Pages

Standupwrongway Fanfict JKT48 : Unreachable 2 (Part 10)

Thursday 10 November 2016
Nagoya, Japan

Arraufar sedang berjalan-jalan di Nagoya, tepatnya di Sakae, yaitu pusat perbelanjaan yang dimana penuh dengan pertokoan yang menjual merk-merk barang terkenal. Ia sendiri sedang berlibur di Nagoya, padahal ia punya waktu untuk berkunjung ke Indonesia, namun ia memilih ke kota ini karena ia sedang berselisih dengan Yuvia.

Masalah awalnya adalah Arraufar terlalu meremehkan apa itu hubungan jarak jauh, ia pikir Yuvia akan baik-baik saja ketika dirinya jauh, namun sebaliknya, Yuvia sangat benci jauh dari orang yang di sayang. Hal lainnya pun ada pada kesibukan Arraufar, selain berkuliah, ia juga kerja di perusahaan Ayahnya, tentu itu akan menyita waktunya untuk berkomunikasi dengan Yuvia.

"Kamu masih sayang gak sih sama aku ?" tanya Yuvia lewat telepon.

"I.. Iya masih sayang lah." jawab Arraufar.

"Apa kamu sayang sama aku tapi jarang banget cuman sekedar nelepon aku atau ngabarin sesuatu gitu ? Apa itu yang dinamakan sayang ?" tanya Yuvia lagi dan menurut Arraufar ini pertanyaan yang berat yang tak bisa di jawab sembarangan, jika salah langkah, selesai sudah.

"Aku sibuk kan disini, kalau pun ada waktu kosong aku pasti ngabarin kamu kok." jawab Arraufar hati-hati.

"Aku gak mau denger alasan kamu yang cuman sibuk, sibuk, dan sibuk. Yang penting kamu harus tau bahwa ada seorang perempuan yang mencintai kamu dan ia rindu akan kehadiranmu. Itu ajah. Bye."

Sehabis telepon itu, telepon Arraufar tidak diangkat sama sekali, line hanya dibaca, bahkan ia meminta kepada Valdy untuk bertanya keadaan Yuvia.

"Wah dia malah jawab 'Kamu pasti disuruh dia kan ? Udah deh aku gamau jawab!' gitu." kata Valdy.

Arraufar kini butuh waktu untuk menyendiri, merenungkan ini semua, di tempat yang tenang.

***

Bandung

"Maneh rek kamana Dy ?" tanya Aep yang menanyakan temannya itu mau kemana.

"Teuing urang oge." jawab Valdy yang menjawab tidak tahu ingin kemana.

Valdy lalu memutuskan untuk langsung pulang dan beristirahat, ia tidak tau harus melakukan apa.

Sesampainya di rumah, Valdy langsung menghempaskan dirinya ke sofa ruang tamu. Ia sangat lelah sekali dan jam pun sudah menunjukkan pukul 8 malam. Ia beranjak dari sofa dan berjalan menuju dapur untuk mengambil segelas air putih.

"Halo ?" kata Valdy mengangkat telepon dari seseorang disaat ia baru terduduk di sofa.

"Masih inget gue gak ?" tanya seseorang yang membuat Valdy penasaran. Ia lalu melihat nomornya kembali dan ternyata berasal dari luar negeri. Ia merasa tidak punya banyak kenalan yang tinggal di luar negeri.

"Hmm, gue sibuk banget nih. Bye." kata Valdy.

"Eeehhhh... Tunggu dulu gila. Ini gue Alex! Lu masih inget kan ?" kata Alex.

Sepertinya trik Valdy berhasil. "GAUSAH SOK MISTERIUS GITU, JIJIK!"

"Hahaha sorry sorry." ujar Alex.

Lalu Alex bercerita bahwa dirinya sekarang tinggal di Manchester bersama Ayahnya. Ia bilang bahwa tinggal disana sebagai Ekspaktriat memang menyenangkan, akan tetapi baginya tetap Indonesia yang terbaik.

"Indonesia gak butuh lu, cepetan pindah warga negara!" kata Valdy dengan nada bercanda.

"Ah kampret lu..." kata Alex. Lalu terjadi hening yang cukup lama diantara mereka berdua.

"Eh Valdy." kata Alex memecah keheningan.

"Hoh ?"

"Lu ngerasa gak sih, kalau kita pisah-pisah begini bawaannya pengen ketemu mulu ?" tanya Alex.

"Singkatin ajah jadi kangen. Gausah panjang begitu." ujar Valdy. "Iya sih, tapi mau bagaimana lagi, semuanya udah punya kesibukan masing-masing."

"Pokoknya gue gak mau tau, kita semua harus ketemu! Ntar kapan-kapan gue telepon lagi ya!" seru Alex lalu menutup teleponnya.

'Pokoknya kita semua harus ketemu'

Kalimat itu membuat Valdy terdiam, ia tahu bahwa grup line yang dibuat itu tidak lagi ramai, sepi. Semuanya punya kesibukan masing-masing, masalah masing-masing, namun menurutnya dibalik itu semua pasti ada waktu luang untuk mereka bertemu.

Untuk sekarang, Valdy sedang mencari-cari waktu untuk mereka semua bertemu.

****
Marseille

Farisha sedang menyetel jam digital Shania yang tidak benar, dari waktu, tanggal, sampai alarm. Sementara Shania sedang duduk menonton TV, Farisha pun merasa ada yang beda dari Shania, kini temannya itu lebih sering menonton TV daripada melihat layar handphone-nya, mungkin itu adalah caranya melupakan kenangan yang telah lalu.

"Halo." Farisha menjawab telepon dari seseorang yang akan bertemu dengannya.


"Halo."

"Eh..." Farisha sedikit kaget ketika yang menjawab sapaannya adalah suara laki-laki yang berat. "Eh iya, ini saya, Farisha, saya yang bakal jemput kamu. Kira-kira sampai di Marseille jam berapa ?"

"Hmm..." Zaki bergumam. "Gimana ya jelasinnya ya... Oh oke. Kalau denger dari suara kamu kayaknya kamu seumuran sama aku, jadi ngomongnya santai ajah, gausah formal, gue bukan orang baik-baik lohhh."

Farisha terdiam mendengar jawabannya dan kalimat bukan orang baik-baik itu membuatnya tak bisa berkata-kata. Ia merasa bahwa Ayahnya salah memilih dirinya untuk menjemput orang itu.

"Halo ?" tanya Zaki.
"
"Eh.... Oke. Gue yang bakal jemput lu, kira-kira sampai sini jam berapa ?" tanya Farisha.

"Jam 2 siang." jawab Zaki.

"Hmm oke-oke. Karena kita seumuran dan gue cewek, alangkah baiknya kalau sudah sampe lu langsung telepon gue dan gue bakal ngasih tau dimana tempat gue nunggu lu. Gue sama adik gue kok."

"Oke!"

"Bye, orang jahat." Farisha menutup teleponnya.

Shania melihat Farisha terlihat bingung. "Kamu kenapa ?"

"Aduh, aku kira aku bakal ngejemput orang yang asik, eh ternyata engga." jawab Farisha. "Yaudah deh, aku berangkat dulu, kebetulan adik aku udah ada dibawah nunggu. Kamu istirahat ya."

"Oke, selamat bersenang-senang bertemu orang jahat!" seru Shania.

***

"Halo. Gue udah sampe nih." kata Zaki.

"Hmm, oke, gue nunggu di Starbucks deket terminal kedatangan." jawab Farisha ketus.

"Oke." tutup Zaki, ia lalu melangkah mantap menuju Starbucks yang dimaksud. Ia melihat sekelilingnya sekedar untuk bahan buat blognya, ia sangat tidak bisa tidak menulis ketika sampai di suatu tempat. Namun kali ini, ada perasaan yang menahannya untuk menulis sesuatu, seperti ada yang mengisolasi pikirannya di kota ini.

Farisha tidak bisa berkata-kata ketika pertama kalinya melihat orang yang menurutnya tidak asik itu. Perawakannya mengatakan seakan bahwa ia bijaksana, tubuhnya yang tinggi seakan mengatakan bahwa ia kuat. Zaki pun angkat bicara. "Boleh gue duduk ?"

"Oh iya duduk aja, mau minum apa ?" tanya Farisha mencoba akrab.

"Hmm apa ya..." Zaki terlihat berpikir. "Ah engga deh, makasih ya."

"Oh oke kalau begitu." Farisha menahan malunya karena selama ini ia bersikap cuek terhadap laki-laki yang sedang dihadapannya ini.

"Suara lu beda ya dari yang di telepon." ucap Zaki. "Gue kira awalnya lu orangnya galak, tapi ternyata engga."

Farisha menahan tawanya melihat tingkah Zaki. "Kalau aku galak gimana ?"

"Gak mungkin cewek secantik lu galak, bener kan ?" jawab Zaki sambil tersenyum.

Kali ini Zaki sukses membuat wajahnya memerah. Ia tak bisa berkata-kata lagi dan mencoba membuka handphone untuk mengalihkan perhatian.

"Btw, katanya lu sama adik lu, dimana dia ?" tanya Zaki.

"Oh iya.. Dia keluar tadi gatau kemana." jawab Farisha sambil menerawang sekelilingnya. "Nah itu dia."

Zaki membalikkan badannya dan kaget ketika melihat adiknya Farisha. Ia seakan tak percaya. Farisha sudah menebak bahwa laki-laki yang dihadapannya ini terkejut ketika melihat adiknya, karena memang setiap teman laki-laki Farisha jika bertemu adiknya akan memasang wajah tidak percaya.

"Oh ini dia ?" tanya Adiknya itu.

"Iya." jawab Farisha kepada adiknya. "Lah kok kamu diem ajah sih ?"

"Engga, cuman heran ajah kenapa sekarang ada dua cewek cantik persis di hadapan gue. Gue gatau harus gimana." ujar Zaki.

"Hahaha, oke kenalin ini kembaran aku, Shafira. Shafira, ini Zaki." kata Farisha. Mereka berdua lalu berjabat tangan.

Lalu mereka mengobrol tentang diri mereka masing-masing, bagaimana mereka bisa belajar di benua yang jauh dari negara asalnya dan lain-lain.

"Eh pulang yok." ajak Farisha.

"Yaudah ayo, eh Zaki ntar tidur dimana ?" tanya Shafira.

"Itusih gampang, dia tinggal di apartemen Rizki ajah dulu, dia kan anggota PPI juga." kata Farisha.

Zaki ditugaskan untuk mempresentasikan mengenai acara yang nantinya akan diselenggarakan di London tersebut, kebetulan acara tersebut nantinya akan dihadiri oleh pengusaha terkenal, beberapa duta besar Indonesia untuk negara Eropa, dan juga Menteri Pendidikan dan Kebudayan.

"Sorry ya, kita gak jemput naik mobil, soalnya Marseille itu kota yang ribet banget kalau masalah kendaraan pribadi. Jadinya naik kereta aja ya. Maaf." kata Farisha.

"Oh gak apa-apa, lagian gue juga suka kok naik angkutan umum." jawab Zaki sambil tersenyum.

Di sepanjang perjalanan, Zaki terus saja berpikir tentang apa yang nanti ia akan tulis di blognya, namun ia tak menemukan apapun yang akan ditulis. Imajinasinya yang liar tidak keluar sama sekali, seperti ada yang menutupnya rapat, seakan kota ini menolak keberadaannya.

Dan ia pikir bahwa ada seseorang yang menolak kehadirannya di kota ini.

"Kok kamu diem aja ?" tanya Shafira menepuk pundak Zaki.

"Ya kalau ribut juga ganggu ketenangan orang lain kan ?" ujar Zaki.

"Iya juga ya, yaudah gue ganti pertanyaannya, kok kamu lesu banget ? Gak suka naik kereta ya ?" tanya Shafira lagi.

"Duh bukan gitu." jawab Zaki sambil sedikit mengubah posisi duduknya. "Ya intinya gue mau diem aja deh."

"Hmm."

Sampai di stasiun dekat apartemen, Zaki melihat bahwa kehidupan di kota ini sangat ramah untuk pejalan kaki dan sebaliknya tidak ramah untuk pengendara roda empat. Jalanannya sangat sempit sekali, tidak ada lahan parkir dan juga mobil yang parkir sembarangan yang membuat jalanan ini makin sempit. Ia berpikir bahwa ini disengaja oleh pemerintah agar mendorong warganya untuk naik transportasi umum.

Farisha menekan tombol di lift, sementara Zaki membuka handphonenya untuk membalas pesan Abangnya, belum ia membalas pesan, pintu lift sudah terbuka sehingga Zaki terpaksa untuk membalasnya nanti.

"Oke aku duluan ya, mau ke kamar temen aku dulu." kata Farisha setelah pintu lift terbuka di lantai 5.

"Ya!" Shafira mengiyakan.

Zaki hanya mengangguk pelan lalu ia melihat bahwa mereka akan turun di lantai 6.

Saat mereka keluar Shafira menarik tangan Zaki. "Ayo cepetan lari kalau bisa, daritadi ngeliat kamu lesu mulu jadi males."

"Eh.. Eh iya..." Zaki mengikuti Shafira sambil tangannya di tarik. "Masih jauh ?"

"Bentar lagi, nomor 606."

603... 604... 605... dan 606... "Sampai!" seru Shafira, ia menghitung menggunakan bahasa prancis, sementara Zaki sangat lelah karena ia baru saja sampai dari perjalanan jauh dan juga dibuat bingung oleh bahasa alien yang dikeluarkan Shafira.

Shafira menekan bel 2 kali, tak lama kemudian Rizki keluar dan menyambut mereka berdua. "Yo masuk."

"Lu makin cantik ajah sih, sama lah kaya kakak lu." kata Rizki mencoba menggoda Shafira.

"Apaan sih, udah cepet kenalin ini Zaki. Zaki ini Rizki." ujar Shafira.

"Zaki."
"Rizki."

"Tinggi juga lu ya, udah punya pacar ?" tanya Rizki.

"Oh gak punya." jawab Zaki sambil melihat sekeliling apartemen Rizki. Teirlaht di televisi ada GTA V yang sedang di pause lalu ia menilai bahwa apartemen ini cukup rapi dan juga tertata dengan apik. Ia melihat buku-buku disimpan di rak berwarna merah, sementara kitchen set di dapurnya pun berwarna merah, hampir semua berwarna merah sehingga terkesan ini adalah apartemen milik perempuan.

"Yaudah lu sekarang bersih-bersih aja dulu, tuh kamar mandi disitu. Kalau laper bilang aja, ntar gue buatin makan." tunjuk Rizki, Zaki hanya mengangguk sambil tersenyum membalas tawaran Rizki. "Nah Shafira, temenin gue maen dong."

"Ayo!" Shafira mengiyakan.

Sementara Zaki memilih mandi sambil memikirkan apa yang membuat imajinasinya terhambat di kota ini.

***

"Akhirnya!" seru Farisha sambil membanting dirinya di kasur kamar Shania.

"Capek ya ? Mau aku buatin minum ?" tawar Shania sambil berdiri dari kasurnya.

"Eh gausah, kamu kan masih sakit." ujar Farisha.

"Aku udah mendingan kok, besok aku mau ke kampus ngerjain tugas sama ketemu temen-temen aku." kata Shania.

"Hmm gitu." gumam Farisha. "Orang yang aku jemput ada di apartemen Rizki."

"Gimana orangnya ?"

"Ya gitu deh, orangnya tinggi, baik....." Farisha terdiam sejenak, ia tau bahwa Shania baru saja mengalami patah hati yang hebat, untuk saat ini ia memilih untuk tidak membicarakan lelaki kepada Shania. "Gitu deh."

"Ooohh."

Lalu handphone Shania berbunyi dan ia melihat di layar, langsung ia mengangkatnya. "Halo!"

"Halo juga." jawab orang yang meneleponnya. "Kamu keliatan sehat ya, bukannya kemarin sakit ?"

"Kemarin ya kemarin, hari ini ya hari ini. Udah agak mendingan sekarang." jawab Shania.

"Kamu ada kepikiran gak buat reuni sama anak-anak ?"

"Pastinya dong, aku kangen sama mereka." jawab Shania.

"Bagusnya kapan ya ?"

"Tahun baru aja gimana ?"

"Nah iya ide bagus, ntar aku bilangin ke mereka, udah dulu ya, pulsa aku habis! Bye!"

"Siapa Shan ?" tanya Farisha.

"Sepupu aku." jawab Shania.

"Oh si Valdy itu ?" tanya Farisha lagi sambil tersenyum.

"Kok kamu tau sih ?" Shania bingung mengapa banyak sekali orang yang mengenal sepupunya itu.

"Ya gitu deh hehehe." ujar Farisha yang membuat Shania geli. "Yaudah istirahat kalau kamu besok mau ke kampus, aku pulang dulu ya!"

"Oke hati-hati."

Shania melihat temannya itu keluar, ia tidak penasaran siapa yang di jemput Farisha, namun ia merasa tidak nyaman jika tidak tau siapa orang yang menjadi perwakilan itu. Lebih herannya lagi, Farisha tidak menyebutkan siapa nama orang itu.

***

"Jadi ente berapa hari disini ?" tanya Rizki ketika mereka bersiap untuk menuju tempat pertemuannya. Zaki akan mempresentasikan tentang pertemuan besar itu dihadapan PPI Marseille.

"Malam ini gue harus balik, tugas gue numpuk soalnya." jawab Zaki. sambil memasukkan laptopnya ke dalam tas. Ia meminjam laptop Lakhsan untuk presentasi kali ini karena laptop yang ia miliki sedang bermasalah.

"Bentar banget, gak ada niat jalan-jalan gitu ? Abis presentasi gue ajak keliling deh." tawar Rizki. "Lu orang rantau, kapan lagi emangnya kesini ?"

"Yaudah deh boleh, tapi baliknya jangan kemaleman ntar gue ketinggalan pesawat." Zaki mengiyakan tawaran Rizki.

"Oke deh, kan gue yang nganter lu ke bandara ntar, ayo berangkat. Jangan canggung yee, cantik-cantik soalnya cewek disini." kata Rizki sambil menepuk pundak Zaki.

"Sialan!"

***

Shania sudah bersiap, dengan baju santainya dan topi fedora di kepalanya. Ia sudah menelpon teman-temannya bahwa ia akan ke kampus. Ia lalu menelepon Farisha untuk menanyakan dimana mereka bisa bertemu.

"Halo, Shania, ada apa ?" sapa Farisha.

"Engga, ntar kita ketemuan dimana ?" tanya Shania.

"Hmm, gimana ya, aku ada rapat PPI soalnya buat ntar ke London." jelas Farisha,

"Oh iya ya, aku ikut kan ? Jadi aku harus ikut rapat apa gimana ?" tanya Shania.

"Iya kamu ikut, tapi mending kamu ketemuan aja sama temen-temen kamu, mereka udah kangen tuh."

"Yah, jadi gak enak aku, yaudah deh, makasih ya! See you!" Shania menutup teleponnya.

Ia melangkah dengan mantap untuk menuju ke kampus, Shania merasa lebih semangat, tidak biasanya ia begini.

***

Farisha hanya tersenyum ketika melihat Zaki presentasi, dengan singkat dan jelas ia memberitahu ini itu tentang pertemuan itu, dimana ia dan kawan-kawannya akan menginap dan juga ada acara apa saja yang akan diadakan. Farisha kagum cara Zaki menyampaikan presentasinya dan juga kesabarannya dalam menjawab pertanyaan dari anggota PPI.

Ia tidak kuasa untuk bertanya karena lebih baik ia memandangi Zaki daripada harus berdebat dengannya.

"Hey, Farisha." sapa Zaki ketika presentasinya sudah selesai.

"Oh hey." kata Farisha sambil tersenyum, lalu ia melirik orang di sebelahnya. "Lu ngapain disini, Ki ?"

"Gue mau ajak dia keliling nih anak, dia kan ntar malam pulangnya, masih ada lah waktu buat jalan-jalan." jawab Rizki.

"Kok cepet banget sih ? Baru aja disini semalem." tanya Farisha.

"Kan ntar ketemu juga di London." ujar Zaki.

"Oh iya ya, yaudah deh hati-hati, eh Rizki, ajak ajah Zaki ke Palais Longchamp atau gak Vieux-Port." kata Farisha.

"Iya deh iya, ayo ah Zaki." ajak Rizki.

"Bye!" Zaki mengangkat satu tangannya.

"Bye!"

Farisha makin tidak sabar ingin pergi ke London, untuk bertemu dengannya lagi.

***

Zaki berjalan menuju Vieux-Port bersama Rizki yang menjadi tour guide dadakan. Zaki merasa takjub dengan cerita Rizki yang menceritakan awal Vieux-Port ini, entah benar atau hanya mengada-ada, Zaki tidak peduli.

"Sorry, handphone gue bunyi, bentar ya." kata Rizki lalu mengangkat teleponnya. Zaki tidak begitu mengerti karena Rizki menggunakan bahasa Prancis yang sangat kilat, namun terlihat di raut wajahnya yang begitu kesal.

"Aduh Zaki, sorry banget, gue di minta tolong sama temen gue buat ngenbantu dia. Sorry banget, seandainya gue gak punya utang budi sama dia, udah gue tolak kali, sekali lagi sorry ya. Ntar malem gue anter lu ke Bandara deh." jelas Rizki.

"Oh gak apa-apa, gue bisa jalan sendiri kok, gue gak pernah kesasar, gue tau jalan pulangnya." Zaki memakluminya dan sebenarnya ia tidak mau merepotkan Rizki untuk mengajaknya jalan-jalan.

"Okelah kalau gitu, bye!" Rizki berjalan cepat kembali ke kampus, sementara Zaki memilih untuk melanjutkan jalannya dengan bantuan GPS.

Sepanjang jalan ia hanya mendengar desiran angin musim gugur dan juga bahasa prancis yang agak menjengkelkan karena ia sama sekali tidak tahu apa yang mereka bicarakan. Sebenarnya Zaki pernah sekali belajar bahasa prancis bersama Valdy, namun entah kenapa lidahnya ini menolak untuk digunakan mengucapkan aksara prancis.

Satu lagi yang juga membuatnya kesal adalah bagaimana bisa kota ini tidak bisa memberikan sebuah ide untuk mengisi blognya nanti. Seakan memang kota ini menolak kehadirannya dan juga enggan diceritakan di blognya.

Jika ada yang melakukannya, siapa ?

***

"Hey!" sapa Farisha kepada Shania yang sedang duduk di taman.

"Hey! Gimana rapatnya ?" tanya Shania.

Farisha duduk di samping Shania. "Ya begitulah dan asal kamu tau ya, aku jadi tertarik sama si perwakilan itu.."

"Hmm, gitu... Jarang-jarang kamu semangat ya soal laki-laki, biasanya kan engga." ujar Shania.

"Hahahaha, dia itu beda Shan. Ntar deh kamu liat dia di London dan nilai sendiri orangnya bagaimana, hmm satu lagi, aku gak akan kasih tau namanya, ntar kamu kenalan sendiri deh." kata Farisha.

"Iya deh iya terserah kamu." kata Shania. "Eh jalan-jalan yuk, aku pengen refreshing aja soalnya udah stuck beberapa hari di kasur terus."

"Yaudah ayo."

Shania merasa bahwa dirinya kini penasaran siapa laki-laki yang dimaksud Farisha, tapi ia tidak akan menyampingkan kenyataan bahwa dirinya kini sangat membenci apa itu laki-laki. Karena makhluk yang disebut laki-laki telah menghancurkan dirinya atas nama cinta... Membuatnya kini tidak percaya apa itu cinta sejati.

***

Nagoya, Jepang.

Arraufar sedang sibuk memandangi langit. Iya percaya bahwa langit itu sama seperti sebuah hubungan, kadang suatu hubungan itu sangat cerah seperti langit yang biru dan juga kadang gelap seperti malam hari. Namun ia percaya bahwa di malam hari terdapat banyak sekali keindahan, setidaknya hubungannya kini seperti malam hari, yang gelap, namun ia percaya bahwa akan menemukan titik terang untuk keluar dari permasalahan ini.

Handphonenya berbunyi di meja, namun dirinya sama sekali tidak tertarik untuk melihatnya, ia memilih untuk terus memandangi langit sampai ia merasa bosan atau lapar. Ia tidak siap menerima pesan apapun dari Yuvia.

Dan handphonenya berbunyi lagi untuk yang kedua kalinya dan langsung membuat Arraufar bergerak untuk mengambil handphonenya. Lalu setelah melihat sebuah nama di layar, ia langsung mengangkatnya tanpa ragu.

"Ada apa ?" tanya Arraufar.

"Lu kedengeran gak sehat."

Arraufar sedikit tertawa. "Iya Dy, gue akhir-akhir ini kurang begitu sehat dan fit dalam menjalani hari."

"Aiihhh.." Valdy berhenti sejenak. "Ini pasti gara-gara Yuvia. Susah deh gue jelasinnya padahal ini kabar penting."

"Ah begitulah... Udah deh, apaan kabar pentingnya ?" tanya Arraufar sambil membereskan majalah-majalah yang berserakan di sofanya.

"Jadi, gue rencana mau ngadain reuni kecil-kecilan lah pas tahun baru, gimana lu bisa gak ?"

Arraufar berpikir sejenak sambil memikirkan apakah ia bisa atau tidak. "Kurang tau deh, ntar gue kabarin lagi, pokoknya gue usahain ikut."

"Hmm, oke-oke."

"Eh Valdy ?"

"Hoh ?"

"Tanyain kabar Yuvia buat gue ya!" kata Arraufar.

"Oke deh oke, yaudah cepetan kabarin gue ya."

***

Marseille

Zaki kini percaya apa yang dikatakan Rizki. Vieux-Port adalah tempat yang sangat menakjubkan, deretan kapan yang indah dan juga pemandangan laut lepas membuatnya tak bisa menahan untuk mengambil gambar. Setelah puas memotret ini itu, perutnya terasa lapar, untungnya ia membawa uang yang jumlahnya cukup untuk memakan sebuah kebab dan ia memutuskan untuk membeli kebab yang dijual oleh orang keturunan Aljazair.

"Merci!" Zaki berterima kasih alakadarnya menggunakan bahasa prancis yang sangat pas-pasan.

Ia berjalan menyusuri jalan kecil di dekat Vieux-Port sambil memakan kebabnya. Zaki bahkan melihat tidak begitu susah untuk melihat wajah melayu disini, namun tetap di dominasi oleh warga keturunan Arab. Sampai akhirnya ia menemukan toko buku kecil disudut jalan. Pengetahuan buku prancis Zaki memang sangatlah miskin, ia hanya tau novel Les Miserable karangan Victor Hugo, yaitu salah satu novel terbesar di abad 19 yang mengisahkan tentang kehidupan Jean Valjean yang dihukun 19 tahun di atas kapal kerja paksa hanya karena mencuri sebongkah roti, dan kini ia sedang memegang buku tersebut, namun mengembalikannya lagi ke tempatnya.

Ia hanya sebentar di toko buku tersebut karena memang ia tidak tahu menahu tentang novel dan buku-buku Prancis. Lalu ia mengeluarkan buku novelnya yang belum ia selesai baca, ia sangat mahir membaca sambil berjalan bahkan jika ia harus mengisi sebuah formulir yang mencatumkan kelebihan, maka ia akan menuliskan keahliannya itu.

Tiba-tiba Zaki berhenti membaca, lalu menurukan bukunya dan terdiam ketika seorang perempuan baru saja lewat, seakan memang ia mengenal siapa yang baru saja lewat. Entah kenapa dirinya kini hanya bisa diam seribu bahasa. Ia lalu membalikkan badannya dan melihat seorang perempuan yang memakan topi fedora masuk ke toko buku tersebut.

Ia terdiam sejenak melihat pintu masuk toko buku tersebut. Ia seperti mengenalnya namun ia tahu diri saja karena ini adalah kota yang asing bagi dirinya dan juga ia tidak mau membuat masalah.

Zaki mencoba terus berjalan dan melupakan si-perempuan-yang-sepertinya-ia-kenal

Namun...

Hatinya secara tegas menolak untuk melupakan perempuan itu.

***

Shania dan Farisha berjalan untuk mencari makan di daerah Vieux Port. Kali ini Shania berinisiatif untuk menraktir Farisha. Farisha ingin sekali bercerita tentang Zaki, namun dirinya tau bahwa Shania kali ini sedang membenci laki-laki.

"Oh iya, aku mau ke toko buku yang di deket sini deh, katanya bukunya bagus-bagus, mau ikut ?" tanya Shania kepada Farisha.

"Gak deh, aku mau lihat-lihat baju dulu disini, ntar kita ketemuan di depan ya!" jawab Farisha.

Shania hanya menganggukkan kepala lalu iya bergegas menuju toko buku yang dimaksud. Ia berjalan dengan cepat, seperti orang Eropa pada umumnya, bahkan ada yang mengatakan bahwa semakin maju negara tersebut semakin cepat pula lah cara berjalan penduduk di negara itu. Shania tidak percaya itu, tapi dirinya yakin bahwa tidak penting sekarang untuk memikirkan cepat atau lambat jalan seseorang.

Ia mencari-cari toko buku tersebut dan terpaksa bertanya kepada seseorang yang sedang duduk santai. Setelah mendapat apa yang ia dapatkan, ia berhasil menemukan gang tempat toko buku tersebut berdiri. Ia berjalan dengan santai sambil melihat ada seorang kakek-nenek yang sedang berjalan bersama, seorang anak kecil yang sedang kejar-kejaran satu sama lain, dan seseorang dengan badan tinggi dan sedang membaca buku sambil berjalan.

Shania melewati orang yang membaca buku tersebut, namun entah kenapa jalannya merasa melambat ketika ia mencium parfum orang tersebut, sangat khas, seperti mengingatkan ia pada seseorang yang tidak pernah menyakitinya namun ia merasa disakiti olehnya. Namun ia memlilih mengenyahkan pikiran itu dan berjalan masuk ke toko buku tersebut.

Namun kembali wangi parfum tersebut terngiang-ngiang di pikiran Shania. Ia mengenal betul dan merindukan orang yang pernah memakai parfum tersebut dan kini keberadaannya menghilang tanpa jejak, seperti diculik dan dibunuh layaknya aktivis jaman dulu. Ia kini memegang buku Les Miserable dan membaca sinopsisnya sedikit, lalu ia meletakkan buku itu kembali.

"Zaki, bisa gak kita ketemuan, 5 detik aja deh, aku mau tau kabar kamu ajah, gak lebih dari itu, jika kamu udah yang menemukan yang lebih baik dari aku, aku terima dan bahkan berterima kasih kepada perempuan itu karena membuat kamu bahagia. Karena memang gak ada yang lebih baik dari melihat kamu bahagia." ucapnya dalam hati.

Shania keluar dari toko buku tersebut dan menemui Farisha untuk makan siang.

To be continued!
Read more ...