Pages

Standupwrongway Fanfict JKT48 : Unreachable 2 (Part 1)

Friday 7 August 2015
120 menit sesudah acara perpisahan...

Shania membuka pintu kamarnya dengan pelan lalu menutup dengan kaki kanannya, ia melemparkan tasnya ke sofa lalu menjatuhkan diri ke tempat tidurnya. Kini ia menggenggam sebuah kotak kecil dan menatapnya, air matanya jatuh tatkala melihat kotak kecil yang diberikan Zaki itu. Lalu dengan cepat ia mengusap air matanya lalu pergi mandi dan keramas.

Setelah mandi, Shania lalu duduk di meja rias sambil menatap wajahnya ke cermin, ia melihat wajahnya lesu dan tidak bersemangat. Kenapa aku tidak menanyakannya kemana dia pergi ? pikir Shania karena ia lupa menanyakan kemana Zaki akan pergi. Dengan cepat ia mengambil handphone-nya lalu menelepon sepupunya yang berteman baik dengan Zaki.

"Halo."

Shania menarik nafas sebentar, mengumpulkan tenaga untuk berbicara karena ia sudah tidak berbicara semenjak ditinggalkan Zaki. "Hmm, Halo. Valdy kamu lagi dimana ?"

"Lagi di rumah, baru aja sampai, ada apa nelepon ?"

"Aku mau nanya sama kamu."

"Mmm ?"

"Kamu tau gak Zaki mau pergi kemana ?"

"Pergi ? Maksud kamu ?"

Shania mendengus, "Aku serius, Valdy."

"Ya, aku juga serius. Aku gak tau dia mau pergi."

Pikiran Shania kembali pada kejadian saat di atap sekolah, saat ia memeluk Zaki dengan erat karena selama sebulan lelaki yang dicintainya menghilang, saat ia mencium Zaki dan merasa bahwa itu adalah ciuman pertama dan terakhirnya. Shania menggenggam erat kotak kecil yang belum dibukanya karena tidak berani, bukan tidak berani akan tetapi Shania memang belum mau membukanya.

"Halo.. Halo.. Shania ? Halo." panggil Valdy yang menyadarkan Shania dari lamunannya.

"Eh iyaa.. Maaf-maaf."

"Zaki gak ada bilang mau kemana sama aku, begitupun sama teman-teman lainnya. Nanti kalau aku tau dia pergi kemana secepatnya aku ngasih tau kamu, Oke ?"

"Oke."

"Tenang-tenang dia mungkin gak pergi lama, yaudah Shania aku mandi dulu, bye."

Shania menatap layar handphonenya, "Aku yang nelepon, dia yang matiin. Dasar." gumamnya.

Setelah, itu Shania sibuk menelepon satu-persatu teman dekat Zaki dan jawaban mereka semua sama, tidak tahu Zaki pergi kemana.

"Bukannya Zaki tadi ketemu kamu ? Kok kamu bisa gak tau dia mau pergi kemana ?" tanya Viny ketika Shania bertanya kemana perginya Zaki.

"Dia cuman bilang mau pergi, tapi gak bilang mau kemana, dari omongannya jelas dia bakal pergi lama." kata Shania.

Viny pun yang mendengar Shania terlihat khawatir tersenyum lebar, "Kamu ngehawatirin dia ? Udah pasti dan benar kamu cinta sama dia. Tapi maaf ya Shania, aku gak tau dia pergi kemana."

Setelah menutup telepon dengan Viny, Shania hanya terdiam sambil memainkan kotak kecilnya, memutarnya, memukulnya pelan, namun tak berani membukanya. Lalu entah kenapa bagaikan bayangan yang melesat cepat, Shania teringat sesuatu. Dengan cepat ia membongkar lemari bukunya dan mengambil sebuah buku catatan yang telah usang, ia membukanya lalu menemukan banyak sekali nomor telepon, ia memeriksanya satu-satu.

"Nah, ketemu." gumam Shania pelan lalu mengambil handphonenya dan menakan nomornya.

"Halo, ini siapa ?"

*
*****
*

"Woy, udah semua belum ? Tiket, Paspor, apa semua." kata Reyhan kepada adiknya yang ingin merantau jauh.

"Hmm, udah." jawab Zaki lalu mengusap mukanya, ia masih menggunakan jas yang ia pakai di acara perpisahan karena sesampainya disana ia harus pergi ke kantor penyelenggara beasiswa. "Aneh ajah dapet tiket pesawat yang bertepatan sama acara perpisahan. Untung ajah kita cepet-cepet."

Reyhan mengusap kepala adiknya itu. "Gausah dipikirin, oke sukses ya disana, jangan lupa ngabarin kalau udah sampai."

Mereka berdua berpelukan sejenak dan setelah itu Zaki menarik kopernya dan berjalan menjauhi kakaknya, belum jauh berjalan ia berhenti dan berbalik, "Bang, kalau ada yang nanya gue pergi kemana, tau kan jawab apa ?"

Reyhan mengangguk sambil mengancungkan jempolnya. Setelah melihat adiknya sudah tidak terlihat, ia kembali ke mobil yang terparkir tak jauh dari gedung terminal. Saat sudah menghidupkan mesin mobil, tiba-tiba nada dering handphonenya berdering keras, ia bergumam kesal lalu menatap layar handphonenya dan tidak dikenal, Siapa ?

"Halo, ini siapa ?" sapa Reyhan sedikit kesal.

"Ha-halo. Ini Kak Reyhan kan ?" tanya seseorang yang meneleponnya.

Reyhan berfikir sejenak setelah mendengar suara orang yang meneleponnya. "Hmm, iya. Eh kayaknya aku kenal ini suara siapa. Shania ?"

"Iya, aku Shania." jawab Shania yang masih duduk di depan meja riasnya, lalu menutup buku catatan yang ia ambil tadi dan melemparnya ke tempat tidurnya.

"Ada apa ?" Reyhan siap menjawab ketika Shania bertanya kemana Zaki pergi.

"Kakak tau Zaki mau pergi kemana ?" tanya Shania dengan penuh harap sambil tangan kirinya yang menggenggam kotak kecil itu.

"Barusan aku lihat dia pergi sama Ayah, tapi gak tau kemana." jawab Reyhan berbohong tentunya karena dia sendiri yang mengantar adiknya ke Bandara.

Shania yang mendengar jawaban Reyhan terlihat bingung, sebenarnya permainan apakah yang dimainkan mereka ? pikirnya, "Dia bawa apa aja pas pergi ?"

Reyhan hanya tersenyum mendengar pertanyaan Shania sekaligus bingung kenapa Zaki harus merahasiakan kepergiannya ke teman-temannya. "Bawa ransel sama koper, cuman dua itu."

"Oh, yaudah makasih kak." Shania menutup teleponnya.

Shania menarik nafas dan menghembuskannya kembali, ia bingung dengan semua ini. Teman-temannya dan bahkan kakaknya sendiri tidak tau kemana Zaki pergi kemana. Ia lalu merebahkan diri di kasurya sambil memandangi langit-langit kamarnya, ia tidak memikirkan apa yang akan ia lakukan. Shania sekarang hanya memikirkan Ichsan Zaki.

Kotak kecil yang terletak di atas meja rias itu kembali mengundang Shania untuk menyentuhnya. Ia membolak-balik kotak itu terus menerus tanpa berniat membukanya. Namun harus berapa lama ia begini terus membiarkan kotak kecil itu tidak buka, dengan perlahan ia membukanya.

Ketika kotak itu terbuka, Shania hanya tersenyum lalu mengambil sesuatu yang di dalam kotak itu.

"Cincin yang bagus." ia tersenyum.

*
*****
*

6 Bulan kemudian

London, UK

Zaki mengupil di saat berjalan menuju stasiun kereta api bawah tanah, ia baru saja pulang dari kampusnya. Ia memeluk tubuhnya sendiri, hembusan angin di musim gugur yang sejuk ini membuatnya harus cepat beradaptasi sebelum mati kedinginan.

"Hey, Zaki!" teriak seseorang yang memanggil namanya.

Zaki menoleh kebelakang dan melihat seseorang melambaikan tangannya lalu mendekat, "Ah Lakhsan, kemana saja kau ?"

Seseorang yang dipanggilnya Lakhsan itu sebenarnya adalah teman Zaki, bahkan teman satu flat Zaki. Lakhsan bertubuh lumayan tinggi, berkacamata dan dia berasal dari India. Melihat temannya memeluk dirinya sendiri membuat Lakhsan tertawa, "Zaki, tampaknya kau kedinginan, maklum lah seperti ini London di musim gugur."

Melihat temannya tertawa membuat Zaki ikut tertawa, "Beginilah, maklum kulit tropisku belum bisa beradaptasi dengan cepat."

"Jangan banyak alasan, bagaimana kalau kita ke Hyde Park saja ?" tawar Lakhsan, Zaki hanya mengiyakan karena sudah lama ia tidak kesana.

Sampai di Hyde Park yang merupakan taman terbesar di London, Zaki mengerutkan keningnya melihat banyak sekali orang yang mengunjungi taman ini.

"Kau bingung mengapa banyak sekali orang di taman ini ?" tanya Lakhsan seakan membaca pikiran Zaki, ia menambahkan, "Ya mereka semua berkumpul disini untuk menikmati sisa kehangatan musim panas, menurutku begitu."

Mereka berdua lalu duduk di tepi danau di taman itu, melihat banyak sekali orang yang berlalu lalang, ada yang berpacaran, seorang ibu yang membawa bayinya berkeliling menggunakan kereta dorong, bahkan ada yang tidur dengan santainya di taman ini.

Lakhsan membetulkan letak kacamatanya. "Barusan, aku bertemu seorang wanita. Dia terjatuh waktu itu tepat didekatku dan aku menolongnya." Zaki melihat lawan bicaranya ini tersenyum. "Kau tau ? aku berhasil mendapatkan nomor teleponnya. Senang rasanya dan aku langsung jatuh cinta kepadanya."

Zaki hanya tertawa mendengar cerita yang menurutnya terlihat mengada-ngada, lalu pandangannya lurus kepada anak-anak yang sedang bermain bola, Lakhsan menepuk bahu Zaki. "Aku mau bertanya kepadamu, apakah kau pernah mencintai wanita atau bahkan memberikan sesuatu kepadanya ?"

Zaki hanya tersenyum lalu melihat sinar jingga mentari di langit. "Kau mau tau ? Tentu saja pernah dan sekarang aku mencoba melupakannya. Tapi memang dasar, dia sudah membuatku jatuh lebih dalam. Jatuh cinta kepadanya."

Lakhsan menaikkan satu alisnya. "Kau mencintainya ? Tetapi mengapa kau ingin melupakannya dan maaf aku bertanya terus kepadamu. Apa kau pernah memberikan sesuatu untuknya ?"

"Ya, pernah. Sebuah cincin."

*
*****
*

Jakarta, Indonesia.

Shania berjalan menuju cafe bersama Valdy dan Viny. Ketika Zaki tidak ada beginilah Shania, selalu bermain bersama Viny dan mengobrol bersama Valdy. Banyak laki-laki yang mendekatinya akan tetapi Shania tidak menganggapi karena sampai saat ini dia belum melupakan seseorang yang memberikan cincin yang kini terpasang di jari manisnya.

Valdy membuka pintu cafe dan melihat yang lainnya sudah datang, "Maaf gue telat."

"Ah kampret lu, kebiasaan ngaret." kata Alex.

Semua pun terlihat senang karena setelah 6 bulan tak bertemu akhirnya bisa berkumpul bersama. Shania dicekoki beberapa pertanyaan tentang cincin emas putihnya, ia hanya menjawab membelinya dan tentunya tak bisa bilang bahwa Zaki yang memberikannya.

"Ngomong-ngomong, ada yang tau Zaki kemana selama ini ?" tanya Arraufar. Semua hanya diam tak ada yang bersuara termasuk Shania yang hanya bisa tertunduk setelah mendengar Arraufar bertanya. "Shania, kamu tau kemana Zaki ?"

"Engga tau, dia pergi gitu ajah dan gak bilang mau kemana." jawabnya tenang padahal dia ingin sekali menangis ketika mengingat Zaki.

Taufan mengetuk-ngetuk meja. "Waktu pas udah UN dia menghilang selama sebulan, pas sesudah acara perpisahan dia menghilang lagi sampai sekarang. 6 bulan." Katanya sambil tersenyum pahit.

Shania melihat semuanya pada terdiam ketika membicarakan Zaki. Laki-laki itu adalah magnet perhatian sekarang. Bahkan yang paling gila Alex mengiranya terdampar di Laut Mediterania.

"Mungkin dia pindah ke luar negeri ? Menurut feeling gue dia pindah ke Eropa atau gak Asia Timur." kata Valdy lalu semuanya pada menatapnya seakan-akan Valdy tau segalanya. "Ngapain pada ngeliatin gue ? Itu cuman nebak-nebak ajah."

"Tebakan lu masuk akal, kayaknya dia pindah ke luar negeri." kata Sinka.

Valdy menyesap kopinya lalu melanjutkan. "Gue gak tau dia pergi kemana, tapi yang pasti waktu kelas 10 atau 11 dia pernah bilang ke gue mau kuliah di luar negeri."

Shani yang tadi terdiam lalu membuka suara. "Mungkin dia ke luar negeri karena dapet beasiswa ?"

"Bisa jadi." jawab Alex. "Tapi gue yakin dia gak bakal ngelupain kita semua."

Semua mengangguk setuju.

Sesudah berkumpul mereka semua membubarkan diri. Shania, Valdy, dan Viny berjalan menuju parkiran.

Saat di mobil, Shania hanya diam melihat Valdy dan Viny bercanda. Lalu ia berusaha mencari momen yang pas untuk bertanya.

"Viny, Valdy maaf ya udah ganggu kalian berdua." kata Shania.

"Loh gak apa-apa kok Shania," kata Viny sambil tersenyum. "Santai ajah."

"Hmm, menurut kalian apa bener Zaki dapet beasiswa ke luar negeri ?" tanya Shania.

Valdy hanya tersenyum melihat Shania dari kaca depan mobilnya. "Bisa jadi bisa engga. Tapi menurut feeling aku sih dia emang keluar negeri. Aku telepon handphonenya gak aktif terus, dan email pun gak dibales dia. Bener-bener menghilang dia."

"Ya semoga ajah lah dia gak lupa sama kita semua." kata Viny.

Jika Zaki mendapat beasiswa dan belajar di luar negeri itu bagus bukan ? Tetapi mengapa hati Shania terasa sakit sekali tiap kali mengingatnya, meninggalkannya begitu saja, sendirian.

*
*****
*

"Selamat malam!" seru Lakhsan lalu menjatuhkan diri di sofa.

Mereka berdua sudah sampai di flatnya yang terletak di Paddington. Tercium aroma makanan yang sangat lezat.

"Kalian berdua sudah datang ? Kemana saja kalian ? Berkencan ?"

"Jaga mulutmu Damien, kami berdua hanya baru pulang dari taman." jawab Lakhsan.

Damien hanya tersenyum lalu melanjutkan masak. Damien Bertrand, begitulah namanya. Ia adalah koki di sebuah restoran di daerah Covent Garden dan berasal dari Prancis. Ia pandai memasak apapun yang dia mau dan itu memudahkan langkahnya untuk menjadi koki handal di usia muda, ia berusia 5 tahun lebih tua dari Zaki.

Mereka bertiga patungan untuk menyewa flat ini, orang yang pertama menempati flat ini adalah Damien, lalu disusul Lakhsan dan yang terakhir adalah Zaki. Flat ini lumayan besar dan bertingkat dua. Di lantai bawah ada 2 kamar, dapur, ruang tengah, meja makan dan balkon yang menghadap ke Hyde Park, sementara di lantai 2 ada satu kamar dan satu kamar mandi. Zaki sendiri menempati kamar yang di lantai dua.

"Zaki, kau sudah makan ?" tanya Damien.

Zaki duduk di kursi meja makan lalu menjawab. "Belum, apa yang kau masak ?"

"Aku memasak kwetiau goreng dari resep yang kau berikan kepadaku. Bukannya kau pandai memasak ?" Damien mencoba merayu Zaki agar membantunya.

"Ya begitulah, kau mau aku membantumu kan ? Bilang saja dari tadi." Zaki lalu berjalan ke dapur, sementara Lakhsan sedang membuat kopi hangat.

Setelah kwetiau itu jadi, mereka bertiga makan di meja makan. "Hmm, bagaimana kencan kalian berdua tadi ?" tanya Damien sambil tersenyum mengolok.

"Sudah kubilang bukan kencan, koki muda." ketus Lakhsan.

"Bukannya kau sudah punya pacar ?" tanya Zaki mengalihkan topik. Baru-baru ini Damien resmi berpacaran dengan wanita Inggrs. Wanita itu mempunyai rambut hitam tebal, mempunyai hidung yang mancung, dan mata yang bulat.

"Tentu saja, kami berdua besok malam mau berkencan." Damien menatap Zaki. "Jadi urusan untuk mengisi perut Lakhsan yang malang ini aku serahkan kepadamu."

"Bisakah kau diam ?" Lakhsan terlihat kesal, Damien hanya tersenyum lalu melanjutkan makan.

Setelah makan, mereka berkumpul di ruang tengah. Damien asik menonton acara masak-masakan, sementara Lakhsan sibuk dengan handphonenya, dan Zaki juga sedang sibuk dengan laptopnya. Zaki sedang melihat-lihat di toko online karena ia ingin sekali membeli road bike yang baru. Saat sedang asik mencari-cari tiba-tiba handphonenya berdering, ia menatap layar lalu langsung mengangkatnya.

"Halo, ada apa Bang ?" tanya Zaki.

Reyhan berdeham sebentar, "Gimana disana, enak ?"

"Ya begitulah." Zaki lalu berdiri dan mengambil muffin di kulkas yang ternyata sisa satu.

"Zaki, gue aneh sama lu kenapa ngerahasiain kepergian lu. Teman-teman lu nelepon gue mulu tapi gak gue angkat." keluh Reyhan.

Memang ada maksud Zaki merahasiakan ini semua yaitu agar Shania tidak datang menyusulnya kesini karena ia adalah orang yang tidak bisa menyusahkan orang lain. Ia pun berfikir bahwa Shania mungkin sudah melupakannya selama 6 bulan terakhir ini.

Kakaknya itu melanjutkan. "Gak ada niat ngehubungin Shania ? Dia kayaknya paling kangen sama lu."

"Mmm, nanti gue telepon." Kata Zaki berbohong, ia sama sekali tidak niat menghubungi Shania karena pasti  Shania akan menyusulnya jika tau ia ada di London.

"Yaudah, oh iya, gue udah di Paris nih, kalau lu mau kesini bilang dulu ya." ucap Reyhan.

Zaki mendengus pelan. "Oke, makasih ban--"

"Tunggu-tunggu, Zaki, di London ada temen gue yang juga kuliah disana, lu gak perlu tau dia siapa dan kalau ketemu pun lu bakal kaget." kata Reyhan lalu menutup teleponnya. Zaki tak peduli siapa teman kakaknya itu.

Kakaknya itu sekarang sudah tinggal di Paris dan membuka usaha makanan disana sambil berkuliah. Zaki ingin sekali pergi kesana tapi apa daya rasa malas masih menyerangnya. Kini ia sedang melamun memikirkan Shania tentunya, apakah Shania sudah melupakannya ? Atau yang lebih parah mungkin, yaitu menemukan yang lebih baik darinya. Zaki mengenyahkan pikiran itu lalu bergegas ke kamar mandi.

Besoknya, tepatnya sore hari menjelang malam di hari Sabtu. Damien sudah siap dan rapi untuk pergi makan malam bersama pacarnya dan ia prihatin melihat dua teman satu flatnya yang sedang bermain PS.

"Kalian berdua, apakah tidak berniat mencari wanita di London ?" tanyanya sambil tersenyum tipis.

Lakhsan pun membalasnya. "Tenang saja, aku kemarin sudah chatting dengan perempuan yang aku suka."

"Baguslah." Damien lalu menatap Zaki. "Kau sudah menemukan wanita yang membuatmu jatuh cinta disini, Zaki ?

"Aku tidak tertarik pada wanita disini." Kata Zaki, melihat Damien mengerutkan keningnya dengan cepat ia menambahkan, "Tidak, aku bukan gay. Cuman belum ada wanita disini yang membuatku tertarik."

"Teruslah mencari Zaki, oke aku pergi, dulu." Damien lalu pergi dan di ruang tengah hanya ada Zaki dan Lakhsan.

Mereka berdua terus bermain hingga jam 10 malam dan mereka pun sudah menghabiskan 5 snack yang ada di lemari makanan.

"Aku lapar sekali." kata Lakhsan.

"Kau mau aku memasak untukmu ? Sayang sekali, aku sedang tidak berniat memasak." Lalu Zaki melihat jam yang menunjukkan pukul setengah 10. "Oke aku akan membeli makanan diluar."

"Kau mau aku temani ?" tanya Lakhsan.

"Tidak, biar aku sendiri saja."

Jalanan kota London masih ramai, Zaki dengan mengenakan jaket berwarna birunya berjalan berbaur dengan warga kota yang berlalu lalang. Ia menaiki bis yang 24 jam beroperasi menuju Mayfair untuk menuju ke restoran khas Indonesia langganannya.

"Zaki." Sapa seorang pelayan yang bernama Dayat. "Mau mesan apa, kebetulan hari ini kita buka sampai jam 11 hari ini."

Zaki tidak peduli Restoran ini tutup jam berapa yang terpenting adalah ia bisa mengisi perutnya yang sudah keroncongan. "Aku mesen soto betawi ajah 2 porsi." Ia tau Lakhsan suka sekali soto betawi.

Setelah 2 porsi soto betawi di tangan, Zaki langsung memutuskan langsung pulang dan menyantap soto yang nikmat ini. Saat diperjalanan ke halte bis ia mendengar teriakan seorang wanita dan dari teriakannya itu sepertinya sedang dalam bahaya. Ia lalu menghampiri sumber suara tersebut dan ternyata suara tersebut berasal dari gang yang sempit di Mayfair.

Suara itu kembali terdengar kali ini ada isak tangis yang keras, Zaki tanpa berpikir panjang langsung menyusuri gang sempit itu dan tak diduga ada seorang Pria yang mencoba memerkosa seorang wanita. Wanita itu terbaring di tanah dan si Pria mencoba melepaskan pakaiannya satu-satu.

"Hey!" teriak Zaki lalu berlari dan menarik pria itu menjauhi si wanita.

"Kau, berani-beraninya mengganggu ku. Dasar." Pria itu berdiri dan dari wajahnya dia ternyata mabuk berat. Zaki berhasil menghindari tinju yang dilayangkan pria itu dan membalasnya dengan menendang perutnya. Pria itu memegangi perutnya dan tanpa ampun Zaki kembali menendang wajahnya dan tersungkur.

"Maaf mengganggumu." kata Zaki menunduk kepada pria itu. Menunduk menghina.

Pria itu bangun lalu mengancam. "Awas kau!" Lalu pria itu berlari dan pergi. Zaki sudah terbiasa diancam dan biasanya ancaman itu hanya omong kosong belaka.

Wanita itu berdiri. "Terimakasih sudah menolongku. Kau baik-baik saja ?"

Zaki menoleh kebelakang dan menatap wanita itu. "Ya, sama-sam.. Eh ?"

"Hah ? Kamu..."

To Be a Continued
Read more ...

Standupwrongway Fanfict JKT48 : Unreachable (Final Part)

Monday 3 August 2015
"Yes! UAS udah selesai. Mau pada kemana nih ?" Tanya Taufan sambil membereskan alat tulisnya sehabis ujian.

"Main ke rumah gue ajah, mau gak ?" Tanya Arraufar.

Kami semua mengangguk semangat, siapa yang menolak ke rumah Arraufar yang mewah itu ?

Sampai disana, kami semua langsung menuju halaman belakang rumah Arraufar yang luas, terdapat taman bunga dan kolam renang disana. Alex dan Dhika langsung nyebur. Valdy membuka novelnya dan Taufan sibuk memainkkan handphonenya.

Sementara itu, terlihat Viny dan yang lainnya sedang melihat-lihat koleksi bunga di rumah ini. Gue yang tidak ada kerjaan memutuskan untuk berdiam diri sambil mendengarkan musik dari iPod gue.

Lama gue larut dalam bit bit musik EDM yang gue dengar, Shani datang menghampiri gue, "Diam ajah, gak kesana gabung sama yang lain ?"

"Aku males, mending disini." Jawab gue dengan telinga yang masih dipasang earphone, tapi melihat Shani terdiam setelah jawaban gue itu, gue melepas earphone di telinga gue, "Shani, ujiannya tadi susah gak ?"

"Engga ah biasa ajah, kaya ujian pada umumnya." Jawabnya datar.

Sambil melihat Alex yang sedang berdiam diri dipojokkan kolam, mungkin dia kencing, gue bertanya, "Waktu kamu pindah, ada seseorang yang kamu suka ?"

Shani mengangguk pelan, "Ada, dia ngebuat aku jatuh cinta dalam sesaat." Dia tersenyum sambil menatap gue, "Tapi sayangnya, hati dia sudah diluluhkan duluan oleh perempuan lain." gue hanya diam tidak tau mau berkata apa, dia dengan cepat menambahkan, "Ya aku udah ngelupain dia, walaupun... ya begitulah..."

"Mmm.." Gue lalu memakan roti yang gue bawa dari rumah.

"Kamu..." Shani terdiam sebentar. "Kamu, katanya dulu suka sama aku, apa bener ?"

Gue hampir memuntahkan roti itu setelah Shani bertanya begitu, "Iya dulu. Sekarang..."

"Dulu aku juga suka sama kamu.." Shani dengan cepat memotong omongan gue, "Tapi aku tau sekarang terlambat, kamu udah gak tertarik sama aku. Aku terlalu malu waktu itu saat kita ngobrol dan aku bilang kita hanya sahabat, ingat ?"

Mana bisa gue lupa Shani bilang begitu ? Itulah pertama kalinya gue merasakan patah hati, "Ingat, ingat banget."

"Gimana ?" Tanya dia datar, gue gak tau maskud dia apa.

"Udah gak bisa lagi." Jawab gue datar, gue benar-benar menutup hati gue untuk Shani. Setelah itu kami berdua hanya diam memandangi keadaan sekitar yang kacau.

Setelah satu jam tak ada kegiatan yang gue lakukan, Arraufar dibantu Asisten Rumah Tangga datang lalu membawa nasi goreng untuk kita semua.

"Yang terakhir makan cuci piring!" Seru Alex yang badannya masih basah lalu dengan cepat menghajar nasi goreng itu. Kami semua pun makan.

"Liburan, mau pada kemana nih ?" Tanya Taufan membuka suara saat semuanya lagi asik mengunyah. "Udah lama kita semua gak liburan bareng."

"Oh itu, bentar-bentar.." Arraufar berlari kedalam rumah, sepertinya dia mau mengambil sesuatu. Lalu tak lama kemudian dia membawa sebuah buku catatan, "Sorry lama, kalau mau kita liburan kesini ajah." Arraufar menunjuk gambar sebuah pulau yang indah.

"Keren banget, gue mau dong kesana, udah lama gue gak liburan." Kata Dhika yang memang hidupnya sibuk untuk membuat sibuk orang lain.

"Itu bukannya pulau pribadi punya bokap lu ?" Tanya gue, "Gue kan pernah liburan disana sama keluarga gue."

"Oh iya, gue baru inget lu pernah kesini." Kata Arraufar. Kamu pun berdiskusi mengenai liburan ini bersama-sama.

"Oke jadi kita semua setuju ya, minggu depan!" Kata gue selaku KM. Semua mengangguk setuju.

"Ada yang lupa," Kata Valdy sambil mengambil nasi goreng Viny yang tidak habis, lalu Valdy menoleh ke arah gue, "Kayaknya, gue harus mengajak sepupu gue yang itu."

Gue mengangguk pelan lalu melanjutkan makan, tak lama kemudian Valdy sudah menyelesaikan makannya dan..

"Makanan lu belum abis, kita semua udah selesai. Tau kan ?" Kata Alex sambil mengambil tusuk gigi.

Kampret.
***

"Capek banget gila." Kata Arraufar, sesampainya di pulau itu, kami semua lalu beristirahat di cottage paling besar di pulau ini, terdiri dari 4 kamar tidur tapi hanya ada 1 kamar mandi besar. Tentunya, laki-laki dan perempuan menempati masing-masing 2 kamar. Gue merebahkan diri di sofa ruang tengah bersama Alex, Arraufar, Valdy, dan Dhika, sementara sisanya berada diatas. Lalu terdengar suara ketukan pintu, Alex lalu membukannya.

"Ehh..." Kata Alex lalu sesaat terdiam di depan pintu, mematung.

"Ngapain lu woy!" Kata Taufan bingung. "Suruh masuk ajah."

"Cantik..." Kata Alex dengan suara yang serak. Arraufar berjalan menuju pintu itu dan menarik Alex mundur.

"Eh Elaine. Kapan sampai sini ?" Tanya Arraufar terlihat berbicara dengan seseorang. Elaine ?

"Iya kak, dari kemarin." Kata seseorang itu. Kak ?

Arraufar masuk bersama seorang perempuan yang memanggilnya kakak itu, "Oh gue lupa, ini adik gue, Elaine." Terlihat Alex masih melongo melihat Elaine, jujur adiknya Arraufar ini cantik, tapi kenapa kakaknya.... Ah sudahlah. Elaine melambaikkan tangan ke kami bertiga lalu berjalan menuju dapur.

Terlihat Shania menuruni tangga, "Eh itu siapa tadi yang ke dapur?"

"Oh itu, adiknya Arraufar." Jawab gue.

Setelah lama menonton TV akhirnya gue tertidur pulas. Bangun-bangun gue melihat semua tertidur dan jam menunjukkan pukul 8 malam, mereka semua mungkin kelelahan. Gue pun mengambil handuk dari tas lalu memutuskan berendam dan mandi.

Di kamar mandi, gue berendam di bathup dengan air panas sambil menonton anime di handphone, cukup lama gue berendam lalu gue memutuskan untuk mandi, saat gue berdiri tiba-tiba...

"AAAAAAAAAAAAAAHHHHHHHH!" Teriak seorang perempuan yang gue gak tau siapa, terdengar langkah kaki cepat, gue membuka tirai dan menemukan posisi pintu kamar mandi terbuka.

Kayaknya, gue lupa mengunci pintu dan ada yang masuk.

"Kenapa Shania ?" Tanya Valdy, gue kenal betul suaranya. Perempuan tadi ternyata Shania. Gue lalu menguping mereka.

"Di bathup, ada... Yang.. Gerak...." Shania berkata sambil terbata-bata. Lalu terbesit ide dari otak gue, dengan sengaja gue membanting pintu kamar mandi dan menguncinya, "AAAAAHHHHHHH!"

Valdy dan Shania teriak bersamaan. Gue hanya tersenyum licik tapi sekaligus takut apabila ternyata gue ketauan oleh Valdy, siap-siap gue dihabisin.

"Ada apa ?" Tanya Alex lalu diikuti oleh suara langkah kaki cepat dan ramai. Tampaknya teriakan Valdy dan Shania membuat semuanya datang.

"Ada hantu!" Kata Shania cepat.

Terdengar langkah kaki seseorang menuju pintu kamar mandi, "Keluar lu! Jangan nakut-nakutin temen gue, dasar hantu!" Kata Alex, entah kenapa dia bodoh sekali.

Gue mengambil gayung lalu mengisinya dengan air, sehabis itu memegang gagang pintu dan menghitung mundur dalam hati 3... 2... 1...

Gue membuka pintu lalu menyiram Alex dengan air, "Gue hantunya, sekarang lu boleh turun." Kata gue lalu melihat Shania yang saling berpelukan dengan Valdy. Ketakutan. "Maaf Valdy, Shania. Gue tadinya pengen nutup pintu, tau-taunya kebanting."

"Banyak alasan lu!" Teriak Valdy, tapi melihat dari wajahnya gue tau dia ketakutan.

"Maaf.. maaf." Gue menutup pintu lalu kembali ke bathup dan melihat handphone gue terendam.

Kampret, apakah ini balasannya ?

***

Keesokan harinya, kami semua bermain di pantai, terlihat Taufan sedang bermain bola voli dengan Alex dan Dhika. Sementara Arraufar sedang berjalan-jalan dengan Yuvia, Arraufar tidak begitu suka dengan pantai dan Valdy sedang membangun rumah pasir dengan Viny.

Gue menghampiri Valdy dan Viny, "Boleh gue bantu gak ?"

"Boleh boleh, asalkan jangan ngerepotin ajah." Kata Viny. Gue mengiyakan lalu berusaha mempercantik rumah pasir setengah jadi itu, namun dengan kedatangan gue, rumah itu menjadi seperempat saja karena gue tidak sengaja menghancurkan sebagian rumah malang itu, Viny yang melihat gue bertikah menggeleng, "Aduh, kok bisa begini sih, yaudah kita buat lagi ajah." Faktanya, gue merepotkan disini.

Gue memandang sekeliling dan pandangan gue lurus melihat Shania yang sedang sendirian, terbesit niat untuk menghampirinya, "Eh Valdy, Viny. Gue kesana dulu ya."

"Baguslah, pergi sana jauh-jauh." Kata Valdy sambil melempar pasir ke arah gue.

Shania terlihat sendiri sambil menatap langit yang biru, dia tidak menyadari kedatangan gue, dia melamun.

"Shania." Kata gue sambil menyentuh pipinya, dia terlonjak kaget, "Maaf ngagetin, kok sendirian ajah ?"

"Hmm, engga apa-apa, tapi baguslah kamu kesini." Shania berhenti sebentar lalu menatap gue. "Aku jadi ada temen." Shania menyendiri, padahal dia tadi sempat diajak Viny membangun rumah pasir bersama Valdy namun dia menolak.

Kami berdua hanya berdiam diri saja, gue mencoba mencari topik yang pas untuk dibicarakan, namun untuk saat ini rasanya tak ada yang pas.

"Anginnya kenceng banget." Kata Shania pelan memecah keheningan.

"Yaiyalah, ini kan pantai." Jawab gue santai.

"Bawaannya ngantuk tau gak," Kata Shania, "Tapi jarang-jarang aku bisa ngerasain angin ini."

"Mmm.."

Shania tersenyum dan tatapan lurus kearah ombak yang menggulung, "Kalau di pantai gini, jadi inget waktu kita berdua dinner."

"Oh iya-iya hahaha." Gue salah tingkah mendengarnya, entah kenapa Shania mengungkit dinner yang bisa dibilang romantis itu, "Ya, terus kamu minta aku megang tangan kamu ? Yaudah deh aku pegang tanpa pikir panjang."

"Makasih ya." Kata Shania, gue bingung makasih untuk apa.

"Buat apa ?"

"Untuk malam itu." Kata Shania lalu menguap, dia memang terlihat ngantuk.

"Kalau ngantuk tidur ajah di bahu aku, kebetulan aku...."

Shania langsung menyenderkan kepalanya di bahu gue. Lalu tertidur.

Malamnya, kami semua berkumpul di ruang tengah, terlihat Alex, Shania, Yuvia, dan Sinka bermain kartu sementara Dhika dan Taufan bermain catur, sementara Shani sedang mandi diatas dan Valdy dan Viny sedang keluar entah kemana.

"Eh, mau keluar gak ?" Kata gue ke Arraufar yang sedang berdiam diri. Dia sejak dari sore hingga sekarang dia bersikap diam.

"Yaudah ayo, bentar gue sekalian ngajak adik gue." Kata Arraufar.

Gue dan Arraufar berjalan menuju cottage tempat Elaine tinggal yang terletak 200m dari cottage yang gue tempati, Arraufar hanya terdiam di sepanjang jalan, ini membuat gue bingung dan biasanya dia selalu berbicara.

Sampai di cottage-nya, Arraufar pun membunyikan bel, pintu pun terbuka, "Eh, Kakak, kenapa kesini ?" Tanya Elaine ke Arraufar.

"Jalan-jalan keliling yok, temenin Kakak sama Kak Zaki." Kata Arraufar sambil menunjuk gue.

"Oh ayo-ayo, bentar ya." Elaine kembali masuk, beberapa saat Elaine keluar menggunakan jaket berwarna kuning.

Sewaktu kami berkeliling, Elaine banyak bercerita tentang pulau ini sementara Arraufar sebaliknya. Pulau milik Bokapnya Arraufar ini dikomersilkan untuk pebisnis kaya, sehingga di sepanjang jalan gue melihat banyak warung kecil yang isinya adalah orang asing. "Eh bukannya itu Kak Viny ?" Elaine menunjuk seseorang dan memang benar itu Viny ditemani oleh Valdy dan mereka sedang minum di sebuah warung kecil.

"Anjay, berduaan mulu." Kata gue ke mereka berdua. Valdy menyipitkan mata melihat gue, "Ada apa dy ? Kok gitu ekspresinya." Tanya gue.

"Gue masih kecewa sama lu ngerecokin gue sama Viny tadi, itu rumahnya tadi udah keren!" Seru Valdy. Viny hanya tertawa sambil menutup mulutnya.

"Lebih baik kita cabut." Kata Arraufar. Kami bertiga melanjutkan jalan dan meninggalkan Valdy dan Viny.

Elaine kembali bercerita, gue mendengarkannya, bukan tentang materinya tapi cara penyampainya yang bikin gue suka. Tapi sebaliknya, Arraufar hanya terdiam, mungkin ini alasan dia mengajak Elaine agar gue ada teman mengobrol, Arraufar seperti lagi sakit gigi.

"Woy, lu kenapa sih, gak biasanya kayak gini." Tanya gue ke Arraufar.

"Engga apa-apa." Sahut Arraufar pelan, lalu tak lama dia melanjutkan. "Gue lagi mikirin sesuatu yang baru gue lakukan tadi sore."

"Emang kakak ngelakuin apa ?" Tanya Elaine.

"Waktu tadi siang, ya tepatnya sore tadi, Yuvia tiba-tiba mencium bibir gue tanpa sebab." Kata Arraufar, gue mengangkat alis, dia menghela nafas lalu melanjutkan. "Itu first kiss gue seumur hidup, entah kenapa gue mau moment ini berkesan, ya gitu deh gue merasakan hangatnya berciuman. Dan Merinding."

Gue bingung dan Elaine tampaknya lebih bingung, gue bertanya, "Terus ?"

"Ya gitu, larut dalam suasana itu ada sesuatu yang gak diduga ternyata." Kata Arraufar lalu menghentikan langkahnya. "Kalian berdua pasti bertanya-tanya apa hal yang tak terduga itu."

"Apa ?" Tanya gue penasaran.

"Gue disambit tukang sapu di pulau ini pake sendal. Gila sakit banget! Gue dikira cabul sama tukang sapunya, dikira Yuvia masih anak-anak." Kata Arraufar, Elaine menarik nafas panjang dan membuangnya seakan-akan dia baru mendengar cerita yang sangat penting dan itu adalah rahasia dunia.

"Kak, kok Kakak aneh sih ?" Tanya Elaine lalu memegang siku gue, "Ayo Kak Zaki, tinggalin ajah orang ini."

Dan benar, Elaine sambil menarik gue menjauh dari Arraufar dan kini kami hanya berdua berjalan mengelilingi pulau yang indah ini.

"Elaine ?" Kata gue.

"Ya ?"

"Kamu mau masuk SMA mana ?" Tanya gue berbasa-basi.

"Satu SMA ajah deh sama Kak Arraufar." Jawab dia sambil tersenyum.

"Mmm." Gumam gue, ya gue berpikir jika Elaine masuk SMA gue, satu sekolah bakal menjadi heboh karena melihat kecantikkannya begitupun saat gue baru pertama masuk, Viny dan Shania menjadi populer dikalangan cowok di sekolah.

"Kenapa kak ?" Tanya Elaine sambil menatap gue.

"Oh engga-engga." Gue memalingkan muka.

Sudah 1 jam berkeliling gue melihat Elaine sudah lelah, gue memutuskan megantarnya ke cottage dia.

"Malam, kak." Kata Elaine sambil melambaikan tangannya.

"Ya, malam."

***

Besoknya, hari terakhir kami di pulau ini, kami semua bangun pagi-pagi untuk menyaksikan Sunrise, terlihat kamera SLR menggantung di leher Arraufar.

"Gue gak bakal ngelewatin moment sunrise, gue bakal motret!" Kata Arraufar begitu ditanya mengapa ia membawa SLR.

Lama menunggu matahari muncul, Shania yang berdiri di sebelah gue memasang muka tidak sabar. Sementara Arraufar sibuk memotret apapun yang dilihatnya.

"Mataharinya udah muncul tuh." Kata Alex seakan-akan seumur hidupnya belum pernah melihat matahari.

Saat matahari muncul, teman-teman gue pada berfoto satu sama lain, sementara gue hanya berdiam diri menatap indahnya matahari di kala terbit. Shania pun menarik tangan gue untuk berfoto bersama, gue antara niat dan tidak niat difoto.

Siangnya kami semua pergi diving untuk melihat keindahan bawah laut disini, Alex sangat hobi menyelam sehingga dia langsung ditarik paksa oleh buddy-nya  karena terlalu dalam menyelam, padahal gue ikhlas jika dia ditemukan tidak bernyawa.

Malamnya, kami semua barbequean. Alex, Arraufar, dan Shania menjadi juru masak tapi entah kenapa gue lagi gak nafsu makan dan gue hanya terduduk diam disebelah Sinka.

"Eh lu, beneran mau makan lu nih ?" Tanya gue.

"Jangan nyindir gue Zak, serius gak lucu." Kata Sinka seraya memukul bahu gue.

"Taufan sama lu gimana ?" Tanya gue lagi.

"Kok nanya gitu sih, gue gak suka sama Taufan." Jawab Sinka, dari tatapan matanya sudah jelas dia berbohong.

Barbeque-nya sudah jadi tapi malam ini gue memang tak nafsu makan dan memutuskan untuk keluar sebentar berkeliling.

"Kamu kemana ?" Tanya Shania.

"Mau keluar sebentar, kenapa ? Mau ikut ?" Kata gue.

"Udah Shania ikut ajah, temenin Zaki, hehehe." Kata Viny.

Shania berdiri lalu menghampiri gue, "Ya aku ikut."

Malam ini gelap sekali daripada malam kemarin, Shania yang berjalan disamping gue tampak gelisah.

"Kenapa ?" Tanya gue.

"Gelap banget." Jawabnya singkat. Lalu Shania memegang tangan kanan gue dengan kedua tangannya lalu meremas-remas tangan gue yang malang ini, mungkin ini caranya agar dia menghilangkan rasa takut.

Shania gak banyak berbicara malam ini, sambil terus meremas tangan gue dengan tatapan lurus kedepan.

"Kalau begini kenapa kamu ikut." Gumam gue.

"Nemenin kamu lah, masa sendirian keluar, gak takut ?"

"Engga lah, emangnya aku Valdy." Jawab gue, Shania tertawa.

Gue pun memilih minum di warung kecil yang jauh dari cottage gue tinggal, sementara Shania memakan jagung bakar.

"Hmm, enak jagungnya." Kata Shania.

Malam itu kami habiskan berdua, mengobrol sambil menikmati desiran angin malam. Gue merasa makin dekat dengan Shania tapi entah kenapa gue selalu menahan diri.

***

Hari pertama sekolah pun tiba, ternyata hanya sedikir reshuffle kelas, gue dan teman-teman masih sekelas di kelas XII-10, tapi sayangnya walikelas kita bukan si Tulus Abadi lagi, melainkan si Nanang Naismith yang mempunyai wajah setengah Eropa setengah Afrika.

"Aduh gue pengen liat adik kelas yang baru nih, siapa tau cantik-cantik." Kata Taufan, Sinka lalu memukul kepalanya seakan-akan Sinka merasa Taufan hanya miliknya seorang.

Gue pun turun ke lantai 1 menuju koridor kelas X untuk melihat anak-anak baru. Lalu tatapan gue berhenti ke salah seorang perempuan yang gue kenal.

"Eh Megumi, disini juga ?" Tanya gue.

"Hehehe, iyalah, biar satu sekolah sama Bang Valdy dan Kak Shania." Jawabnya sambil tersenyum, gue yakin sekali anak anak kelas XI dan XII bakal ngerebutin Megumi.

"Oke, Kakak kesana dulu ya." Kata gue lalu meninggalkannya.

Oh Elaine ? Pikir gue. Gue pun mencari Elaine kesana kemari tapi tidak ada dan memutuskan untuk mencarinya ke kantin.

Setibanya disana, gue melihat sekeliling dan melihat Elaine sedang makan bersama Yuvia dan Arraufar.

"Hey, Elaine." Sapa gue. Dia hanya tersenyum lalu melanjutkan makan.

"Ehhhh... Jangan nyari perhatian adik gue, lu udah ada Shania." Kata Arraufar. Gue merasa ingin mematahkan tangannya.

"Apaan, ya engga lah!" Gue langsung berbakik badan dan menjauh dari meja Arraufar dan berencana berkeliling lagi. 

Terlihat Shania sedang tertawa bercanda dengan anak kelas X yang baru, melihat cara dia tertawa gue selalu merasa hati ini ringan sekali.

Gue akhirnya memutuskan bermain bola bersama Untung karena gue yakin di hari pertama tahun ajaran baru, para guru mager untuk mengajar.

***

Seminggu kemudian, tepatnya hari jum'at saat di jalan pulang, gue sedang memacu sepeda gue secepatnya agar cepat sampai rumah, saat di tengah jalan handphone gue bergetar dan memaksa gue berhenti.

"Zaki, kamu dimana ?" Tanya Shania yang menelepon gue.

"Di jalan, kenapa emangnya ?" Kata gue.

"Malam ini aku traktir nasi goreng di Blok I ya ?" Ajak Shania.

"Oke-oke, nanti aku ngerjain tugas dulu abis itu aku telepon kamu lagi, ya ?" Kata gue yang udah kepanasan karena sinar matahari yang sangat menyengat.

Malamnya, gue berusaha lebih cepat mengerjakan rangkuman materi Sejarah, gue disuruh merangkum 40 halaman dan tentunya ini membosankan.

Jam menunjukkan pukul 8 malam lewat, gue berusaha lebih cepat merangkum materi ini semua agar bisa lebih cepat bertemu Shania. Gue terlonjak kaget ketika ada yang mengetuk pintu kamar. Dengan langkah setengah malas gue membuka pintu.

"Loh, Shania ? Kok disini ?" Tanya gue kaget tentunya, Shania tiba-tiba ada di depan pintu kamar gue.

"Udah jam 8, kamu belum nelepon aku, jadinya aku kesini ajah deh." Jawab Shania.

"Yaudah masuk." Gue mengajaknya masuk ke kamar, Shania duduk di kasur gue sementara gue menuju meja belajar yang terletak di sebelah kiri untuk lanjut merangkum.

"Zaki, aku mau ngomong sesuatu." Kata Shania. Gue menelan ludah, apakah dia pengen bilang bahwa dia mencintai gue ?

"Hmm ?"

Shania mengubah posisi duduknya sambil mengangkat kedua kakinya, "Ini penting banget, Zaki."

"Ya.."

"Zaki..." Shania menunduk sebentar lalu menatap gue serius. "Aku... aku lupa bawa uang buat nraktir kamu nasi goreng! Maafin aku ya."

"Terlalu dramatis Shania, bilang ajah daritadi." Kata gue lalu menulis kembali.

Setengah jam berlalu gue belum selesai merangkum, gue payah dalam hal merangkum. Sejenak gue lalu melihat Shania dan ternyata dia tertidur! Aduh! Sebelumnya belum ada satu perempuan pun yang tidur di kasur gue selain Shania. Tapi melihatnya tertidur pulas, gue tak tega membangunkannya.

"Shania.. Bangun.." Kata gue sambil mencubit pipinya.

"Mmm... ?"

"Bangun, aku barusan beliin nasi gorengnya, mending makan disini ajah ya." Kata gue yang memang sedari tadi pergi membeli nasi goreng seusai menyelesaikan rangkuman sialan itu.

Shania bangun lalu mengambil piring dan membuka bungkus nasi gorengnya, "Makasih, Zaki."

"Kayaknya lebih bagus kamu cuci muka dulu deh." Kata gue menunjuk pintu kamar mandi didalam kamar gue.

Shania berjalan ke arah kamar mandi, gue langsung menyantap nasi goreng yang nikmat itu.

Saat kami berdua makan, Shania banyak bercerita seperti biasanya dan tentu gue senang mendengarnya.

"Tadi kamu pas tidur nyenyak banget, gak tega ngebangunin." Kata gue.

"Oh begitu, gak ada yang tega ngebangunin cewek secantik aku pas tidur." Kata Shania dengan nada bercanda, tapi gue menyukai gagasan itu karena Shania memang cantik.

Sehabis makan, gue mengantarkan Shania pulang. Malam ini tak terlaku dingin jadi tak perlu merangkulnya erat seperti saat itu, tapi kenapa gue ingin sekali melakukannya ?

Ternyata Shania pulang bukan ke rumahnya, melainkan ke rumah Valdy karena ingin begadang bersama Megumi.

"Makasih Zaki, maaf ya aku udah gak sengaja tidur di tempat kamu." Kata Shania.

"Oh gapapa, yaudah bye." Kata gue sambil melambaikkan tangan.

Gue lalu dengan cepat kembali ke rumah karena kebelet boker.

***

Sebulan kemudian, saat pulang sekolah, gue pergi ke kolam renang untuk melihat anak cewek latihan. Tentunya gue gak ada maksud tertentu dan hanya ingin melihat-lihat, sampai disana gue menemukan Alex.

"Udah gue duga lu kesini, ngapain ?" Tanya gue lalu duduk disebelahnya.

"Liat cewek renang lah! Gila Zak!" Kata Alex dengan muka mesumnya.

Gue dan Alex hanya terdiam memandangi cewek-cewek yang sedang latihan renang, waktu hening yang lama membuat gue gak betah lama-lama karena gue tipe orang yang suka ngobrol, seakan membaca pikiran gue Alex membuka suara, "Zak, lu sama Shania gimana sekarang ?"

"Aduh gimana ya, gitu-gitu ajah sih hubungan gue." Jawab gue.

Alex merangkul gue lalu berbicara di dekat telinga gue "Jangan lama-lama, nanti direbut orang baru menyesal lu." Katanya lalu berdiri dan meninggalkan gue seorang diri.

Jangan lama-lama ? Nanti direbut orang ? Gue berpikir tentang apa yang dikatakan Alex, memang, zaman sekarang jika tidak dilakukan secara cepat akan berakibat buruk. Tapi apakah gue harus buru-buru ? Kayaknya engga.

Tiba-tiba suara yang ceria membuyarkan lamunan gue, "Ayo ngapain disini ? Ngeliatin pakaian renang cewek ya ?" Kata Shania, "Aku nyariin kamu loh tadi."

"Aku tadi kesini diajak Alex," Kata gue berbohong, "Mau pulang gak ?"

"Ayo."

Di stasiun saat menunggu kereta datang, entah kenapa Shania dilihatin terus oleh para om-om genit yang suka nongkrong di stasiun. Mungkin karena rok Shania yang 10cm diatas lutut yang membuat om-om itu tertarik. Aduh.

Gue langsung merangkul Shania dan mendekatkannya ke tubuh gue, terlihat om-om itu tidak suka, "Maaf ya Shania."

Shania hanya mengangguk seakan mengerti lalu gue mengelus-elus rambut Shania dan ini yang membuat om-om itu berubah ekspresi. Untung saat itu kereta datang, lalu dengan cepat gue masuk ke kereta, saat pintu ditutup gue melambaikan tangan ke om itu, dia terlihat marah.

"Makasih ya, dia om-om yang suka gangguin aku tau." Kata Shania, gue melepaskan rangkulan,. "Loh kok dilepas ?" Tanyanya.

"Hehehe betah banget dirangkul." Kata gue lalu merangkulnya lagi.

***

Di hari senin yang menurut orang adalah hari terkampret, gue saat jam istirahat memutuskan untuk berdiam diri di atap gedung sekolah. Entah kenapa ini menjadi tempat terbaik untuk bersemedi sementara waktu. Saat gue sedang diam terdengat suara pintu terbuka, siapa itu ?

Gue menoleh ke arah pintu seakan tak percaya siapa yang membuka pintu tadi, "Zild... Zildjian ? Ngapain lu kesini ?" Tanya gue 

Zildjian mengangkat satu tangannya menyapa gue, lalu tanpa diminta dia langsung duduk disebelah gue. "Apa kabar ?" Dia tersenyum dan terlihat seperti homo, gue takut.

"Biasa saja." Jawab gue.

"Kebetulan gue belum minta maaf gara-gara ngehajar lu waktu kelas XI, gue mewakili Sofyan dan Saon minta maaf ya." Kata Zildjian santai, "Shania gimana ? Baik-baik ajah kan ?"

"Iya."

"Oh baguslah," Katanya, tak lama kemudian melanjutkan, "Gue sebenarnya cukup menyesal selingkuh saat masih sama Shania. Tapi gue memang lagi bosen sama hubungan itu makanya gue selingkuh." Zildjian membuat alasan yang sama seperti dipikirkan Shania waktu itu. "Tapi saat gue putus sama Shania, selingkuhan gue pun meninggalkan gue, dia hanya memanfaatkan harta gue karena waktu itu dia banyak gue beliin apapun yang dia mau."

"Oh, terus ? Ada lagi ?" Tanya gue yang tak peduli.

Zildjian menepuk bahu gue, "Gue minta lu ngejagain Shania untuk diri lu sendiri bukan buat gue, karena gue senang disaat Shania tersenyum dan tertawa saat menceritakan diri lu ke teman-temannya. Dia senang gue senang, sesederhana itu."

Zildjian memang bodoh menurut gue, dia menyia-nyiakan Shania dengan alasan bosan dengannya lalu berselingkuh dengan wanita murahan itu. "Ya, tapi gue gak janji." Jawab gue ke Zildjian.


"Oke sekali lagi gue minta maaf waktu itu nyeroyok lu, saat itu pikiran gue lagi kacau." Katanya sambil mengulurkan tangan, gue menjabat tangannya.

Gue melihat Zildjian pergi, belum jauh melangkah dia berbalik badan, "Apa lu mau Shania kesini ? Nanti gue kasih tau ke dia "

"Engga usah, makasih." Tolak gue.

Gue hanya memaafkan Zildjian atas apa yang dia perlakukan terhadap gue, tapi gue gak bakal maafin Zildjian atas apa yang dia lakukan yang membuat Shania sangat terluka waktu itu.

Di kelas, gue melihat Valdy dan Viny sedang mengobrol bersama, gue ikut bergabung.

"Eh Zaki, kemana ajah ?" Tanya Viny.

"Shania nyariin lu tadi." Kata Valdy, "Jadi kapan nih lu nembak dia ?"

"Gue gak kepikiran sampe situ, dy." Jawab gue.

"Idih, jangan kelamaan, nanti direbut orang loh." Kata Valdy. Valdy dan Alex mengatakan hal yang sama.

"Jangan berfikir 'Kalau udah nyaman sebagai teman, ngapain harus pacaran.' Itu tandanya sama aja kamu hanya dianggap teman sama dia, gak lebih." Kata Viny, lalu menoleh ke arah Valdy, "Iya gak ?"

"Iya, bener. Lagian Shania keliatannya naksir sama lu dari tingkahnya saat ngobrol sama gue. Dia selalu ngomongin lu dan dia udah move on dari Zildjian." Kata Valdy. "Berapa lama hubungan tanpa status ini berjalan ?"

Gue memang sudah nyaman bersama Shania, tapi entah kenapa ada yang menahan gue untuk menyatakan cinta ke Shania. Kapan hubungan tanpa status ini bertahan ? 

***

Malam minggu sudah tiba, gue pun mengajak Shania jalan-jalan karena tidak sah jika di malam minggu gue gak jalan-jalan. Hari ini, gue bakal memberikan Shania hadiah.

"Shania, aku gak bawa mobil ya, soalnya dipake." Kata gue saat meneleponnya untuk mengajak jalan.

"Engga apa-apa, ketemuan di stasiun ajah. Emangnya kita mau kemana ?" Tanya Shania.

"Menurut kamu, bagusnya kemana ?" Tanya gue balik, gue sendiri bingung mau kemana.

"Oh, gini ajah, kita nonton di bioskop yuk, kan sebelumnya kita berdua belum nonton berdua. Gimana ?"

"Oke, ketemuan di stasiun ya."

Ternyata, gue sampai duluan di stasiun, sambil menunggu Shania gue membaca koran yang disediakan. Sekitar 10 menit kemudian Shania datang.

"Maaf, aku telat, kamu udah lama disini ?" Tanya Shania.

"Hmm, menurut kamu 10 menit sebentar atau lama ?" Gue menaruh koran itu kembali, Shania terlihat berfikir, "Gausah dipikirin, aku baru ajah dateng kok."

Shania memegang tangan gue, "Ayo cepetan."

Sampai di mall, kami langsung pergi ke bioskop untuk membeli tiket. Ternyata filmnya mulai 30 menit lagi, gue memutuskan untuk mengobrol sebentar sama Shania.

"Berduaan ajah lu." Kata seseorang, gue menoleh kearahnya.

"Eh, Arraufar. Lu sendiri disini ?" Tanya gue.

"Engga lah, gue sama Yuvia, tapi dia lagi ke kamar mandi." Kata Arraufar, lalu menoleh ke arah Shania. "Eh Shania, udah makin deket ajah sama KM gue."

Shania hanya tersenyum, Arraufar melanjutkan, "Kapan kalian jadian ?"

Gue gondok mendengar pertanyaan Arraufar, "Lu maunya kapan ?"

"Sekarang." Kata Arraufar. Gue dan Shania bingung, "Eh engga-engga, gue cuman bercanda. Tapi gue yakin kalian cocok."

"Sayang, aku cariin kamu kemana-mana eh disini." Kata Yuvia yang datang, "Eh Shania ? Zaki ? Disini juga ?"

Gue hanya mengangguk, "Kenapa Yuv ?"

"Oh engga, kapan kalian jadian ?" Yuvia menanyakan pertanyaan sama seperti Arraufar.

"Udah, jangan nanya gitu ah, oke Zaki gue kesana dulu." Arraufar menarik tangan Yuvia lalu pergi.

Akhirnya setelah 30 menit menunggu kami masuk studio.

Setelah nonton, kami berdua memutuskan untuk makan karena rasa lapar menyerang dan makan sate ayam di pinggir jalan adalah pilihan terbaik.

"Temen-temen aku juga nanyain hal yang sama ke aku, 'kapan kalian jadian ?' Gitu." Kata Shania lalu menggigit satenya.

"Maunya ka---" Omongan gue terpotong oleh suara dering handphone, ada yang menelepon, gue melihat layar handphone sejenak lalu mengangkatnya.

"Halo, ada apaan Lex lu nelepon gue ?" Tanya gue.

"Ah gini Zak, gue lagi main PES nih, terus gue beli si Ibra dengan harga yang murah tapi dengan opsi gue harus merelakan kepergian--"

Gue langsung mematikan handphone, Alex hanya membuang pulsa saja menelepon gue tadi.

"Tadi kamu mau ngomong apa Zaki ?" Tanya Shania.

"Oh engga-engga kok." Padahal gue sebenanrya tadi pengen bilang 'Maunya kapan ?' tapi niat itu diurungkan.

Sesudah makan kami berdua berjalan-jalan keliling kota dan gue merasa enak sekali keliling berjalan kaki daripada naik mobil, apalagi berjalan bersama Shania. Gue sendiri sempat ingin memberi hadiah itu kepada Shania, tapi tidak jadi karena gue gak mau. Momentnya tidak pas.

Gue akan memberikannya disaat waktu memungkinkan. Tapi kapan ?

***

Tak terasa mid test sudah terlewati. Saat ini gue dan teman sekelas sedang berada di cafe langganan kami berkumpul.

"Sinka, gimana nih lu sama Taufan ?" Bisik gue ke Sinka yang duduk di sebelah gue.

"Gimana apanya ? Aduh gue mana tau. Tapi gue pengennya dia nembak gue dalam waktu dekat." Jawabnya sambil berbisik juga.

"Aduh. Bentar-bentar Sin." Kata gue lalu membuka tas dan mengambil buku dan pulpen. "Oke, lu bisa baca hiragana kan ? Sekarang lu ngomong ke Taufan apa yang gue tulis nanti."

Gue menulis dengan huruf hiragana agar lebih cepat dan Alex yang duduk disebelah gue gatau apa yang gue tulis karena dia bodoh.

Sinka membacanya lalu melihat Taufan yang sedang asik mengobrol dengan Viny. "Taufan, hmm, malam ini kamu ada acara gak ?"

"Gak ada, kenapa Sin ?" Tanya Taufan, gue dengan cepat menulis jawabannya di kertas lalu Sinka membacanya.

"Oh begitu, gimana kalau kamu temenin aku makan malam, kamu sendiri tau lah Kakak aku kuliah di luar negeri jadinya gak ada temen." Kata Sinka, padahal gue hanya menuliskan 'Ajakin dia makan malam', tapi dengan menyangkut pautkan kakaknya itu langkah yang bagus.

"Iya, iya oke. Nanti aku jemput kamu, aku tau restoran yang bagus dimana." Kata Taufan. Sinka mencubit perut gue pelan, tanda berterima kasih.

"Ciee.. Ciee... Akhirnya setelah sekian lama kalian dinner juga." Kata Viny. Sinka hanya tersenyum. Gue berhasil membantu salah satu teman gue.

"Tapi kok lu oon banget sih Zaki, kenapa gak pake handphone ajah kalau nulis hiragana, biar cepet." Kata Sinka berbisik. Udah dibantu malah bilang oon. Huft.

Setelah itu kami pulang ke rumah masing-masing, saat sampai dirumah gue langsung merebahkan diri, lelah. Tapi disaat lelah ini gue butuh sesuatu yang membuat gue segar kembali. Gue mengambil handphone lalu menekan nomor seseorang.

"Halo, Shania." Sapa gue.

"Aaahh Zaki!" Shania terlihat ceria. "Kamu kemana tadi ? Aku cariin kok gak ada."

Saat ini, suaranya membuat gue melupakan apa itu rasa letih.

***

Tahun ajaran baru sudah berjalan 2,5 bulan dan ini adalah semester terakhir di SMA. Kami semua difokuskan untuk menghadapi Ujian Nasional yang tak terlalu penting itu. UN sendiri dilaksanakan 1,5 bulan lagi.

"Shania." Kata gue saat kami berdua jalan berdua menuju stasiun untuk pulang, akhir-akhir ini gue jarang naik sepeda dan lebih memilih naik kereta karena Shania selalu mengajak gue pergi dan pulang bersama.

"Apa Zaki ?" Kata Shania yang berjalan di sebelah gue.

"Aku traktir Mie Ramen yang deket stasiun yuk, aku laper." Ajak gue.

"Makasih ya, tapi Shania masih kenyang." Kata Shania, "Tapi Shania temenin Zaki deh."

Shania lalu membeli es krim untuk menemani gue makan.

"Kamu mau kuliah dimana nanti ?" Tanya gue sambil menyesap kuah mie ramen yang enak ini.

"Gatau deh, nanti Shania nanya Mama dulu. Kalau Zaki sendiri dimana ?"

"Hmm, liat nanti ajah." Jawab gue.

Gue sendiri berencana mencoba mengikuti test beasiswa untuk kuliah di luar negeri dan gue berfikir gak mungkin gue ngasih tau ini ke Shania karena gue yakin dia gak mau jauh-jauh dari gue.

"Usahain kalau Zaki nanti kuliah masih deket sama Shania ya." Kata Shania sambil tersenyum. Senyuman itu sudah sering sekali gue liat, namun mengapa senyuman ini paling istimewa dari senyuman-senyuman sebelumnya.

"Iya, tapi aku gak janji." Kata gue.

Shania mengernyitkan dahi, dia bingung. "Loh kok gitu ?"

Gue hanya menggeleng lalu melanjutkan makan.

Sampai dirumah gue menjatuhkan diri di sofa lalu berfikir keras. Jika gue dan Shania dekat terus seperti ini, gue yakin pas saat gue bilang ingin pergi, dia akan terluka seperti dia dilukai Zildjian waktu itu.

Tentunya gue gak mau seperti itu, karena gue gak mau menyakiti hatinya saat gue pergi nanti. Walaupun gue dan Shania belum berpacaran, tapi gue merasa bahwa separuh hidup gue hanya untuk dia. Dari cara Shania menatap , berbicara, dan tersenyum ke gue, Shania berhasil membuat gue jatuh cinta.

'Usahain nanti kalau Zaki udah kuliah tetep deket sama Shania ya' kata-kata itu menghantui gue sekarang. Bagaimana bisa gue dekat terus dengan dia, gue sekarang sedang mengejar mimpi untuk menuntut ilmu di negeri orang. Mimpi gue dari kecil yang selalu gue tulis di buku bagian belakang.

Menjauhinya ? Ah mungkin benar. Gue bakal membuat Shania benci ke gue walaupun konsekuensinya gue gak bakal bertemu dia lagi saat gue udah disana. Sehingga saat gue mengucapkan ingin berpisah, dia tidak terluka. Namun hati gue berkata lain, seakan-akan hati gue berkata bahwa gue ini orang bodoh yang berfikiran menjauhinya adalah hal yang baik.

Gue mengambil handphone lalu menelepon Shania.

"Halo." Sapa gue.

"Halo, Zaki. Kenapa nelepon ? Kangen ya ?" Tanya Shania, gue bisa mendengar suaranya yang terlihat ceria.

"Hehehe, Shania, aku mau nanya nih sama kamu."

"Nanya apa Zaki ?"

"Menurut kamu, kalau LDR itu bakal berjalan mulus apa engga." Tanya gue berani.

"LDR ? Shania sih gak suka sama yang namanya LDR. LDR kayaknya bakal kandas ditengah jalan. Ada apa nih nanya begini ?"

"Aku cuman nanya doang." Gue membetulkan posisi duduk, "Shania."

"Apa ?"

"Perasaan kamu ke aku gimana ?" Tanya gue dengan berani tanpa ragu sedikitpun.

Ada jeda sebentar, lalu Shania menjawabnya. "Sayang."

"Sayang ?"

"Aku sayang sama kamu, Zaki." Katanya tegas. "Kamu, gimana ?"

"Aku juga---" Tut tut tut. Pulsa gue habis. Gue membanting handphone, tapi gue tak berniat menelepon Shania lagi. Tampaknya gue akan menjauhi dia sedikit demi sedikit dengan alasan ingin fokus UN, alasan yang klasik.

Shania gak suka LDR, lebih baik gue tidak memberitahu ke siapapun kemana gue belajar nanti. Ini demi menjaga perasaan Shania, walaupun tampaknya menyakitkan pada akhirnya.

***

Selama sisa 1,5 bulan, gue mencoba menyibukkan diri dengan sering membaca buku di perpustakaan dan berharap tidak bertemu Shania. Karena jika bertemu dengannya dan dia tersenyum ke arah gue, entah kenapa gue merasa sakit untuk meninggalkannya nanti, senyumannya selalu terbayang.

Teman-teman gue tampak bingung dengan sifat gue yang berubah menjadi pendiam begini. Pulang dan pergi pun sekarang gue menaiki road-bike kesayangan gue karena jika naik kereta, peluang gue bertemu dengan Shania semakin besar.

Valdy sempat ngeline gue, "Zaki, sifat lu makin aneh. Shania juga bilang gitu, dia bilang lu selalu menghindar kalau ketemu. Ada masalah ? Cerita ke gue kalau mau."

Gue hanya membalas, "Nanti lu suatu saat ngerti. Maaf, gue sekarang memilih menyendiri dulu."

Shania pun beberapa kali menelepon gue dan ngeline gue, Tapi gue memilih mematikan handphone.

Selesai UN, gue pun memilih langsung pulang ketimbang ikut ngumpul bersama teman-teman gue. Gue mengecek website penyelenggara beasiswa dan ternyata testnya dilakukan 3 minggu setelah UN. Cepat sekali menurut gue, padahal ijazah mungkin saat itu belum dibagikan, tapi Bokap gue udah ngurus semua agar prosesnya cepat. Entah kenapa mengejar mimpi menuntut ilmu di negeri orang harus mengorbankan waktu bersama teman. Dan Shania.

Gue tidak ikut acara perpisahan diluar sekolah, namun gue bersedia datang saat perpisahan di sekolah.

Saat test berlangsung, otak gue berharap gue lolos dan berhasil sementara hati ini berkata sebaliknya. Test ini lumayan berat, tapi terasa mudah karena tekad gue yang benar-benar ingin belajar di luar negeri.

Setelah test gue langsung pulang karena hasil testnya akan diumumkan lewat email. Sampai dirumah, gue langsung merebahkan diri di kasur, mencoba tidur.

Namun tak bisa, karena senyuman itu kembali terbayang.

***

"Wih anak Mama ganteng kalau pake Jas begini." Kata Nyokap ketika membetulkan dasi gue yang berantakan.

Gue pun kaget melihat Bang Reyhan yang juga memakai jas. "Lu mau kemana Bang ?"

"Ya ke acara perpisahan angkatan lu lah, sekalian gue kesana, itukan sekolahan gue dulu, siapa tau ada alumni yang dateng." Kata Bang Reyhan.

"Mm.."

"Ichsan, kamu keliatan gak semangat gini, padahal udah lolos test beasiswa." Nyokap menepuk kedua pundak gue, "Ichsan, di sekolah, ada cewek yang kamu suka ?"

Gue hanya mengangguk pelan, Nyokap lalu melanjutkan, "Cepet nyatain perasaan kamu ke dia. Sebelum direbut orang nantinya."

"Udah ah, kaya Ichsan mau pergi ke ujung dunia ajah. Ayo san cabut." Kata Bang Reyhan.

Sesudah memarkir mobil, gue dan Bang Reyham berjalan menuju aula sekolah. Terlihat semua lelaki disini memakai jas yang necis dan gue yakin pada pake pomade dan belinya pasti patungan.

"Bang, gue suka banget liat cewek yang pake kebaya." Kata gue setelah melihat sekeliling.

"Ah anjir, gue mah malah lebih suka cewek yang pake bikini doang." Kata Bang Reyhan. Kampret.

Sesampainya di aula yang luas itu, ternyata gak cuman angkatan gue yang hadir, terlihat para alumni datang juga dengan memakai jas dan kebaya. Gue melihat sekeliling dan tak melihat batang hidung teman gue.

"Reyhan! Woy sini kampret." Kata seseorang yang memanggil bang Reyhan. Bang Reyhan menghampiri mereka lalu meninggalkan gue sendirian.

Gue berfikir bahwa teman-teman gue memusuhi gue karena dalam sebulan gue gak ada kabar. Tapi pikiran itu buyar seketika karena Valdy dan Arraufar menyapa gue.

"Wah kampret, kemana ajah lu ? Gak ada kabar. Gila ajah stress gue mikirin lu, gue kira lu mati dibunuh supir fake taxi." Kata Arraufar yang tampaknya terlalu kebanyakan ngelem. Ngomongnya ngawur.

"Jangan pikir kita bakal ngemusuhin lu Zak, kita udah sama-sama selama 3 tahun, khususnya gue dan lu yang udah 12 tahun bersahabat. Ayo ah ngumpul." Ajak Valdy. Gue hanya mengangguk.

Lalu gue tiba dimeja yang cukup besar, terlihat Taufan dan Sinka sedang asik mengobrol. Sementara Viny yang tersenyum melihat gue. Alex sedang mengelus gantungan tititnya.

"Zaki, sebulan ini lu kemana ajah ? Gak ada kabar." Tanya Sinka yang sudah jadian sama Taufan, berkat bantuan gue.

"Gue nemenin bokap gue ke Italia, Thailand, dan Singapura. Urusan kerja." Kata gue berbohong.

Tapi semua mengangguk percaya dengan bualan gue, mereka terlihat sama sekali tidak membenci gue.

Kami semua menceritakan kenangan selama 2 tahun belajar di kelas yang sama, dari yang mengharukan sampai yang lucu. Disini, kami semua mencurahkan isi hati dari membenci seseorang sampai mencintai seseorang, menganggumi seseorang sampai iri kepada seseorang. Seperti Arraufar yang iri kepada gue karena banyak cewek yang dekat sama gue, dari Valdy yang ternyata backstreet selama setahun dengan Viny, sampai Alex yang sakit hati karena Sinka jadian sama Taufan. Namun tak ada yang tersinggung, marah, dan kesal.

"Semoga pas nanti kita udah pisah, kita bisa ngumpul lagi kaya gini ya." Kata Viny yang matanya berkaca-kaca.

Alex pun membuka suara, "Maafin gue kalau selalu bikin kalian kesal, marah, atau jijik sama gue. Intinya gue mau kita semua bisa ngumpul lagi kaya gini. Aduh baper gue monyet."

"Iya..." Yuvia pun mengeluarkan air mata yang tak terbendung. "Aku mau suatu saat jika kita udah pisah, kita bisa begini lagi."

"Gue bersyukur bisa kenal kalian semua." Kata Taufan, dia terlihat santai. Tapi dari matanya gue yakin dia mau menangis. "Bercanda, tertawa, dan bermain dengan kalian adalah hal yang tak terlupakan bagi gue. Makasih semuanya."

"Kampret lu semua." Kata Valdy, dia menangis! Ini pertama kali gue melihatnya mengeluarkan air mata! "Kalian sering mengeluh dengan sifat gue yang dingin. Gue maklumin karena sifat memang gue begini. Tapi bersama kalian selama 2 tahun.... Aduh pokoknya gue seneng deh pernah kenal sama kalian. Semoga nanti kita bisa ngumpul-ngumpul lagi."

Gue terbawa suasana kesedihan ini, entah kenapa sekarang gue menyesal selama sebulan kenapa gue tidak bermain bersama teman-teman gue ini ? Gue pun tak kuasa menahan tangis, kami semua menangis. Orang-orang di meja sebelah kami terlihat bingung tapi masa bodo!

"Gue senang bisa menjadi KM kalian. Walaupun tampaknya gue gak serius jadi KM, tapi sebenarnya gue berterima kasih bisa diberi kepercayaan sama kalian semua. Pokoknya gue bangga punya teman kaya kalian, semoga dan semoga gue berharap kita bisa ngumpul kaya dulu lagi." Gue menatap Viny, "Terima kasih Viny udah memberikan senyumanmu yang manis itu yang selalu membuat gue semangat."

Lalu menatap Alex yang duduk disebelah gue, "Lu! Teman baik gue lex! Walaupun gue sering mencela lu karena sifat lu yang oon, gue gapernah menyesal berteman sama lu."

"Untuk Sinka. Yang selalu marah ketika gue berbicara dengannya. Makasih."

"Untuk Arraufar, Yuvia, semuanya gue berterima kasih telah mewarnai hidup gue di SMA." Kata gue, capek.

"Pidato yang keren." Kata Alex menepuk bahu gue.

Gue melihat seluruh sudut ruangan ini, tapi tak menemukan keberadaan Shania.

"Nyari Shania ? Sebelum lu datang dia keluar dari aula ini. Gak tau kemana." Kata Valdy. Gue terpikirkan satu tempat.

Gue meninggalkan mereka semua dan menuju ke sebuah tempat. Entah kenapa hati ini berkata iya dia ada disana. Dengan langkah cepat gue menuju atap sekolah. Ya! Gue yakin dia disana.

Terlihat seorang perempuan yang tampak cantik menggunakan kebaya itu sedang menatap langit yang biru, seperti saat dia menatap langit yang biru di pantai waktu itu, lalu dia menatap gue, mata kita bertemu sejenak. Lalu dia melangkah pelan menuju arah gue...

"Zaki!" Kata Shania lalu memeluk badan gue erat, gue membalas pelukannya. Shania tidak membenci gue sama sekali, walaupun gue telah menjauhinya.

Lama kami larut dalam pelukan itu, sepertinya gue dan Shania tak berniat melepaskan pelukan ini.

"Zaki kemana ajah ? Shania kangen tau. Kamu menghilang begitu saja pas habis UN, lalu kamu berusaha menghindar saat sebelum UN. Ada apa Zaki ?" Shania terus memeluk gue dengan erat.

"Aku, maafin aku Shania." Kata gue lalu melepaskan pelukan itu.

"Kenapa ?"

"Maaf, aku bukan menghindar dari kamu, tapi aku mau fokus UN, Shania." Kata gue menggunakan alasan klasik ABG masa kini. "Shania, waktu aku ngehubungin kamu terakhir kali, sambungan kita putus. Aku sebenarnya juga sayang sama kamu."

"Shania juga sayang sama Zaki." Dia menitikkan air mata, gue dengan cepat menyeka air mata yang jatuh itu.

Gue kembali memeluknya, Gue tak kuasa menahan tangis yang kembali jatuh.

"Zaki, sehabis ini kamu bakal terus sama Shania kan ?" Tanya dia seraya tersenyum. Tidak! gue tidak bisa mengatakannya, senyuman itu ya senyuman yang tulus dari Shania seakan menolak gue untuk mengatakan yang sebenarnya. Tapi lenih baik mengatakannya daripada tidak sama sekali.

"Shania." Gue melepaskan pelukan lalu memegang kedua bahunya. "Kayaknya kita gak bisa sama-sama lagi. Aku bakal pergi jauh dari sini." Gue menarik nafas panjang. "Aku bakal pergi jauh dari sini, meninggalkan kamu dan aku berharap kamu bisa ngelupain aku setelah ini, kenangan kita, lupakan semua dan aku berharap kamu bisa menemukan yang lebih baik dari aku.."

Plak! Shania menampar gue keras, kenapa ? Rasanya sama seperti gue melihat saat dia menampar mantan pacarnya. Shania hanya tertunduk mendengar ucapan gue yang terdengar kurang ajar. Apakah gue... Melukainya ?

"Shania, maksudnya aku. Aku gak bakal menemukan cowok sebaik kamu, aku gak bakal menerima kebaikkan dari cowok manapun selain kamu. Terdengar konyol tapi tindakkan kamu membuat aku jatuh cinta, Zaki! Aku cinta sama kamu, tapi kenapa kamu dengan gampangnya nyuruh aku ngelupain kamu. Gak bisa!" Shania kembali menangis, gue merasa sangat bersalah....

"Shania..."

Shania lalu memukul dada gue dengan keras, sekeras-kerasnya sambil menangis. Gue, ya gue, Ichsan Zaki, telah melukainya.

"Aku gak bakal ngelupain kamu." Shania terlihat tenang, namun air matanya masih keluar. "Menemukan yang lebih baik dari kamu ? Yang bener ajah, sayang."

"Tapi aku bakal pergi jauh dari kamu, aku sebenarnya pengen terus bersama kamu. Aku pengen terus menerus menjadi orang yang pertama kamu senyumin, bukan satpam sekolah. Aku pengen jadi orang pertama yang selalu kamu butuhkan ketika susah---"

Shania mengelus pipi gue yang di tamparnya. "Maaf ya."

Shania mendekatkan mukanya ke muka gue, lalu dia mencium bibir gue dengan lembut. Gue merasakan hangatnya berciuman. First kiss gue. Sambil memejamkan mata Gue memeluknya lalu terus menciumnya, kami larut dalam ciuman itu, seakan-akan ini adalah ciuman pertama dan terakhir gue sebelum meninggalkan Shania.

Gue melepaskannya, dia pun tersenyum.

"Shania, aku pergi dulu." Kata gue.

"Kamu pergi ? Aku siap nunggu kamu kembali, sayang." Katanya tegas. Kembali ? tidak tau! Apakah gue akan kembali atau tidak.

Gue merogoh kocek lalu mengambil sebuah kotak kecil dan memberikannya ke Shania, "Buat kamu, tapi aku mohon jangan dibuka sekarang."

Shania hanya mengangguk dan menerimanya.

Melihat dia tersenyum gue tentu senang, "Aku pergi dulu. Selamat tinggal."

Shania menarik tangan gue, gue berbalik lalu melihatnya menangis lagi. Tanpa berfikir panjang gue mengecup keningnya.

"I love you, Shania!"
"Ich liebe dich, Zaki."

Meninggalkan dia, hati ini terasa perih. Entah kenapa gue mewujudkan mimpi ini harus mengorbankan seseorang yang gue sayangi...

Akhirnya gue dapat menggapai mimpi itu, menuntut ilmu di negeri orang, namun gue harus merelakan sesuatu yang tak tergapai, mencintai Shania dan terus bersamanya.

Read more ...