-teman di kelas sepuluhnya, sementara Valdy yang menjadi panitia penyelenggara permainan tersebut akan memberi hadiah kepada yang menang yaitu Nomor telepon Shania dan PIN BBM-nya yang baru, karena Shania membuat laki-laki di kelas tertarik kepadanya, kecuali Zaki dan Valdy, karena Zaki lebih menyukai Viny yang berada di kelas lain sementara Valdy tau bahwa Shania adalah sepupunya.

Zaki tidak membutuhkan nomor teleponnya dan ia menganggap ini hanyalah untuk unjuk kebolehannya bermain poker karena ia sendiri berlatih dengan raja poker se-angkatan, Arraufar.

Entah kenapa ia tertarik dengan permainan ini, padahal Shania adalah rival abadinya dalam hal ranking se-angkatan, semester lalu Zaki berhasil menempati peringkat 4 sementara Shania dibawahnya.

Ini semua terjadi karena Shania merasa iri dengan nilai Bahasa Inggris Zaki yang selalu mendapat nilai diatas 95 dan untuk menunjukkan bahwa ia pintar, Shania menantang Zaki untuk siapa yang berada paling depan di ranking satu angkatan. Zaki menerimanya, walaupun ia berpikir kenapa nilai Bahasa Inggris yang menjadi tolak ukur dan ternyata setelah di selidiki Shania sangat menyukai Bahasa Inggris dan tak rela siapapun untuk mendapat nilai diatas nilainya.

"Zaki." panggil Shania saat istirahat setelah pelajaran Bahasa Inggris.

"Hmm ?"

"Lu jago juga bahasa inggris ya."

Zaki hanya tertawa kecil. "Gak jago juga sih, di rumah gue juga suka ngobrol inggris sama Nyokap."

Shania pun merasa laki-laki di depannya ini sombong sekali. "Kalau begitu, gimana kalau kita tanding ?"

"Hah ?"

"Kok, hah ? Tanding! Siapa yang peringkatnya paling tinggi di semester ini!" seru Shania, sementara Zaki hanya terdiam.

"Taruhannya ?"

"Gak ada! Pokoknya begitu! Yang menang gak dapet apa-apa tapi yang kalah juga, cuman tanding kok." jelas Shania.

Zaki hanya mengangguk karena tak mengerti. Walau Zaki pikir persiangan ini tidak ada hadiah tapi tampaknya akan berjalan seru.

Lalu Zaki sekarang sedang memegang kartu, entah kenapa ia berusaha menang padahal ia tak berniat dengan hadiahnya. Ia lalu dengan sigap bermain layaknya master seperti Arraufar yang memang namanya sudah menggema di seantero sekolah sebagai raja per-poker-an.

Dan akhirnya, Zaki kalah oleh Aceng.

"Yes, dapet nomor HP Shania sama pinnya!" seru Aceng namun suaranya terdengar oleh satu kelas, Valdy langsung menutup mulut, namun tak ada yang peduli dengan teriakan Aceng lalu Valdy menyelipkan kertas ke kantong baju Aceng lalu pergi keluar. Untungnya Shania tidak ada di kelas.

Ia tau bahwa Shania banyak sekali yang suka, bahkan mengalahkan popularitas Ketua OSIS saat itu, Kak Melody dan wakilnya Veranda yang kini menjadi pacar pertamanya di London. Ia juga bingung mengapa sekolah ini tidak melirik perempuan yang di sukainya waktu itu, Viny, padahal ia tak kalah cantik dari 3 perempuan itu.

Saat keluar, ia melihat di lapangan ramai sekali kerumunan lalu dari lantai atas ia melihat ada seorang laki-laki yang berlutut di depan Shania, ia tak tau siapa laki-laki itu yang pasti dia adalah anggota OSIS, sama dengan Shania.

"Itukan Zildjian ? Cowok yang ganteng itu!" kata perempuan yang baru datang dan berdiri di sebelah Zaki.

"Eh ?"

"Ahahahaha, maaf-maaf ngomong sendiri." kata perempuan yang Zaki tidak tahu namanya.

Lalu mereka berdua terdiam dan ketika Zaki melihat Shania dan Zildjian berpelukan, rasanya ia ingin memeluk perempuan disebelahnya ini namun ia sadar ia bukan siapa-siapa.

"Mereka jadian juga." kata perempuan itu. "Btw nama aku Ayana."

"Zaki." lalu mereka berjabat tangan. Kesan pertama Zaki melihat Ayana adalah perempuan ini terlihat ngantuk dan Zaki pikir Ayana begadang semalaman mengerjakan tugas.

"Kamu ngantuk ?" tanya Zaki.

"Eh engga, emang mata aku sayu begini jadinya kaya orang ngantuk." ujar Ayana yang membuat Zaki malu.

Namun sayang, Ayana harus pindah diakhir semester 2 ke Jepang karena ikut orang tuanya dan di semester 2 itulah Zaki kembali unggul atas Shania, 2-0.

Shania menjadi agak menjauh dari Zaki disaat Shania sudah bersama Zildjian, walaupun di kelas XI mereka berpisah, tapi keuntungannya ia kembali sekelas dengan Valdy dan disaat yang sama Arraufar dan Viny juga berada di kelas yang sama. Lalu ia berkenalan dengan Alex, Dhika, Taufan, Sinka, dan Yuvia.

Sesekali Zaki dan Shania bertemu, Shania hanya diam dan lanjut berjalan seakan ia tak kenal Zaki dan pikir Zaki mungkin Shania kesal karena kalah untuk kedua kalinya. Saat berpacaran dengan Zildjian, Shania tak lagi naik MRT untuk pulang ke rumahnya karena selalu diantara pacarnya itu menggunakan mobil. Sementara Zaki dan teman-temannya masih setia dengan sepeda.

"Emang keren tuh bocah, ke sekolah naik mobil, boro-boro gue naik mobil, motor ajah gak punya." kata Alex yang iri kepada Zildjian.

Dan di kelas XI pun, Zaki mengakui kehebatan Shania karena perempuan itu berhasil menjadi ketua OSIS yang baru menggantikan Kak Melody, walaupun sangat aneh karena wakilnya adalah pacarnya sendiri, Zildjian. Zaki golput dalam pemilihan ketua OSIS karena ia masih mau Kak Melody yang menjabat, selain baik, ia adalah mantan Abangnya Zaki, Reyhan yang sudah lulus duluan.

Zaki pun pusing sama kebersihan kelasnya, karena ia dan teman-temannya mendapat kelas yang lumayan kotor, lantainya pun walaupun sudah di pel berkali-kali tetap saja meninggalkan noda yang membuat para guru marah, padahal itu sudah di bersihkan.

Akan tetapi, saat festival budaya justru kelasnya lah yang banyak menuai pujian dari para guru, ini tak terlepas dari konsep yang diusung Zaki, Valdy, dan Viny dan dukungan dari wali kelasnya, Pak Tulus Abadi.

Namun, yang paling berkesan menurut Zaki di jaman SMA-nya adalah ketika dinner dengan Shania, sempat ia ketar-ketir karena restoran yang dipilih Shania mahal namun untungnya itu punya Ayahnya Arraufar sehingga Zaki mendapatkan diskon bahkan tidak membayar.

Ketika Shania mengobrol dengannya, tertawa, bercanda, bercerita di temani suara ombak yang mengulung menabrak bebatuan dan klimaksnya adalah ketika Shania meminta Zaki untuk menggenggam tangannya dan Zaki melakukannya tanpa ragu.

Semenjak saat itu, Zaki melupakan persaingannya dengan Shania dan mulai menyukai perempuan itu.

***

London, UK

Zaki hampir menangis ketika menceritakan kisah SMA kepada temannya ini, Valdy pun hanya terdiam mendengar, menyimak, dan mengoreksi jika ada yang salah dari ceritanya.

"Gue melakukan dosa besar kepada kalian, yaitu pergi diam-diam ke London tanpa kabar." kata Zaki. "Gue takut ajah nyusahin Shania seandainya dia tau gue ada di London."

"Justru dia lebih susah karena selalu memikirkan dimana lu berada dan bagaimana keadaan lu sekaranag. Sampai saat ini dia gatau lu dimana." kata Valdy.

"Jadi, Shania sekarang gimana ?" tanya Zaki.

Valdy menggelengkan kepala. "Sorry, dia udah punya pacar baru."

Zaki terdiam dan hanya diam yang bisa ia lakukan, namun Zaki pikir itu bukan masalah karena memang Zaki dan Shania belum pacaran dan mempunyai pacar adalah wajar karena dirinya sendiri pun sudah punya.

"Begitu...." kata Zaki gantung. "Gue mau jujur, sebenarnya juga udah punya pacar disini."

Valdy hanya tersenyum. "Pantes ajah gak ngehubungin kita-kita, udah punya pacar toh."

"Hahaha engga juga." kata Zaki sambil membuang ingusnya.

"Siapa nih ? kenalin dong." tanya Valdy sambil mengambil botol minumannya, keadaan sudah mencair dan Valdy tau harus melakukannya karena dengan begini masing-masing dari mereka sudah punya pacar tapi sayangnya mereka berdua masih merindu satu sama lain.

"Veranda."

Valdy memuntahkan air yang ia minum, hingga airnya berceceran di lantai Zaki "Hah ?!"

"Iya, Veranda, cewek yang dulu suka ke lu. Dia pacar gue." jawab Zaki.

"Kak Veranda di London ?" tanya Valdy lagi.

"Iya."

"Yang bener ?"

"Iya."

"Suer ?"

"Iya."

"Serius ?"

Zaki melempar bantalnya ke temannya itu."IYA!!!!!!"

"Hahaha, hoki juga lu dapet yang cantik begitu."

Zaki hanya tersenyum. "Walaupun di hati terdalam gue masih milik Shania."

"Tapi mungkin gue yakin kalian udah saling melupakan disaat masing-masing dari kalian udah punya orang yang 'baru'" kata Valdy, membuat Zaki terdiam.

Valdy tak mau membuat suasana galau kembali. "Oke, begini, gue udah sampe London, gimana ajak gue jalan-jalan ?"

Zaki hanya mengangguk, lalu mereka turun ke bawah.

"Lama banget, lu berdua ngapain ?" tanya Wisnu yang sedang bermain kartu remi dengan Damien.

Lalu Zaki tersenyum lebar. "Main cangkul gak seru ah, gimana main poker ?"

Valdy juga tersenyum mendengarnya. "Iya, poker, Damien, pouvez-vous jouer au poker ?"

"Ya, aku bisa!" kata Damien dengan bahasa Indonesia seadanya.

Lalu mereka berempat bermain poker.

"Deja vu!" seru Zaki, namun kini pokernya tanpa hadiah.

***

Jakarta, Indonesia

Shania terbangun dari tidurnya dan jam menunjukkan pukul 8 malam, ia bergegas ke kamar mandi untuk mencuci muka lalu sehabis itu ia membuka laptop dan mengecek notifikasi handphone-nya.

"Sorry, bukan aku gak ngasih tau tapi tiketnya mahal tau! Udah ah!" balasan dari Valdy, ia kesal dan hanya membacanya lalu sekarang ia akan membaca-baca blog Sanzacks sambil menunggu Adam menghubunginya.

Walaupun sudah lama blog itu tidak melahirkan tulisan baru, namun Shania tak pernah bosa membacanya. Baginya membaca blog itu adalah rutinitasnya sehari-hari jika punya waktu senggang walaupun Adam tidak menyukai blog Sanzacks ini, katanya terlalu lebay tapi menurut Shania itu adalah tulisan yang sangat bagus.

Setelah satu jam membaca blognya, ia langsung turun dan melihat Ibunya sedang menonton televisi sendiri.

"Ma." sapa Shania lalu duduk di samping Ibunya.

"Udah makan ? Cepet sana makan ntar sakit walaupun kamu jarang sakit sih kalau gak makan sekalipun." kata Ibunya sambil terus mengganti channel.

"Iya nanti aku beli nasi goreng ajah yang di Blok I." jawab Shania.

"Sekalian beliin Mama ya, eh kamu gak takut sendiri ? Biasanya kamu pergi beli nasi goreng sama siapa itu namanya ? Zaki ya ? Kemana dia ?"

Seketika Shania diam ketika Ibunya mendengar nama Zaki. Pikirannya melayang ke masa lalu ketika ia sering makan bersama Zaki di tempat nasi goreng itu, kadang Zaki yang membayarnya, terkadang Shania yang membayarnya karena Zaki lupa membawa uang.

"Alasan kamu ajah biar nanti di bayarin." keluh Shania ketika mereka selesai makan nasi goreng.

"Eh beneran gak bawa kok. Kamu jangan ngambek gitu ah." kata Zaki sambil mencubit pipi Shania.

"Bohong."

"Engga."

"Yang bener ?"

"Iya."

"Beneran ?"

"Iya Shania!"

"Engga!!!"

"Beneran Shania, aku gak bawa uangnya, entar deh aku ganti uang Shania." kata Zaki.

Shania langsung terdiam ketika Zaki menggunakan kata ganti dengan namanya sendiri.

Zaki melanjutkan. "Kok diem ?"

"Eh iya-iya, gausah diganti deh."

"Yaudah, kenapa Shania tadi cemberut ?" lalu Zaki mengusap kepala Shania. "Nanti aku bawa uang deh, biar Shania gak bayar lagi."

Shania terdiam memikirkan masa lalu yang kini terus hinggap di kepalanya, baginya semua tentang Zaki tak akan hilang dan akan hilang jika ia mati nanti.

"Kok diem ajah ? Duh anak Mama ini sekarang kebanyakan melamun ya." kata Ibunya.

"Aku gak tau dia dimana sekarang Ma." kata Shania pelan.

"Loh kok gitu ? bukannya kalian deket ? kamu sempet pacaran sama dia kan sebelum sama si Adam itu ?" tanya Ibunya.

Shania hanya menggeleng pelan, lalu Ibunya merangkul Shania. "Mending kalau dia pergi tanpa kabar, kamu lupain ajah dia, cowok yang begitu gak pantes buat dicintai."

Lalu Shania bangkit dari duduknya dan pergi keluar. "Aku pergi beli nasi goreng dulu ya, Mama yang pedes apa engga ?"

"Engga!"

Shania lalu melangkah keluar dan kembali merajut kenangan lama tanpa sosok laki-laki yang membuatnya susah lupa.

***

3 Hari Kemudian 
London, UK

"Makasih ya semua, gue pulang dulu." kata Valdy ketika Zaki, Wisnu, dan Veranda mengantarnya ke Bandara.

"Iya sama-sama, kapan-kapan kesini lagi ya." kata Veranda.

"Hmm, iya deh iya." ujar Valdy lalu melanjutkan. "Zaki, kapan lu ke Jakarta ? Anak-anak pada kangen tuh."

"Iya, nanti." Walaupun Zaki tak tahu kata nanti itu batasnya kapan.

Valdy tau bahwa keluarga Zaki sudah pada pindah, Abangnya berada di Paris dan kedua orang tuanya membuka usaha di Florence, Italia.

"Okelah, bye!" kata Valdy sambil berjalan ke dalam.

***

Indonesia

Shania sekarang sudah berada di bandara untuk menjemput sepupunya. Ia merasa malas karena harus menjemput sepupunya itu. Sambil menunggu, ia makan dan minum di sebuah kedai yang tak jauh dari ruang tunggu kedatangan.

Saat ia makan, matanya tak sengaja menangkap seseorang yang tak asing lagi baginya, yang pernah menjadi bagian hidupnya. Lalu tak lama kemudian mereka bertatapan dan saling tersenyum satu sama lain, orang itu pun menghampiri Shania.

"Hmm, Apa kabar ?" kata Zildjian sambil menarik kursi untuk duduk.

"Baik, kamu ?" tanya Shania.

"Biasa ajah." jawab Zildjian sambil membetulkan posisi duduk.

Lalu mereka berdua terdiam, Zildjian berjalan untuk memesan secangkir kopi, saat kembali dengan kopi di tangannya ia tersenyum lalu bertanya. "Denger-denger kamu mau kuliah di Prancis ya ?"

"Iya, kok bisa tau ?"

"Ya tau ajah, ada yang bilang juga sih." kata Zildjian lalu menyesap kopinya yang panas. "Sekarang, masih jomblo apa gimana nih ?" lanjutnya.

"Hahaha, engga aku engga jomblo." kata Shania mencoba seasik mungkin, padahal ia lebih memilih bertemu Zaki disituasi begini daripada bertemu Zildjian.

"Sama siapa  ? Zaki ?" tanya Zildjian lagi.

Shania terdiam sambil mengaduk minumannya, tak bisa menjawab.

"Aku tau kalau kamu ngaduk-ngaduk minuman begitu tandanya lagi gak semangat, atau karena kamu engga mau ngobrol sama aku ?" kata Zildjian.

"Eh engga kok, biasa ajah, bukan sama Zaki." jaawab Shania.

"Lho kok ?"

"Iya begitulah."

"Sekarang Zaki dimana ?"

Shania menggeleng pelan dan berusaha menahan tangisnya, ia tau bahwa saat ini bukan yang tepat untuk menangis, lalu Shania berdiri. "Udah ya aku kesana dulu, kebetulan yang aku jemput udah mau datang."

Tak lama berselang. Shania melihat Valdy yang sedang terlihat mencari-cari.

"Woy!" seru Shania kepada sepupunya itu.

"Eh ketemu juga, aku cariin dari tadi tapi gak nongol-nongol." kata Valdy.

"Hehehe, yaudah yuk langsung."

Mereka berdua menuju ke mobil, Valdy menawari dirinya untuk mengemudikan mobil, namun Shania menolak. "Kasihan, kamu capek."

Saat mobil dihidupkan, Shania terdiam lalu tiba-tiba ia menghujamkan kepalanya ke bahu Valdy seraya menangis.

"Shan, kamu kenapa ?" kata Valdy bingung kenapa perempuan disampingnya tiba-tiba menangis.

Namun Shania tidak menjawab dan terus menangis, Valdy tau situasi ini, mungkin Shania bosan terus-menerus ditanya dimana Zaki ? Bagaimana Zaki ? dan itu membuat Shania gusar. Namun ia harus terus menerus merahasiakan dimana Zaki berada, karena ia sudah menyusun skenario yang sangat panjang agar mereka bertemu.

"Udah Shania, kamu kan udah punya Adam, lebih baik kamu lupain seseorang yang emang udah pergi untuk alasan yang tidak jelas, pergi tanpa kabar dan diam-diam layaknya ninja."

Shania lalu mengangkat kepalanya. "Tapi kan, ya begitulah...." Shania lalu menangis lagi, tak terhitung berapa menit Shania menangis, lalu Valdy meminta Shania bertukaran posisi, kini Valdy mengemudikan mobilnya, sementara Shania masih terus menangis namun tidak lagi di bahu sepupunya itu.

Sepanjang perjalanan, Shania terus bercerita sambil menangis tentang Zaki, semuanya sampai Valdy tau mengapa Shania tak akan melupakan Zaki.

"Sekarang cincin itu kemana ?" tanya Valdy.

"Masih ada di lemari aku, aku sembunyiin di tempat yang susah terlihat, tapi ya begitulah, susah aku ngelupain dia."

Valdy terdiam lalu memilih fokus untuk membuat langkah-langkah agar mereka berdua bertemu.

"Aku yakin kamu pasti ketemu si kampret itu!" kata Valdy.

Shania hanya tersenyum lalu menghidupkan radio dan kebetulan penyiar favoritnya sedang bersiaran.

****

4 Bulan Kemudian
Marseille, Prancis

"Jadi gimana ? Udah ikutin saran aku kan buat masuk PPI ?" tanya Valdy lewat sambungan telepon.

"Hmm, udah, terus aku harus gimana ?" tanya Shania balik.

Valdy merasa sudah seperti memerintah sepupunya tersebut, namun ia pikir ini demi kebaikan Shania juga. "Jadi yang paling aktif disana, semoga kamu kepilih jadi perwakilan ajah misalnya PPI kota kamu diundang di suatu forum."

"Ah, males banget deh tapi ya gak apa-apa deh, aku coba. Udahan dulu ya, tau sendiri biaya telepon mahal, Bye!" Shania memutuskan sambungan teleponnya.

Di Prancis kini sedang musim semi, musim dimana bunga-bunga mulai berkembang. Aroma daun-daun yang baru tumbuh menyapa pagi ini, dan burung-burung bernyanyi dengan nada yang indah. Kini Shania sudah 2 bulan lebih tinggal di Prancis, untuk masalah bahasa ia tak mengalami kendala, namun untuk cuaca, ia sebisa mungkin beradaptasi. Musim semi adalah latihannya sebelum musim-musim selanjutnya.

Lalu ia melihat laki-laki di sebelahnya yang sedang melihatnya juga.

"Shan, mau ajak aku kemana nih ?" tanya laki-laki itu.

"Udah Dam, ayo aku bawa kamu keliling kota ini." jawab Shania sambil menarik tangan Adam.

Shania perlahan sudah lupa apa tujuannya ia ke Prancis. Zaki sudah mulai luntur di dalam hatinya. Ia sudah melupakan apa tujuan awalnya ke Prancis.

***

London, UK

"Kampret!" keluh Zaki ketika ia harus mengerjakan tugas demi tugas yang diberikan kepadanya. Ia tidak bermasalah dengan tugasnya, namun di London, ia menjadi orang sibuk akhir-akhir ini, selain membantu Mang Adat berjualan, Zaki juga menjadi pengurus PPI kota London. Namun kini sang ketua sedang berpergian ke luar negeri, dan ini membuat Zaki harus mengurus perhimpunan ini sebisanya.

"Adam kampret bener dah, malah asik pergi jadi kasihan gue liat lu." kata Sidik.

"Udah gak apa-apa, lagian gue masih mampu kok." jawab Zaki.

"Mending ketuanya lu ajah deh, walaupun gue tau Adam emang bagus banget, cuman gara-gara pacarnya pindah ke Prancis, dia jadi sering kesana." jelas Sidik sambil memberikan botol minum kepada Zaki.

Zaki hanya mengangkat kedua alisnya tanda mengiyakan.

Hubungannya dengan Veranda pun masih berjalan lancar dan sudah berumur 6 bulan, namun akhir-akhir ini kesibukan yang memisahkan mereka berdua. Namun mereka berdua sebisa mungkin bertemu untuk sekedar makan siang bersama.

"Hai!" sapa Zaki ketika melihat Veranda.

"Makan yuk, aku laper." ajak Veranda yang langsung menarik tangan Zaki.

Zaki dibawa Veranda ke restoran Italia favoritnya. Veranda memesan Pasta Carbonara sementara Zaki memesan Ravioli yang di rekomendasikan Veranda karena Zaki tidak mengerti makanan Italia.

"Coba ajah deh, enak tau Ravioli." begitu kata Veranda.

"Yaudah deh."

Lalu mereka berdua mengobrol seperti biasa, yaitu mengobrol hal-hal yang tidak terlalu penting seperti mengapa es krim harus dingin, mengapa anak-anak suka balon, sampai mengapa cinta itu ada.

"Yang masalah cinta itu kayaknya gak ada jawabannya deh." kata Zaki sambil mengaduk granita lemonnya walaupun ia sangat rindu kepada cincau yang selalu ia beli di sekolah.

"Kenapa ?" tanya Veranda.

"Soalnya aku gak bisa jawab." kata Zaki sambil tersenyum.

"Aku berharap kita terus begini." ucap Veranda yang membuat Zaki terdiam. "Jangan sampai ada orang ketiga yang merusak hubungan kita!" lanjutnya.

"Jangan sampai." kata Zaki sambil menyuap granita lemonnya.

Veranda lalu meraih tangan Zaki dan menggenggamnya. Sementara Zaki hanya terdiam karena tidak biasanya Veranda begini. "Aku sayang kamu."

"Kamu udah setiap saat bilang begitu."

"Gak salahnya kan mengingatkan, siapa tau kamu lupa orang yang sayang banget sama kamu."

Lalu momen itu hancur ketika pelayan datang membawa pesanan mereka berdua.

"Grazie!" seru Veranda kepada sang pelayan.

***

Setelah makan, mereka berdua berpisah untuk pulang ke flat masing-masing. Saat dijalan pulang, Zaki melihat ada perempuan yang sedang menunggu lampu tanda menyebrang berwarna hijau dan tanpa ragu Zaki menghampirinya.

"Hey Naomi!" sapa Zaki sambil berdiri disampingnya.

"Eh, hey Zaki!" sapa Naomi kepada laki-laki yang sampai saat ini masih membuatnya gundah.

"Apa kabar ?" tanya Zaki dan ia sadar itu adalah pertanyaan paling standar di dunia ketika kita baru saja bertemu dengan orang yang sudah lama tidak bertemu.

"Biasa ajah, masih kaya terakhir kali kita ketemu." jawab Naomi sambil tersenyum.

Lalu mereka menyebrangi jalan bersama-sama. "Kamu belum punya pacar ya ?" tanya Naomi.

Wajar saja Naomi bertanya seperti itu karena faktanya selama 6 bulan ini tidak ada yang tau Zaki berpacaran dengan Veranda selain teman satu flatnya, Wisnu, Valdy, dan terakhir tentunya Veranda. "Menurut kamu ?" kata Zaki.

"Hehehe, kalau diliat sih belum. Soalnya kalau jalan sendirian mulu." kata Naomi. Zaki yakin memang Naomi belum tau bahwa Veranda berpacaran dengannya.

Lalu mereka berdua menyusuri jalanan kota London dan Zaki mengikuti kemana Naomi pergi dan menghiraukan jalan pulang. Naomi berjalan menuju stasiun kereta api bawah tanah atau diitu yang dikenal dengan Tube.

"Mau kemana ?" tanya Zaki.

"Ke Camden Town, beli oleh-oleh soalnya aku mau ke Indonesia." jawab Naomi dan ia sangat senang ditemani oleh Zaki.

"Loh kok aku baru tau ya soal Camden Town..." kata Zaki.

"Makanya jangan taunya Leicester Square doang!" kata Naomi.

Lalu mereka berdua sampai di Stasiun Camden Town, begitu mereka keluar dari stasiun mereka langsung melihat dan merasakan suasana pasar souvenir di sepanjang Camden Road. Mereka pergi ke Camden Market untuk membeli oleh-oleh seperti baju kaos, miniatur bangunan seperti Tower Bridge, Big Ben Clock, Box Telepon Merah dan lain-lain.

Di Camden Market harga souvenir yang di tawarkan cukup murah dan Zaki langsung membeli beberapa miniatur untuk menghiasi kamarnya.

"Zaki, maaf ya barang bawaan aku banyak." kata Naomi.

"Hahaha, iya gak apa-apa lagian gak terlalu berat." kata Zaki sambil menenteng setengah belanjaan Naomi.

Lalu mereka menyempatkan untuk makan di pujasera yang terdapat makanan Asia, Meksiko dan tentunya Inggris. Setelah makan, emreka memutuskan untuk langsung pulang karena hari sudah hampir mau malam.

***

Sesampainya di flat, Zaki langsung menuju kamarnya dan merebahkan diri. Ia sangat lelah hari ini. Namun ada satu hal yang masih mengganjal di pikirannya yaitu ucapan Veranda ketika mereka makan siang bersama. Baru pertama kali Veranda berkata seperti itu kepadanya, aneh, namun Zaki tak mau memikirkannya lagi terlebih bahwa itu memang tak seharusnya di pikirkan.

Mereka akhir-akhir ini jarang bertemu namun tentunya keduanya berusaha untuk saling menghubungi.

***

Veranda melihat Naomi baru saja pulang sedang barang bawaannya yang banyak, Veranda tau bahwa memang Naomi ingin pulang ke Indonesia, menengok orang tuanya dan adiknya. Namun ada yang berbeda dari Naomi, iya selalu senyum-senyum sendiri.

"Kamu kenapa ? Senyum-senyum sendiri." kata Veranda.

"Hehehe." Naomi hanya menyengir, ia senang karena ia bisa berjalan bersama Zaki lagi sekian lamanya, setelah kejadian waktu itu, ketika Naomi mengungkapkan perasaannya ke Zaki namun Zaki berkata sebaliknya dan sekarang ia yakin bahwa Zaki mulai tertarik kepadanya.

"Pasti kamu di temenin cowok ya perginya ?" tanya Veranda lagi. "Jarang-jarang aku liat kamu begini, biasanya kan diem mulu."

"Aku belum cerita ya tentang yang itu... Hmm..." kata Naomi.

"Cerita apa ?"

"Oke aku ceritain. Semuanya."

***

Keesokan harinya, Zaki terbangun dengan keadaan segar. Ia segera mengambil handphone-nya untuk mengecek pesan-pesan yang diterima-nya.

"Sore ngumpul ya di KBRI, jangan lupa, kebetulan di koperasi lagi banyak makanan." pesan dari Sidik, temannya sesama anggota PPI.

"Nanti kita ketemu ya, kita berdebat lagi! Aku tunggu di perpustakaan." kata Mason, temannya di kampus yang suka berdebat dengannya.

"Zaki, kita harus ketemu. Di cafe biasa, penting. Pas jam makan siang." pesan dari Veranda, lalu rasa segarnya hilang ketika membacanya pesannya. Jarang sekali Veranda mengirim pesan seperti itu dan mungkin ini adalah maksud dibalik sikap anehnya selama ini.

Ia berfirasat buruk tentang pesan ini.

***

"Hai, Veranda." kata Zaki menyapa pacarnya itu.

"Hai." sapa Veranda datar.

Zaki makin bingung dengan sikap Veranda akhir-akhir ini dan ia siap menerima apapun walau itu buruk sekalipun. Setelah ia memesan minuman, Veranda langsung menggenggam tangan Zaki lalu menundukkan kepalanya.

"Kamu kenapa ?" tanya Zaki, namun Veranda hanya menggelengkan kepalanya dan terus menggenggam erat tangan Zaki.

Lalu tak lama kemudian Veranda mulai bersuara. "Ternyata.... Hubungan kita ini mengorbankan satu orang yang sangat penting dalam hidup aku."

Zaki tidak mengerti. "Maksud kamu ?"

"Beberapa bulan yang lalu, sebelum kita jadian...." Veranda mengusap air matanya yang mulai jatuh.. "Naomi nyatain perasaannya kek kamu kan ?"

"I.. iyaa.."

"Kenapa kamu tolak dia ?" kata Veranda. "Kamu tau ? semenjak hari itu dia selalu merenung dalam diam, dia seperti gak ada semangat hidup. Di balik itu, aku bersenang-senang bersama laki-laki yang disayanginya, dicintainya, bahkan menolaknya. Mungkin kalau dia tau aku sama kamu pacaran, mungkin dia bakal mencincang aku habis-habisan."

Zaki terdiam, Veranda terus menggenggam tangannya. "Kenapa Zaki ? Kamu lebih milih aku daripada dia ? Selama ini dia masih mikirin kamu, masih suka berkhayal bahwa kamu akan selalu ada disampingnya. Tapi kemarin, dia terlihat senang, karena kamu menemaninya berbelanja oleh-oleh dan kemarin pula, untuk pertama kalinya, aku melihat dia pulang dengan raut wajah bahagia."

"Aku seneng dia bahagia dan ketika aku tanya siapa yang ngebuatnya bahagia, jawabannya kamu. Ketika aku tanya siapa yang selalu membuatnya diam, jawabannya kamu." Lalu ia terdiam sejenak. "Aku sayang sama kamu Zaki. Tapi entah kenapa setelah Naomi bercerita tentang kamu, rasanya aku adalah sahabat paling brengsek karena sudah diam-diam berpacaran dengan laki-laki yang dia cintai. Kayaknya, aku salah jatuh cinta sama kamu."

Zaki hanya terdiam dan otaknya kini dipenuhi pikiran-pikiran yang membuatnya ingin berteriak. Mungkin ini adalah yang dimaksud dari firasat-firasat buruk yang selalu muncul akhir-akhir ini.
"Jadi, mau kamu gimana ?" tanya Zaki, suaranya sangat pelan sekali.

"Kita pisah ajah ya ? ini demi kebaikan temen aku dan juga aku sendiri." Lalu Veranda melepaskan genggamannya dan mengusap kepala Zaki. "Makasih selama ini udah sayang sama aku, baik sama aku dan makasih untuk semuanya."

Lalu Zaki melihat Veranda pergi keluar Cafe, tak berniat mengejar apalagi mempertahankan hubungan ini karena ia tau bahwa akhirnya akan begini.

"Kenapa semuanya harus begini ?" gumam Zaki.

***

Ia kembali ke flatnya dan langsung rebahan di kasurnya. Ia memandangi layar handphone-nya, ia memandangi foto Veranda yang ia jadikan wallpaper. Lalu ia terdiam sejenak dan sampai pada akhirnya dia tau apa yang harus dia lakukan, melakukan rutinitas seperti dulu disaat dia belum mempunyai pacar...

To be continued....




Read more ...