Pages

Standupwrongway Fanfict JKT48 : Unreachable 2 (Part 8)

Saturday 26 March 2016
Marseille, Prancis

Shania melihat jam menunjukkan pukul 11 malam, ia tidak bisa tidur. Ia kini sedang berada di depan laptop sambil melihat-lihat timeline twitternya yang isinya hanya itu-itu saja. Ia baru saja berkeliling Marseille bersama Adam dari pagi hingga malam. Mereka berjalan-jalan ke Lereng bukit Le Panier yang merupakan tempat untuk menyaksikan koleksi mumi kucing dan sarkofagus di La Vieille Charite, rue de la charite.

Mereka pun juga mengunjungi Musee d'Art Contemporain yang berada di Cesar Palace yang berisikan seni-seni seperti patung, lukisan dan lain-lain. Perjalanan mereka pun mirip dengan karyawisata anak sekolah yang selalu datang mengunjungi situs-situs bersejarah. Mereka makan malam di restoran mahal yang terletak di hotel Adam menginap di Boulevard Michelet, menu makanannya pun cukup terbilang sangat mahal, satu porsinya saja bisa seharga 65 euro.

Akhirnya ia tak bisa tidur sampai sekarang. Ia lalu membuka handphone-nya dan melihat-lihat galeri Banyak sekali foto Adam dan dirinya, Shania melihat satu per satu dan tersenyum sendiri, ia merasa beruntung bisa berpacaran kembali dengan Adam walau Adam selalu terlihat seperti mengaturnya bahkan Adam sendiri selalu cemburu ketika tau bahwa Shania banyak mempunya teman laki-laki.

"Kamu bisa gak jangan dekat-dekat dia ? Aku punya firasat buruk." kata Adam.

"Loh kok gitu ? Dia baik kok, lagian kenapa sih kamu kaya gini terus kalau aku deket sama cowok ? Cemburu ya ?" kata Shania.

Adam sangat protektif, pikir Shania. Namun Shania memilih untuk berpikir positif dan menganggap bahwa itu adalah bentuk rasa sayang Adam kepada Shania.

Lalu dirinya tersentak ketika bunyi notifikasi emailnya berbunyi, lalu segera ia mengeceknya dan alangkah terkejutnya ketika ia melihat isi emailnya.

****

London, UK

Zaki menutup laptopnya setelah ia menulis kembali di blognya. Ia menulis tentang keadaannya sekarang yang baru saja dicampakkan oleh orang yang ia sayang. Sekarang ia tak tahu harus bagaimana, mau tidur tak bisa, ingin makan tapi tak nafsu, ingin bercerita kepada Damien namun tidak sanggup karena untuk saat ini itu terlalu sakit untuk diceritakan.

Apa ini karma ? pikir Zaki. Mungkin ia sedang merasakan apa yang di rasakan Shania ketika ia pergi meninggalkannya. Ia tentu sudah tau bahwa Shania sudah melupakannya karena ia sudah bersama orang yang baru yang perlahan-lahan menghapusnya..

****

Bandung, Indonesia

Valdy sedang makan siang di rumah makan padang di dekat rumahnya. Ia melihat jam menunjukkan pukul 2 siang dan jarum panjang sedang bergerak menuju angka satu.

"Pelan-pelan makannya, jangan cepet-cepet." kata Viny sambil memandang Valdy yang terlihat buru-buru.

"Iya-iya, lagian kan mau jemput kesayangannya Arraufar di stasiun. Btw, udah sampai mana dia ?" tanya Valdy.

"Tadi dia nge-line katanya bentar lagi nyampe."

Setelah makan mereka berdua menuju stasiun kota untuk menjemput Yuvia. Di jalan, mereka membahas apapun yang mereka lihat. Seperti tukang becak, pohon yang besar, dan lain-lain.

"Eh, Saritem dimana sih ?" tanya Valdy sambil melewati jalan di belakang stasiun.

"Aku mana tau, lagian kamu nanya pertanyaan yang gak ada mutunya sama sekali." kata Viny.

"Hahaha, kayaknya itu deh Saritem." kata Valdy lagi.

"Udah deh ah, bahas saritem mulu, lagian kamu mau ngapain kesana ? mau jual diri ?" ujar Viny.

"Udah jangan cemberut ah." kata Valdy sambil mencubit pipinya, ia lebih memilih mengakhiri pembicaraan tentang Saritem itu.

**

"Hai Viny!!!" seru Yuvia dari kejauhan.

"Hai!" jawab Viny.

"Gue gak di sapa nih ?" kata Valdy.

"Oh iya, hai Valdy, apa kabar ?"

"Biasa ajah, okelah langsung ajah ya pulang." kata Valdy.

"Dasar, jawabnya gitu kalau sama cewek lain." ujar Yuvia, sementara Viny hanya tertawa.

Yuvia ke Bandung dengan tujuan samar, sebelum hari itu, Yuvia tiba-tiba mengirim pesan lewat Line kepada Viny bahwa ia ingin bertemu. Viny dengan senang hati menerimanya, tapi kebetulan Viny lagi liburan di Bandung sehingga Yuvia mau tak mau harus pergi ke Bandung. Sendirian.

Setelah mereka sampai di rumah, Valdy langsung ke kamarnya, sementara Viny dan Yuvia ke kamar Marsha, sepupunya Valdy yang masih kelas 11 SMA yang tinggal bersama Valdy di rumah itu, setiap Viny ke Bandung pastilah ia tidur disitu.

Valdy lalu merebahkan dirinya lalu berpikir bahwa Yuvia sedang ada masalah dengan Arraufar. Di mobil pun Yuvia hanya terdiam, biasanya ia akan bercerita panjang lebar tentang ini itu, namun kali ini tidak.

Lalu terdengar nada dering dari handphone-nya, kemudian Valdy langsung menempelkannya ke telinga tanpa tahu siapa yang meneleponnya.

"Halo ? Siapa ini ?" tanya Valdy membuak percakapan.

"Ha-halo, Dy, lu sibuk ?" kata seseorang dengan suara yang agak ringan namun tidak berat.

"Eh, Zaki, buset ada apa nih nelepon ?"

Ada jeda yang lama sampai Zaki melanjutkan. "Gue mau cerita."

"Lu tau kan mahalnya nelepon dari London kesini ?" kata Valdy mencoba menjelaskan. "Mending lu cerita di Line ajah, gimana ?"

"Engga, gue mau langsung." kata Zaki.

"Okelah, ya ada apa ?"

Ada jeda panjang lagi, lalu terdengar seperti helaan nafas. "Gue putus sama Veranda."

"WHAT THE FU..... Beneran ?" Valdy terkejut mendengarnya. "Kok bisa ?"

"Entahlah, pokoknya dia kemarin ngajak ketemuan di cafe... Abis itu mutusin gue."

"Gak coba lu cegah ? Kok lu terima ajah ? Lu masih cinta kan sama dia ? Kenapa di lepas! Tai!" seru Valdy.

"Engga semudah lu bilang tai, Dy. Ini sulit banget posisinya, apalagi posisi gue. Di sisi lain gue cinta sama Veranda, tapi lu gak tau bahwa Naomi, temen satu flatnya itu sayang sama gue...... Mungkin.... Naomi cerita tentang kejadian lusa waktu gue gak secara sengaja ketemu dia di jalan, abis itu gue temenin ajah dia jalan ke Camden Town. Veranda selama ini gak keberatan gue jalan sama cewek lain, tapi mungkin Naomi cerita dan membuat Veranda serba salah jadinya ketika dia harus berpacaran dengan gue secara diam-diam sementara temannya mencintai gue." jelas Zaki.

"Bentar... Bentar.... Naomi ya... Kakaknya Sinka ?" tanya Valdy.

"Eh ? Gue pernah denger sih dia nelepon adiknya gitu, tapi gue gatau adiknya ternyata Sinka. Dunia sempit banget...." kata Zaki. "Intinya gitu, gue gak semangat banget hari ini, sumpah dari malam gue belum tidur pas abis nulis blog."

"Karma. Mungkin yang lu rasain sekarang adalah sama dengan perasaan Shania ketika ditinggal lu, sampai sekarang dia gak tau lu dimana dan sekarang pun dia udah cukup bahagia sama pacarnya."

Kembali ada jeda yang panjang. "Hoy Halo ?!"

"Oke Dy, makasih." Zaki menutup telepon.

Valdy terdiam dan tak percaya dengan kondisi sekarang. Yuvia sedang bermasalah dengan Arraufar, sementara Zaki putus dengan Veranda. Namun ia memilih tak memikirkannya, lalu ia mengirim pesan kepada sepupunya yang sedang merantau ke Prancis.

"Lu udah baca blog sanzacks belum ? Gue udah."

Walau faktanya ia baru akan membaca nanti malam, sebelum tidur.

****


London, UK

Zaki menundukkan kepalanya sehabis menelepon temannya itu.

"Karma. Mungkin yang lu rasain sekarang adalah sama dengan perasaan Shania ketika ditinggal lu, sampai sekarang dia gak tau lu dimana dan sekarang pun dia udah cukup bahagia sama pacarnya."

Kata-kata itu masih terngiang-ngiang di kepalanya sama seperti yang dia pikirkan semalam bahwa semua ini adalah karma. Ia merasakan kepalanya berat karena memang ia belum bisa tidur dari semalam. Kerjaannya adalah merenung meratapi foto Veranda yang kini masih menjadi wallpaper handphone-nya.

Jika Lakhsan melihatnya, mungkin Lakhsan akan segera membawanya ke rumah sakit. Memang, penampilan Zaki jauh dari kata sehat, ia terlihat pucat karena tidak tidur semalaman dan diotaknya dipenuhi pikiran akan Veranda.

Ia lalu membanting diri ke kasur dan memilih tertidur.

****

Marseille, Prancis

Shania terbangun dari tidurnya setelah semalam ia sukses tidur jam 1 malam. Badannya serasa berat dan bangkit dari kasur pun sangat sulit untuk sekarang. Tangannya meraih handphone dan mulai membuka satu per satu pesan yang ditujukan kepadanya.

"Lu udah baca blog sanzacks belum ? Gue udah." dari Valdy.

"Iya udah semalam, kebetulan pas potingannya masih anget! Dia cerita gitu, kayanya ada masalah percintaan deh." balas Shania.

Lalu ia memilih tidak bangkit dari kasur, ia tak ada rencana apa-apa hari ini karena Adam ternyata mendadak pulang ke London karena ada keperluan.

"Kok bilangnya mendadak sih sayang ? kan aku gak bisa nganterin kamu." balas Shania ketika Adam mengirimkannya pesan bahwa ia harus pulang. Namun tak ada balasan dan mencoba mengerti bahwa mungkin Adam sedang sibuk.

Ia bangun dari kasurnya karena memang hanya membuang waktu jika tidur-tiduran di hari libur ini. Setelah selesai mandi, ia mendapat pesan dari temannya.

"Shania, makan siang bareng yuk, ketemuan di stasiun ya."

***

"Shania!" seru temannya yang ternyata sampai duluan di stasiun.

"Hey! Lama gak nunggunya ?" tanya Shania karena merasa tidak enak.

"Oh engga kok, gimana kalau kita makan di Vieux Port ajah ? Ada restoran Tunisia disitu dan bonusnya aku traktir."

"Oh ayo!" tentunya, Shania tak akan melewatkan begitu saja tawaran temannya karena dia memang dituntut harus hidup hemat karena uang bulanannya tidak terlalu banyak.

Mereka lalu menaiki kereta yang disana terkenal dengan Metro menuju Vieux Port.

"Farisha, bukannya kamu punya mobil ya disini ?" tanya Shania ketika mereka sudah duduk manis di kereta.

"Iya, tapi asal kamu tau ajah, kalau naik mobil disini sama aja kaya di Indonesia. Karena pengemudi disini kebanyakan gak patuh sama peraturan yang ada, serasa jalanan milik sendiri. Terus kalau naik mobil juga susah buat parkir, disini kan jalanannya pada sempit atau emang sengaja kali ya biar semua penduduk disini pake transportasi umum. Pokoknya gitu deh." jelas Farisha kepada temannya.

Mereka berdua akhirnya mengobrol seputar urusan mereka di PPI. "Jadi, nanti kan ada sarasehan gitu deh di London, kebetulan PPI kota kita diundang kesana."

"Baguslah, lagian aku belum pernah ke London." kata Shania yang melipatkan tangannya.

"Loh kamu belum pernah, bukannya pacar kamu tinggal disana ya ?" tanya Farisha.

"Iya belum, aku cuman baca blog mahasiswa yang kuliah disana."

"Oh gitu, lagian ntar ada perwakilan dari London dateng kesini, buat silaturahmi aja." kata Farisha yang memang memegang peran penting di PPI kota ini. Shania pikir mungkin Adam yang akan menjadi perwakilannya, karena ia adalah ketua perhimpunan itu. Ia sangat senang tentunya.

Mereka pun sampai lalu langsung menuju restorannya. La Kahena, begitulah nama restoran Tunisia yang terletak di 2 rue de la Republique. 2e. Marseille. Karena ia ditraktir, Shania menyerahkan semua kepada Farisha untuk memesan makanan.

"Je veux deux le marguez et deux mint tea." kata Farisha yang memesan dua marguez, yaitu daging sapi yang dibumbui jintan serta memesan dua teh mint. Shania iri dengan pelafalan bahasa prancis Farisha karena memang Farisha sudah dari SMA menetap di Marseille bersama keluarganya.

"D'accord, Attendez quelques minutes." kata Pelayannya yang meminta menunggu beberapa menit.

"Oui." jawab Farisha sambil tersenyum, lalu ia menatap Shania. "Tenang, pasti enak!"

Tak lama kemudian makanannya sampai, ia lalu menyantao hidangan yang ada di depannya walaupun sekarang pikirannya tertuju kepada kota London. Bukan ingin bertemu Adam, melainkan ia penasaran siapa penulis blog Sanzacks dan apa yang dituliskannya.

Ia ingin ikut ke London.

*****

London, UK

Zaki terbangun dari tidurnya dan ia merasa badannya lebih ringan dari biasanya karena ada dasarnya ia hanya butuh tidur untuk memulihkan badannya. Namun tetap, ia masih belum bisa melupakan Veranda karena perempuan diciptakan untuk sulit dilupakan. Tidak mungkin melupakannya dengan satu tidur saja, pikir Zaki.

"Koperasi di KBRI masih buka gak ?" Zaki mengetik sebuah pesan kepada Sidik.

Tak lama kemudian Sidik membalasnya. "Ya ada lah, lu kesini kek."

***

"Surga dunia!" Zaki berteriak di dalam hati ketika melihat koperasi di KBRI banyak yang menyediakan makanan, gratis pula. Dari lontong sayur, kupat tahu, ketoprak, soto lamongan, sate padang, soto betawi dan lain-lain.

"Woy, Zaki, kemari kau!" teriak Alle yang ternyata juga berada di koperasi.

"Hahaha, iya bang, aku ngambil makanan dulu." Zaki langsung segera mengambil sate padang.

Namun matanya langsung melirik seseorang dengan tampilan yang cukup rapi dan itu cukup untuk membuat para perempuan disini selalu melirikya.

"Gimana ? Puas liburannya ?" tanya Zaki yang langsung duduk.

"Ya gitu deh dan lu harus tau pacar gue udah pindah ke Marseille 2 bulan yang lalu kalau gak salah." kata Adam.

"Kok gue baru tau sekarang sih, ah payah lu gak cerita-cerita." kata Zaki, sebenarnya ia memang tidak suka bertingkah sok akrab seperti itu, namun ia harus begitu lantaran Adam lah yang membuatnya tau ini itu tentang kota London dan Adam juga yang mengajak Zaki masuk ke PPI.

"Hehehe, gitu deh."

Tentunya Zaki tidak akan menanyakan siapa pacar Adam karena hal itu sangat tidak penting untuk kelangsungan hidupnya dan tentu saja saat ini ia sedang malas jika membicarakan perempuan.

"Acara sarasehan nye kapan nih ?" tanya Zaki.

"Awal september kayaknya, pas kebetulan awal musim gugur, ntar kita sebagai tuan rumah harus ngirim masing-masing perwakilan ke PPI kota-kota di eropa yang diundang. Tapi sayangnya, gue diharuskan ke PPI kota Den Haag, jadi gimana kalau lu ke Marseille ajah ? Siapa tau lu ketemu pacar gue kan." kata Adam sambil menyeruput es cendol.

"Hmm, okelah."

"Yaudah, gue keluar dulu ada keperluan. Bye." kata Adam yang langsung ngacir, cendolnya belum habis.

Zaki lalu melihat layar handphone-nya. Tidak ada satu notifikasi pun. Lalu ia mencoba menghubungi Veranda via line karena dia ingin sekali menemuinya, menanyakan apakah Veranda benar-benar ingin berpisah dengannya.

"Ichsan."

Zaki langsung menoleh ke orang yang memanggil nama depannya. "Eh iya, pak." Lalu bapak itu duduk di kursi bekas Adam.

"Hmm, udah lama gak liat kamu, Ayah sehat ?" tanya Bapak Ateng, atase kedutaan.

"Sehat pak, sekarang tinggal di Italia sama Ibu jadinya rumah di Indonesia kosong." jawab Zaki. Pak Ateng tentu kenal Ayahnya karena ternyata keduanya adalah teman semasa SMA dan dari pertanyaannya, Zaki yakin keduanya sudah lama tidak bertemu.

"Oh, nanti katanya pengurus PPI disini harus ngirim perwakilan ke PPI kota-kota lain kan ?" tanya Pak Ateng sambil memakan bakwan.

"Iya, saya disuruh ke Marseille." kata Zaki.

"Ehhh yang bener ? Anak sama Istri saya tinggal disana, kebetulan anak saya juga anggota PPI disana. Gimana kalau saya minta dia buat jemput kamu ?" tawar Pak Ateng sambil menyomot bakwan keduanya.

Zaki tentu tidak bisa menolak karena selain dia tidak tau apa-apa tentang kota Marseille, ia juga tidak mau rugi keluar uang. "Boleh, makasih Pak."

"Nanti saya kabarin dia, oke, saya ke dalam dulu masih banyak tugas."

Zaki melirik handphonenya kembali dan ia tentu kecewa karena Veranda hanya membaca pesannya tanpa sekali pun dibalas.

***

Marseille

Malam hari di kota ini sangatlah ramai karena memang kehidupan malam disini benar-benar hidup. Tempat terbaik di malam hari adalah di Vieux Port, Place Thiars, dan Escale Borely.

Shania melirik jam tangannya yang sudah menunjukkan angka 10. Bersama Farisha ia sedang menikmati live music di Dock des Suds yang terletak di 12 rue Urbain V, 2e, Marseille. Tempat yang memang sangat multikultural karena memang banyak artis-artis dari Kamerun, Aljazair, Korea Selatan, bahkan Kongo yang mengisi acara live music tersebut.

"Far, pulang yuk, aku ngantuk banget sumpah." kata Shania ketika jam sudah menunjukkan pukul setengah 12.

"Oke ayo pulang, aku maklumin soalnya kamu baru beberapa bulan disini. Ntar kalau udah biasa pasti minimal pulang jam 2 hahaha." Farisha menertawakan Shania.

Sesampainya di apartemen, Shania tidak langsung tidur, melainkan membaca kembali isi blog Sanzacks karena memang ia belum baca sepenuhnya.

Rindu mungkin tak akan lepas dari kehidupanku, walaupun ada 'orang baru' yang membuat rasa rindu itu lenyap, pasti rindu itu akan pulang kembali kepada batin ini. Aku tentunya ingin menghilangkan rasa ini semua, dengan berbaikan lagi dengannya, namun apadaya keputusan berada ditangannya, aku hanya menunggu pasrah ditemani rasa rindu yang tak kunjung padam.

Aku kembali merindukannya, yang sudah berada di pelukan orang lain, yang mungkin dulu merasakan hal yang sama seperti yang aku rasakan sekarang. Semua berbalik, mungkin ini karma.

Saat ini, aku berharap dunia berkonspirasi untuk menemukan aku dengan seseorang yang sangat aku rindukan...

Yang kini bahagia bersama orang lain.

Shania terpaku membaca tulisan itu. Mengapa semuanya seakan sama dengan yang ia alami dulu, ia merindukan seseorang yang tidak jelas keberadaannya. Kini ia bahagia bersama Adam tentunya dan perlahan-lahan Adam menyukseskan misinya untuk menghapus Zaki dari hatinya, namun ketika membaca tulisan itu, ia kembali mengingat sosok yang sangat ia rindukan dahulu. Dosa lamanya kembali dan kini ia terus memikirkan Zaki. Apakah ia sudah berubah atau sama sekali belum, atau ia sudah punya pacar baru atau belum.

Seolah ada yang memaksa, ia ingin bertemu dengan Zaki, walau hanya sekedar bertegur sapa karena dirinya cukup tau diri jika masih cinta kepadanya, karena saat ini ia bersama Adam yang selalu mencintainya.

"Oke, kapan kita akan berjumpa setelah sekian lama rindu ini kupendam ?"

****

3 Bulan Kemudian
London, UK

Zaki kini sedang berada di perpustakaan kampusnya. Perpustakaannya terbilang ramai namun kesunyiannya mengalahkan kuburan. Ia menyapa pelan-pelan teman-temannya yang sedang mengerjakan tugas karena memang jika ada kegaduhan sedikit saja, itu hanya membuatnya dimarahi oleh orang-orang yang sedang serius.

"What the hell are you doing here ?" tanya Roberto, orang amerika latin yang senantiasa mengobrol dengan Zaki, Roberto sangat menyukai hal yang berbau Indonesia.

Zaki duduk disebelahnya lalu berbisik. "Fishing." ia kesal, karena sudah jelas semua orang pergi ke perpustakaan untuk membaca buku, mengerjakan tugas, dan mencari gebetan. "You have to think if you want to ask someone."

"I'm kidding."

Ia lalu melanjutkan membaca buku yang disarankan dosennya. Tebalnya sangat manusiawi, sekitar 600 halaman lebih. Di sisi lain, ia masih belum bisa melupakannya, ia selalu mengirim pesan lewat Line, namun hanya dibaca saja. Mencoba menelepon, tidak diangkat.

Selesai dari perpustakaan, ia memutuskan untuk menuju flat Veranda. Tindakan berani sekaligus bodoh menurutnya, karena mungkin ujung-ujungnya ia hanya diusir.

Memasuki akhir musim panas, tentunya suhu udara di kulit Zaki terasa manusiawi. Karena Zaki memang sangat menyukai musim panas dan ia sangat membenci apa itu musim dingin. Suhu 33 derajat celcius masih bersahabat dengan kulitnya. Berbeda dengan temannya yang berasal dari Rusia, Igor, kulitnya memang diciptakan untuk tinggal di kawasan dingin, sementara ia akan seperti orang sekarat jika keluar dalam waktu yang lama di musim panas.

Ia kini sudah berada di depan pintu flat Veranda, jarinya sangat bernafsu untuk memencet bel yang ada di samping kirinya. Lalu Zaki memencet belnya sebanyak 2 kali, tak lama kemudian pintu itu terbuka.

"Eh Zaki." kata Naomi yang membuka pintu. Zaki entah harus bersyukur atau tidak, bersyukur karena yang membuka Naomi yang tak mungkin mengusirnya, menyesal karena ternyata Veranda bukanlah orang yang ia lihat pertama kali.

"Naomi, Veranda ada ?" tanya Zaki.

"Masuk dulu deh." kata Naomi yang mempersilahkan Zaki masuk.

Zaki melihat bahwa flatnya sama sekali tidak berubah, sama seperti ia terakhir kali datang bulan lalu.

"Gak berubah ya." gumam Zaki yang lalu duduk di kursi meja makan.

"Apanya ?" tanya Naomi yang sedang membuatkan minuman.

"Ya flat ini." jawab Zaki. "Kok sepi, Veranda gak ada ya ?"

Naomi datang dengan membawakan Zaki minuman dan kebetulan ia sangat haus. "Veranda lagi pergi."

"Ke ?"

Naomi tersenyum, jarang-jarang ia tersenyum, pikir Zaki. "Ke Paris."

"Ehhh, sama siapa ?" tanya Zaki.

"Katanya sih sama temennya, tapi gak tau juga."

Zaki bingung dengan jawabannya, seperti terdengar bahwa mereka sedang tidak akur. "Oh begitu."

Lalu mereka berdua hanya diam, karena tidak ada lagi yang perlu dibahas.

"Naomi."
"Zaki."

Mereka berdua berkata secara bersamaan. "Kamu dulu." kata Naomi.

"Hehehe, aku mau nanya." kata Zaki, Naomi mengangkat kedua alisnya sambil menunggu pertanyaan Zaki. "Kamu punya adik kan ?"

"Iya, emangnya kenapa ?" tanya Naomi.

"Oh engga cuman nanya ajah, soalnya kebetulan ada temen aku yang kakaknya tinggal di London." kata Zaki.

"London itu luas, Zaki." ujar Naomi sambil tersenyum lagi yang membuat Zaki salah tingkah.

"Sinka ?"

Naomi tersentak. "Eh, Sinka itu adik aku. Emang aku ga pernah cerita ya ?"

"Hahaha, dunia ini kan udah sempit, Kak Naomi." kata Zaki yang kembali memanggil Naomi dengan kata 'Kakak' "Itu temen sekelas aku pas SMA, kak."

"Kok pake 'kak' sih ? Gaenak tau." kata Naomi, namun Zaki hanya tersenyum.

Sesudah mengobrol lama, Zaki pamit pulang karena dirinya di suruh untuk datang di rapat PPI karena Adam sedang pergi. Entah kenapa Zaki melihat Adam seperti orang yang tidak tau malu, ia ketua, namun selalu berpergian seakan tak ada yang perlu di pedulikan.

Namun Zaki hanya menghela nafasnya dan mulai berjalan menuju flatnya.

*****

Paris, Prancis

"Fotoin aku ih!" seru Shania sambil memberikan handphone-nya kepada Farisha.

Mereka berdua sekarang sedang berada di Katedral Notre Dame yang terkenal itu. Farisha hanya tersenyum ketika Shania bertingkah seperti anak kecil yang selalu berkeliaran dan meminta foto. Ia memaklumi karena ini adalah pertama kalinya Shania pergi ke Paris.

Setelah dari Katedral tersebut, mereka berdua pergi ke Place de la Concorde, yaitu alun-alun yang berbentuk oktagonal yang terletak diantara Tuileries Gardens dan Champs Elysées. Farisha menjadi tour guide untuk Shania yang hanya mengangguk ketika mendengar penjelasannya.

"Abis ini mau kemana ?" tanya Farisha.

"Hmm, Eiffel ?"

"Hahaha, itu terakhir ya, kebetulan cuacanya bagus, gimana kalau kita ke Arc de Triomphe ?" kata Farisha.

"Kenapa ?"

"Jujur, aku lebih suka liat Paris dari ketinggian di Arc de Triomphe daripada di Eiffel, hehehe." jelas Farisha yang langsung di iyakan Shania.

Shania pikir Farisha benar, emang dari atas Arc de Triomphe ini terlihat bagus. Ia melihat kota Paris begitu kecil, dari kejauhan ia bisa melihat Menara Eiffel yang menjadi ikon kota tersebut. Namun sekelebat bayangan Zaki menghampiri pikiran Shania. Ia percaya bahwa matanya akan menangkap sosok laki-laki yang ia coba lupakan itu.

"Kalau aku ke Paris pasti aku kesini Shan." ujar Farisha. "Bahkan menurut aku, tempat ini adalah tempat yang pas untuk memikirkan seseorang."

Shania hanya mengangguk. Ia pun berpikir realistis sekarang, dirinya sekarang sudah bersama Adam dan ia sangat mencintainya dan tak perlu lagi merisaukan seseorang yang sudah menghilang tanpa jejak. Baginya, orang seperti itu harusnya tidak ada, orang seperti itu harusnya dilupakan. Namun hatinya yang menolak melupakannya, namun benaknya selalu memaksa untuk lupa.

"Makan yuk Shan ? Kebetulan aku laper banget nih." ajak Farisha yang lalu menarik tangannya.

Saat berjalan ke restoran, Shania sudah membayangkan makanan yang lezat yang membuat perutnya berbunyi, rasanya ke Paris belum lengkap tanpa menyantap makanan di restoran terkenal di Paris.

Sudah sampai di restoran, Shania melihat ada seorang perempuan yang di kenalnya lalu tanpa pikir panjang Shania menghampiri perempuan tersebut.

"Eh...." Shania berpikir sejenak. "Kak Veranda ?" entah kenapa ia masih memanggilnya dengan sebutan Kakak, namun ia tidak peduli dengan itu.

"Ah kamu.... Shania ya ?!" seru Veranda terlihat senang.

"Hahaha iya, apa kabar Kak ?" tanya Shania basa-basi.

"Baik kok, kamu di Paris ada acara apa ?

"Liburan ajah, kebetulan aku sekarang kuliah di Marseille." jawab Shania sambil tersenyum.

Lalu Farisha menghampiri mereka berdua. Shania dengan cepat mengenalkan temannya ini. "Eh Farisha, ini Veranda. Kak Veranda, ini Farisha."

"Farisha."
"Veranda."

"Kakak kesini sama siapa ?" tanya Shania.

"Ada, tapi dia lagi keluar sebentar." kata Veranda. Lalu terdengar suara pintu terbuka. "Nah itu dia."

Shania lalu membalikkan badannya dan melihat orang yang dimaksud Veranda..

Shania merasa bahwa sekarang bumi sedang menimpa dirinya..

Keras.. Keras..

To Be Continued...

Read more ...