Pages

Standupwrongway Fanfict JKT48 : Unreachable 2 (Part 10)

Thursday 10 November 2016
Nagoya, Japan

Arraufar sedang berjalan-jalan di Nagoya, tepatnya di Sakae, yaitu pusat perbelanjaan yang dimana penuh dengan pertokoan yang menjual merk-merk barang terkenal. Ia sendiri sedang berlibur di Nagoya, padahal ia punya waktu untuk berkunjung ke Indonesia, namun ia memilih ke kota ini karena ia sedang berselisih dengan Yuvia.

Masalah awalnya adalah Arraufar terlalu meremehkan apa itu hubungan jarak jauh, ia pikir Yuvia akan baik-baik saja ketika dirinya jauh, namun sebaliknya, Yuvia sangat benci jauh dari orang yang di sayang. Hal lainnya pun ada pada kesibukan Arraufar, selain berkuliah, ia juga kerja di perusahaan Ayahnya, tentu itu akan menyita waktunya untuk berkomunikasi dengan Yuvia.

"Kamu masih sayang gak sih sama aku ?" tanya Yuvia lewat telepon.

"I.. Iya masih sayang lah." jawab Arraufar.

"Apa kamu sayang sama aku tapi jarang banget cuman sekedar nelepon aku atau ngabarin sesuatu gitu ? Apa itu yang dinamakan sayang ?" tanya Yuvia lagi dan menurut Arraufar ini pertanyaan yang berat yang tak bisa di jawab sembarangan, jika salah langkah, selesai sudah.

"Aku sibuk kan disini, kalau pun ada waktu kosong aku pasti ngabarin kamu kok." jawab Arraufar hati-hati.

"Aku gak mau denger alasan kamu yang cuman sibuk, sibuk, dan sibuk. Yang penting kamu harus tau bahwa ada seorang perempuan yang mencintai kamu dan ia rindu akan kehadiranmu. Itu ajah. Bye."

Sehabis telepon itu, telepon Arraufar tidak diangkat sama sekali, line hanya dibaca, bahkan ia meminta kepada Valdy untuk bertanya keadaan Yuvia.

"Wah dia malah jawab 'Kamu pasti disuruh dia kan ? Udah deh aku gamau jawab!' gitu." kata Valdy.

Arraufar kini butuh waktu untuk menyendiri, merenungkan ini semua, di tempat yang tenang.

***

Bandung

"Maneh rek kamana Dy ?" tanya Aep yang menanyakan temannya itu mau kemana.

"Teuing urang oge." jawab Valdy yang menjawab tidak tahu ingin kemana.

Valdy lalu memutuskan untuk langsung pulang dan beristirahat, ia tidak tau harus melakukan apa.

Sesampainya di rumah, Valdy langsung menghempaskan dirinya ke sofa ruang tamu. Ia sangat lelah sekali dan jam pun sudah menunjukkan pukul 8 malam. Ia beranjak dari sofa dan berjalan menuju dapur untuk mengambil segelas air putih.

"Halo ?" kata Valdy mengangkat telepon dari seseorang disaat ia baru terduduk di sofa.

"Masih inget gue gak ?" tanya seseorang yang membuat Valdy penasaran. Ia lalu melihat nomornya kembali dan ternyata berasal dari luar negeri. Ia merasa tidak punya banyak kenalan yang tinggal di luar negeri.

"Hmm, gue sibuk banget nih. Bye." kata Valdy.

"Eeehhhh... Tunggu dulu gila. Ini gue Alex! Lu masih inget kan ?" kata Alex.

Sepertinya trik Valdy berhasil. "GAUSAH SOK MISTERIUS GITU, JIJIK!"

"Hahaha sorry sorry." ujar Alex.

Lalu Alex bercerita bahwa dirinya sekarang tinggal di Manchester bersama Ayahnya. Ia bilang bahwa tinggal disana sebagai Ekspaktriat memang menyenangkan, akan tetapi baginya tetap Indonesia yang terbaik.

"Indonesia gak butuh lu, cepetan pindah warga negara!" kata Valdy dengan nada bercanda.

"Ah kampret lu..." kata Alex. Lalu terjadi hening yang cukup lama diantara mereka berdua.

"Eh Valdy." kata Alex memecah keheningan.

"Hoh ?"

"Lu ngerasa gak sih, kalau kita pisah-pisah begini bawaannya pengen ketemu mulu ?" tanya Alex.

"Singkatin ajah jadi kangen. Gausah panjang begitu." ujar Valdy. "Iya sih, tapi mau bagaimana lagi, semuanya udah punya kesibukan masing-masing."

"Pokoknya gue gak mau tau, kita semua harus ketemu! Ntar kapan-kapan gue telepon lagi ya!" seru Alex lalu menutup teleponnya.

'Pokoknya kita semua harus ketemu'

Kalimat itu membuat Valdy terdiam, ia tahu bahwa grup line yang dibuat itu tidak lagi ramai, sepi. Semuanya punya kesibukan masing-masing, masalah masing-masing, namun menurutnya dibalik itu semua pasti ada waktu luang untuk mereka bertemu.

Untuk sekarang, Valdy sedang mencari-cari waktu untuk mereka semua bertemu.

****
Marseille

Farisha sedang menyetel jam digital Shania yang tidak benar, dari waktu, tanggal, sampai alarm. Sementara Shania sedang duduk menonton TV, Farisha pun merasa ada yang beda dari Shania, kini temannya itu lebih sering menonton TV daripada melihat layar handphone-nya, mungkin itu adalah caranya melupakan kenangan yang telah lalu.

"Halo." Farisha menjawab telepon dari seseorang yang akan bertemu dengannya.


"Halo."

"Eh..." Farisha sedikit kaget ketika yang menjawab sapaannya adalah suara laki-laki yang berat. "Eh iya, ini saya, Farisha, saya yang bakal jemput kamu. Kira-kira sampai di Marseille jam berapa ?"

"Hmm..." Zaki bergumam. "Gimana ya jelasinnya ya... Oh oke. Kalau denger dari suara kamu kayaknya kamu seumuran sama aku, jadi ngomongnya santai ajah, gausah formal, gue bukan orang baik-baik lohhh."

Farisha terdiam mendengar jawabannya dan kalimat bukan orang baik-baik itu membuatnya tak bisa berkata-kata. Ia merasa bahwa Ayahnya salah memilih dirinya untuk menjemput orang itu.

"Halo ?" tanya Zaki.
"
"Eh.... Oke. Gue yang bakal jemput lu, kira-kira sampai sini jam berapa ?" tanya Farisha.

"Jam 2 siang." jawab Zaki.

"Hmm oke-oke. Karena kita seumuran dan gue cewek, alangkah baiknya kalau sudah sampe lu langsung telepon gue dan gue bakal ngasih tau dimana tempat gue nunggu lu. Gue sama adik gue kok."

"Oke!"

"Bye, orang jahat." Farisha menutup teleponnya.

Shania melihat Farisha terlihat bingung. "Kamu kenapa ?"

"Aduh, aku kira aku bakal ngejemput orang yang asik, eh ternyata engga." jawab Farisha. "Yaudah deh, aku berangkat dulu, kebetulan adik aku udah ada dibawah nunggu. Kamu istirahat ya."

"Oke, selamat bersenang-senang bertemu orang jahat!" seru Shania.

***

"Halo. Gue udah sampe nih." kata Zaki.

"Hmm, oke, gue nunggu di Starbucks deket terminal kedatangan." jawab Farisha ketus.

"Oke." tutup Zaki, ia lalu melangkah mantap menuju Starbucks yang dimaksud. Ia melihat sekelilingnya sekedar untuk bahan buat blognya, ia sangat tidak bisa tidak menulis ketika sampai di suatu tempat. Namun kali ini, ada perasaan yang menahannya untuk menulis sesuatu, seperti ada yang mengisolasi pikirannya di kota ini.

Farisha tidak bisa berkata-kata ketika pertama kalinya melihat orang yang menurutnya tidak asik itu. Perawakannya mengatakan seakan bahwa ia bijaksana, tubuhnya yang tinggi seakan mengatakan bahwa ia kuat. Zaki pun angkat bicara. "Boleh gue duduk ?"

"Oh iya duduk aja, mau minum apa ?" tanya Farisha mencoba akrab.

"Hmm apa ya..." Zaki terlihat berpikir. "Ah engga deh, makasih ya."

"Oh oke kalau begitu." Farisha menahan malunya karena selama ini ia bersikap cuek terhadap laki-laki yang sedang dihadapannya ini.

"Suara lu beda ya dari yang di telepon." ucap Zaki. "Gue kira awalnya lu orangnya galak, tapi ternyata engga."

Farisha menahan tawanya melihat tingkah Zaki. "Kalau aku galak gimana ?"

"Gak mungkin cewek secantik lu galak, bener kan ?" jawab Zaki sambil tersenyum.

Kali ini Zaki sukses membuat wajahnya memerah. Ia tak bisa berkata-kata lagi dan mencoba membuka handphone untuk mengalihkan perhatian.

"Btw, katanya lu sama adik lu, dimana dia ?" tanya Zaki.

"Oh iya.. Dia keluar tadi gatau kemana." jawab Farisha sambil menerawang sekelilingnya. "Nah itu dia."

Zaki membalikkan badannya dan kaget ketika melihat adiknya Farisha. Ia seakan tak percaya. Farisha sudah menebak bahwa laki-laki yang dihadapannya ini terkejut ketika melihat adiknya, karena memang setiap teman laki-laki Farisha jika bertemu adiknya akan memasang wajah tidak percaya.

"Oh ini dia ?" tanya Adiknya itu.

"Iya." jawab Farisha kepada adiknya. "Lah kok kamu diem ajah sih ?"

"Engga, cuman heran ajah kenapa sekarang ada dua cewek cantik persis di hadapan gue. Gue gatau harus gimana." ujar Zaki.

"Hahaha, oke kenalin ini kembaran aku, Shafira. Shafira, ini Zaki." kata Farisha. Mereka berdua lalu berjabat tangan.

Lalu mereka mengobrol tentang diri mereka masing-masing, bagaimana mereka bisa belajar di benua yang jauh dari negara asalnya dan lain-lain.

"Eh pulang yok." ajak Farisha.

"Yaudah ayo, eh Zaki ntar tidur dimana ?" tanya Shafira.

"Itusih gampang, dia tinggal di apartemen Rizki ajah dulu, dia kan anggota PPI juga." kata Farisha.

Zaki ditugaskan untuk mempresentasikan mengenai acara yang nantinya akan diselenggarakan di London tersebut, kebetulan acara tersebut nantinya akan dihadiri oleh pengusaha terkenal, beberapa duta besar Indonesia untuk negara Eropa, dan juga Menteri Pendidikan dan Kebudayan.

"Sorry ya, kita gak jemput naik mobil, soalnya Marseille itu kota yang ribet banget kalau masalah kendaraan pribadi. Jadinya naik kereta aja ya. Maaf." kata Farisha.

"Oh gak apa-apa, lagian gue juga suka kok naik angkutan umum." jawab Zaki sambil tersenyum.

Di sepanjang perjalanan, Zaki terus saja berpikir tentang apa yang nanti ia akan tulis di blognya, namun ia tak menemukan apapun yang akan ditulis. Imajinasinya yang liar tidak keluar sama sekali, seperti ada yang menutupnya rapat, seakan kota ini menolak keberadaannya.

Dan ia pikir bahwa ada seseorang yang menolak kehadirannya di kota ini.

"Kok kamu diem aja ?" tanya Shafira menepuk pundak Zaki.

"Ya kalau ribut juga ganggu ketenangan orang lain kan ?" ujar Zaki.

"Iya juga ya, yaudah gue ganti pertanyaannya, kok kamu lesu banget ? Gak suka naik kereta ya ?" tanya Shafira lagi.

"Duh bukan gitu." jawab Zaki sambil sedikit mengubah posisi duduknya. "Ya intinya gue mau diem aja deh."

"Hmm."

Sampai di stasiun dekat apartemen, Zaki melihat bahwa kehidupan di kota ini sangat ramah untuk pejalan kaki dan sebaliknya tidak ramah untuk pengendara roda empat. Jalanannya sangat sempit sekali, tidak ada lahan parkir dan juga mobil yang parkir sembarangan yang membuat jalanan ini makin sempit. Ia berpikir bahwa ini disengaja oleh pemerintah agar mendorong warganya untuk naik transportasi umum.

Farisha menekan tombol di lift, sementara Zaki membuka handphonenya untuk membalas pesan Abangnya, belum ia membalas pesan, pintu lift sudah terbuka sehingga Zaki terpaksa untuk membalasnya nanti.

"Oke aku duluan ya, mau ke kamar temen aku dulu." kata Farisha setelah pintu lift terbuka di lantai 5.

"Ya!" Shafira mengiyakan.

Zaki hanya mengangguk pelan lalu ia melihat bahwa mereka akan turun di lantai 6.

Saat mereka keluar Shafira menarik tangan Zaki. "Ayo cepetan lari kalau bisa, daritadi ngeliat kamu lesu mulu jadi males."

"Eh.. Eh iya..." Zaki mengikuti Shafira sambil tangannya di tarik. "Masih jauh ?"

"Bentar lagi, nomor 606."

603... 604... 605... dan 606... "Sampai!" seru Shafira, ia menghitung menggunakan bahasa prancis, sementara Zaki sangat lelah karena ia baru saja sampai dari perjalanan jauh dan juga dibuat bingung oleh bahasa alien yang dikeluarkan Shafira.

Shafira menekan bel 2 kali, tak lama kemudian Rizki keluar dan menyambut mereka berdua. "Yo masuk."

"Lu makin cantik ajah sih, sama lah kaya kakak lu." kata Rizki mencoba menggoda Shafira.

"Apaan sih, udah cepet kenalin ini Zaki. Zaki ini Rizki." ujar Shafira.

"Zaki."
"Rizki."

"Tinggi juga lu ya, udah punya pacar ?" tanya Rizki.

"Oh gak punya." jawab Zaki sambil melihat sekeliling apartemen Rizki. Teirlaht di televisi ada GTA V yang sedang di pause lalu ia menilai bahwa apartemen ini cukup rapi dan juga tertata dengan apik. Ia melihat buku-buku disimpan di rak berwarna merah, sementara kitchen set di dapurnya pun berwarna merah, hampir semua berwarna merah sehingga terkesan ini adalah apartemen milik perempuan.

"Yaudah lu sekarang bersih-bersih aja dulu, tuh kamar mandi disitu. Kalau laper bilang aja, ntar gue buatin makan." tunjuk Rizki, Zaki hanya mengangguk sambil tersenyum membalas tawaran Rizki. "Nah Shafira, temenin gue maen dong."

"Ayo!" Shafira mengiyakan.

Sementara Zaki memilih mandi sambil memikirkan apa yang membuat imajinasinya terhambat di kota ini.

***

"Akhirnya!" seru Farisha sambil membanting dirinya di kasur kamar Shania.

"Capek ya ? Mau aku buatin minum ?" tawar Shania sambil berdiri dari kasurnya.

"Eh gausah, kamu kan masih sakit." ujar Farisha.

"Aku udah mendingan kok, besok aku mau ke kampus ngerjain tugas sama ketemu temen-temen aku." kata Shania.

"Hmm gitu." gumam Farisha. "Orang yang aku jemput ada di apartemen Rizki."

"Gimana orangnya ?"

"Ya gitu deh, orangnya tinggi, baik....." Farisha terdiam sejenak, ia tau bahwa Shania baru saja mengalami patah hati yang hebat, untuk saat ini ia memilih untuk tidak membicarakan lelaki kepada Shania. "Gitu deh."

"Ooohh."

Lalu handphone Shania berbunyi dan ia melihat di layar, langsung ia mengangkatnya. "Halo!"

"Halo juga." jawab orang yang meneleponnya. "Kamu keliatan sehat ya, bukannya kemarin sakit ?"

"Kemarin ya kemarin, hari ini ya hari ini. Udah agak mendingan sekarang." jawab Shania.

"Kamu ada kepikiran gak buat reuni sama anak-anak ?"

"Pastinya dong, aku kangen sama mereka." jawab Shania.

"Bagusnya kapan ya ?"

"Tahun baru aja gimana ?"

"Nah iya ide bagus, ntar aku bilangin ke mereka, udah dulu ya, pulsa aku habis! Bye!"

"Siapa Shan ?" tanya Farisha.

"Sepupu aku." jawab Shania.

"Oh si Valdy itu ?" tanya Farisha lagi sambil tersenyum.

"Kok kamu tau sih ?" Shania bingung mengapa banyak sekali orang yang mengenal sepupunya itu.

"Ya gitu deh hehehe." ujar Farisha yang membuat Shania geli. "Yaudah istirahat kalau kamu besok mau ke kampus, aku pulang dulu ya!"

"Oke hati-hati."

Shania melihat temannya itu keluar, ia tidak penasaran siapa yang di jemput Farisha, namun ia merasa tidak nyaman jika tidak tau siapa orang yang menjadi perwakilan itu. Lebih herannya lagi, Farisha tidak menyebutkan siapa nama orang itu.

***

"Jadi ente berapa hari disini ?" tanya Rizki ketika mereka bersiap untuk menuju tempat pertemuannya. Zaki akan mempresentasikan tentang pertemuan besar itu dihadapan PPI Marseille.

"Malam ini gue harus balik, tugas gue numpuk soalnya." jawab Zaki. sambil memasukkan laptopnya ke dalam tas. Ia meminjam laptop Lakhsan untuk presentasi kali ini karena laptop yang ia miliki sedang bermasalah.

"Bentar banget, gak ada niat jalan-jalan gitu ? Abis presentasi gue ajak keliling deh." tawar Rizki. "Lu orang rantau, kapan lagi emangnya kesini ?"

"Yaudah deh boleh, tapi baliknya jangan kemaleman ntar gue ketinggalan pesawat." Zaki mengiyakan tawaran Rizki.

"Oke deh, kan gue yang nganter lu ke bandara ntar, ayo berangkat. Jangan canggung yee, cantik-cantik soalnya cewek disini." kata Rizki sambil menepuk pundak Zaki.

"Sialan!"

***

Shania sudah bersiap, dengan baju santainya dan topi fedora di kepalanya. Ia sudah menelpon teman-temannya bahwa ia akan ke kampus. Ia lalu menelepon Farisha untuk menanyakan dimana mereka bisa bertemu.

"Halo, Shania, ada apa ?" sapa Farisha.

"Engga, ntar kita ketemuan dimana ?" tanya Shania.

"Hmm, gimana ya, aku ada rapat PPI soalnya buat ntar ke London." jelas Farisha,

"Oh iya ya, aku ikut kan ? Jadi aku harus ikut rapat apa gimana ?" tanya Shania.

"Iya kamu ikut, tapi mending kamu ketemuan aja sama temen-temen kamu, mereka udah kangen tuh."

"Yah, jadi gak enak aku, yaudah deh, makasih ya! See you!" Shania menutup teleponnya.

Ia melangkah dengan mantap untuk menuju ke kampus, Shania merasa lebih semangat, tidak biasanya ia begini.

***

Farisha hanya tersenyum ketika melihat Zaki presentasi, dengan singkat dan jelas ia memberitahu ini itu tentang pertemuan itu, dimana ia dan kawan-kawannya akan menginap dan juga ada acara apa saja yang akan diadakan. Farisha kagum cara Zaki menyampaikan presentasinya dan juga kesabarannya dalam menjawab pertanyaan dari anggota PPI.

Ia tidak kuasa untuk bertanya karena lebih baik ia memandangi Zaki daripada harus berdebat dengannya.

"Hey, Farisha." sapa Zaki ketika presentasinya sudah selesai.

"Oh hey." kata Farisha sambil tersenyum, lalu ia melirik orang di sebelahnya. "Lu ngapain disini, Ki ?"

"Gue mau ajak dia keliling nih anak, dia kan ntar malam pulangnya, masih ada lah waktu buat jalan-jalan." jawab Rizki.

"Kok cepet banget sih ? Baru aja disini semalem." tanya Farisha.

"Kan ntar ketemu juga di London." ujar Zaki.

"Oh iya ya, yaudah deh hati-hati, eh Rizki, ajak ajah Zaki ke Palais Longchamp atau gak Vieux-Port." kata Farisha.

"Iya deh iya, ayo ah Zaki." ajak Rizki.

"Bye!" Zaki mengangkat satu tangannya.

"Bye!"

Farisha makin tidak sabar ingin pergi ke London, untuk bertemu dengannya lagi.

***

Zaki berjalan menuju Vieux-Port bersama Rizki yang menjadi tour guide dadakan. Zaki merasa takjub dengan cerita Rizki yang menceritakan awal Vieux-Port ini, entah benar atau hanya mengada-ada, Zaki tidak peduli.

"Sorry, handphone gue bunyi, bentar ya." kata Rizki lalu mengangkat teleponnya. Zaki tidak begitu mengerti karena Rizki menggunakan bahasa Prancis yang sangat kilat, namun terlihat di raut wajahnya yang begitu kesal.

"Aduh Zaki, sorry banget, gue di minta tolong sama temen gue buat ngenbantu dia. Sorry banget, seandainya gue gak punya utang budi sama dia, udah gue tolak kali, sekali lagi sorry ya. Ntar malem gue anter lu ke Bandara deh." jelas Rizki.

"Oh gak apa-apa, gue bisa jalan sendiri kok, gue gak pernah kesasar, gue tau jalan pulangnya." Zaki memakluminya dan sebenarnya ia tidak mau merepotkan Rizki untuk mengajaknya jalan-jalan.

"Okelah kalau gitu, bye!" Rizki berjalan cepat kembali ke kampus, sementara Zaki memilih untuk melanjutkan jalannya dengan bantuan GPS.

Sepanjang jalan ia hanya mendengar desiran angin musim gugur dan juga bahasa prancis yang agak menjengkelkan karena ia sama sekali tidak tahu apa yang mereka bicarakan. Sebenarnya Zaki pernah sekali belajar bahasa prancis bersama Valdy, namun entah kenapa lidahnya ini menolak untuk digunakan mengucapkan aksara prancis.

Satu lagi yang juga membuatnya kesal adalah bagaimana bisa kota ini tidak bisa memberikan sebuah ide untuk mengisi blognya nanti. Seakan memang kota ini menolak kehadirannya dan juga enggan diceritakan di blognya.

Jika ada yang melakukannya, siapa ?

***

"Hey!" sapa Farisha kepada Shania yang sedang duduk di taman.

"Hey! Gimana rapatnya ?" tanya Shania.

Farisha duduk di samping Shania. "Ya begitulah dan asal kamu tau ya, aku jadi tertarik sama si perwakilan itu.."

"Hmm, gitu... Jarang-jarang kamu semangat ya soal laki-laki, biasanya kan engga." ujar Shania.

"Hahahaha, dia itu beda Shan. Ntar deh kamu liat dia di London dan nilai sendiri orangnya bagaimana, hmm satu lagi, aku gak akan kasih tau namanya, ntar kamu kenalan sendiri deh." kata Farisha.

"Iya deh iya terserah kamu." kata Shania. "Eh jalan-jalan yuk, aku pengen refreshing aja soalnya udah stuck beberapa hari di kasur terus."

"Yaudah ayo."

Shania merasa bahwa dirinya kini penasaran siapa laki-laki yang dimaksud Farisha, tapi ia tidak akan menyampingkan kenyataan bahwa dirinya kini sangat membenci apa itu laki-laki. Karena makhluk yang disebut laki-laki telah menghancurkan dirinya atas nama cinta... Membuatnya kini tidak percaya apa itu cinta sejati.

***

Nagoya, Jepang.

Arraufar sedang sibuk memandangi langit. Iya percaya bahwa langit itu sama seperti sebuah hubungan, kadang suatu hubungan itu sangat cerah seperti langit yang biru dan juga kadang gelap seperti malam hari. Namun ia percaya bahwa di malam hari terdapat banyak sekali keindahan, setidaknya hubungannya kini seperti malam hari, yang gelap, namun ia percaya bahwa akan menemukan titik terang untuk keluar dari permasalahan ini.

Handphonenya berbunyi di meja, namun dirinya sama sekali tidak tertarik untuk melihatnya, ia memilih untuk terus memandangi langit sampai ia merasa bosan atau lapar. Ia tidak siap menerima pesan apapun dari Yuvia.

Dan handphonenya berbunyi lagi untuk yang kedua kalinya dan langsung membuat Arraufar bergerak untuk mengambil handphonenya. Lalu setelah melihat sebuah nama di layar, ia langsung mengangkatnya tanpa ragu.

"Ada apa ?" tanya Arraufar.

"Lu kedengeran gak sehat."

Arraufar sedikit tertawa. "Iya Dy, gue akhir-akhir ini kurang begitu sehat dan fit dalam menjalani hari."

"Aiihhh.." Valdy berhenti sejenak. "Ini pasti gara-gara Yuvia. Susah deh gue jelasinnya padahal ini kabar penting."

"Ah begitulah... Udah deh, apaan kabar pentingnya ?" tanya Arraufar sambil membereskan majalah-majalah yang berserakan di sofanya.

"Jadi, gue rencana mau ngadain reuni kecil-kecilan lah pas tahun baru, gimana lu bisa gak ?"

Arraufar berpikir sejenak sambil memikirkan apakah ia bisa atau tidak. "Kurang tau deh, ntar gue kabarin lagi, pokoknya gue usahain ikut."

"Hmm, oke-oke."

"Eh Valdy ?"

"Hoh ?"

"Tanyain kabar Yuvia buat gue ya!" kata Arraufar.

"Oke deh oke, yaudah cepetan kabarin gue ya."

***

Marseille

Zaki kini percaya apa yang dikatakan Rizki. Vieux-Port adalah tempat yang sangat menakjubkan, deretan kapan yang indah dan juga pemandangan laut lepas membuatnya tak bisa menahan untuk mengambil gambar. Setelah puas memotret ini itu, perutnya terasa lapar, untungnya ia membawa uang yang jumlahnya cukup untuk memakan sebuah kebab dan ia memutuskan untuk membeli kebab yang dijual oleh orang keturunan Aljazair.

"Merci!" Zaki berterima kasih alakadarnya menggunakan bahasa prancis yang sangat pas-pasan.

Ia berjalan menyusuri jalan kecil di dekat Vieux-Port sambil memakan kebabnya. Zaki bahkan melihat tidak begitu susah untuk melihat wajah melayu disini, namun tetap di dominasi oleh warga keturunan Arab. Sampai akhirnya ia menemukan toko buku kecil disudut jalan. Pengetahuan buku prancis Zaki memang sangatlah miskin, ia hanya tau novel Les Miserable karangan Victor Hugo, yaitu salah satu novel terbesar di abad 19 yang mengisahkan tentang kehidupan Jean Valjean yang dihukun 19 tahun di atas kapal kerja paksa hanya karena mencuri sebongkah roti, dan kini ia sedang memegang buku tersebut, namun mengembalikannya lagi ke tempatnya.

Ia hanya sebentar di toko buku tersebut karena memang ia tidak tahu menahu tentang novel dan buku-buku Prancis. Lalu ia mengeluarkan buku novelnya yang belum ia selesai baca, ia sangat mahir membaca sambil berjalan bahkan jika ia harus mengisi sebuah formulir yang mencatumkan kelebihan, maka ia akan menuliskan keahliannya itu.

Tiba-tiba Zaki berhenti membaca, lalu menurukan bukunya dan terdiam ketika seorang perempuan baru saja lewat, seakan memang ia mengenal siapa yang baru saja lewat. Entah kenapa dirinya kini hanya bisa diam seribu bahasa. Ia lalu membalikkan badannya dan melihat seorang perempuan yang memakan topi fedora masuk ke toko buku tersebut.

Ia terdiam sejenak melihat pintu masuk toko buku tersebut. Ia seperti mengenalnya namun ia tahu diri saja karena ini adalah kota yang asing bagi dirinya dan juga ia tidak mau membuat masalah.

Zaki mencoba terus berjalan dan melupakan si-perempuan-yang-sepertinya-ia-kenal

Namun...

Hatinya secara tegas menolak untuk melupakan perempuan itu.

***

Shania dan Farisha berjalan untuk mencari makan di daerah Vieux Port. Kali ini Shania berinisiatif untuk menraktir Farisha. Farisha ingin sekali bercerita tentang Zaki, namun dirinya tau bahwa Shania kali ini sedang membenci laki-laki.

"Oh iya, aku mau ke toko buku yang di deket sini deh, katanya bukunya bagus-bagus, mau ikut ?" tanya Shania kepada Farisha.

"Gak deh, aku mau lihat-lihat baju dulu disini, ntar kita ketemuan di depan ya!" jawab Farisha.

Shania hanya menganggukkan kepala lalu iya bergegas menuju toko buku yang dimaksud. Ia berjalan dengan cepat, seperti orang Eropa pada umumnya, bahkan ada yang mengatakan bahwa semakin maju negara tersebut semakin cepat pula lah cara berjalan penduduk di negara itu. Shania tidak percaya itu, tapi dirinya yakin bahwa tidak penting sekarang untuk memikirkan cepat atau lambat jalan seseorang.

Ia mencari-cari toko buku tersebut dan terpaksa bertanya kepada seseorang yang sedang duduk santai. Setelah mendapat apa yang ia dapatkan, ia berhasil menemukan gang tempat toko buku tersebut berdiri. Ia berjalan dengan santai sambil melihat ada seorang kakek-nenek yang sedang berjalan bersama, seorang anak kecil yang sedang kejar-kejaran satu sama lain, dan seseorang dengan badan tinggi dan sedang membaca buku sambil berjalan.

Shania melewati orang yang membaca buku tersebut, namun entah kenapa jalannya merasa melambat ketika ia mencium parfum orang tersebut, sangat khas, seperti mengingatkan ia pada seseorang yang tidak pernah menyakitinya namun ia merasa disakiti olehnya. Namun ia memlilih mengenyahkan pikiran itu dan berjalan masuk ke toko buku tersebut.

Namun kembali wangi parfum tersebut terngiang-ngiang di pikiran Shania. Ia mengenal betul dan merindukan orang yang pernah memakai parfum tersebut dan kini keberadaannya menghilang tanpa jejak, seperti diculik dan dibunuh layaknya aktivis jaman dulu. Ia kini memegang buku Les Miserable dan membaca sinopsisnya sedikit, lalu ia meletakkan buku itu kembali.

"Zaki, bisa gak kita ketemuan, 5 detik aja deh, aku mau tau kabar kamu ajah, gak lebih dari itu, jika kamu udah yang menemukan yang lebih baik dari aku, aku terima dan bahkan berterima kasih kepada perempuan itu karena membuat kamu bahagia. Karena memang gak ada yang lebih baik dari melihat kamu bahagia." ucapnya dalam hati.

Shania keluar dari toko buku tersebut dan menemui Farisha untuk makan siang.

To be continued!
Read more ...

Standupwrongway Fanfict JKT48 : Unreachable 2 (Part 9)

Tuesday 17 May 2016
Beberapa Tahun Lalu...

"Permisi..." Shania mengetuk pintu rumah pacarnya...

Namun tidak ada tanda-tanda adanya orang di dalam rumah tersebut. Ia memilih menunggu pacarnya yang sedang pergi.

Dengan pakaian yang sangat bagus dan membawa sebuah kotak yang berisikan hadiah ulang tahun pacarnya, ia siap menyambutnya dengan senang hati. Kebetulan rumah pacarnya tidak mempunyai pagar, sehingga Shania duduk menunggunya di teras sambil menyanyikan pelan sebuah lagu yang ia sukai.

Saat ditengah nyanyian, suara mesin mobil muncul, Shania berdiri karena tau bahwa itu mobil pacarnya.

Namun..

Ia melihat dibalik dahan pohon yang tumbuh dipekarangan rumah pacarnya. Pacarnya tidak sendiri, melainkan dengan seseorang perempuan yang tidak ia kenali.

Lalu dirinya melihat mereka berpelukan. Rasanya seperti dihantam palu mjolnir. Dengan gerakan cepat ia keluar sambil menghantamkan kotak hadiah itu kepada pacarnya seraya menangis.

"Shania!" seru Zildjian, namun Shania tidak menghiraukannya, ia tau terlalu sakit untuk menerimanya, namun ia terlanjur menerima rasa sakit itu.

Ia tak mau mengalami rasa sakit seperti itu lagi karena siapa yang mau.

***

Paris, Prancis

Shania menutup mulutnya, tidak berkata-kata ketika melihat orang yang dimaksud Veranda. Dengan cepat ia menampar orang itu dengan segala amarahnya dan pergi keluar restoran dengan cepat.

"Dasar bajingan!" kata Farisha kepada Adam yang lalu mengikuti Shania keluar.

Shania berlari sambil menangis, ia tak percaya akan terjadi lagi hal yang sama seperti dulu. Farisha menghampirinya lalu memeluk erat Shania.

"Udah Shan...." kata Farisha sambil mengelus rambut Shania.

"Apa kamu gak tau sakitnya digituin ?! Asal kamu tau! Aku udah diginiin dua kali! Dua kali Farisha!" kata Shania sambil menangis dengan keras.

Farisha tidak bisa berbicara banyak dan lebih memilih untuk membawa Shania ke tempat yang cukup sepi karena ia tak mau Shania menjadi tontonan orang yang lewat.

Semua rencana jalan-jalan Shania menjadi buyar ketika melihat Adam selingkuh di depan matanya sekali lagi. Kini ia merasa bahwa Paris bukan kota yang romantis seperti yang banyak orang katakan. Di kota ini, semua menjadi buram di mata Shania.

Kini, Shania mulai tidak percaya apa itu cinta...

***

London, UK

"Kapan lu ke Prancis ?" tanya Gatot, temannya yang ikut rapat. Kini mereka sedang duduk-duduk di depan Sungai Thames.

"Lusa, kalau lu dapetnya kemana nih ?" tanya Zaki sambil mengambil bungkus rokok yang ada di sakunya. "Mau ?"

"Boleh." kata Gatot dengan senang hati mengambil sebatang. Zaki tau bahwa merokok itu tidak baik, namun untuk saat ini, rokoklah yang bisa menenangkannya karena ia sedang pusing-pusingnya mengurus ini-itu di PPI.

"Bajingan emang si Adam itu, main pergi ajah dia, terus kerjaannya di bebanin ke gue semua lagi." kata Zaki.

"Emang banyak yang gak suka sama dia. Gue akuin tampangnya oke, tapi tanggung jawab gak ada sama sekali. Dulu mah dia rajin bener, sekarang gegara dapet pacar jadi gitu dia." kata Gatot, lalu melanjutkan. "Katanya dia bilang ke gue dia pergi sama temennya ke Paris."

"Shit." umpat Zaki.

Mereka lalu hanya diam menikmati sunyinya malam karena memang sudah jam 2 malam dan cukup sepi. Ia mengeluarkan rokok keduanya dan terus terdiam terdiam sampai akhirnya pikirannya melayang kepada Shania. Tentunya ia sangat menyesal meninggalkan Shania disaat ia mengatakan bahwa ia mencintainya, bodohnya lagi, Shania juga mencintainya. Namun, dengan mudahnya ia meninggalkan perempuan itu.

Aku ingin bertemu, namun sediakah kamu bertemu dengan orang yang sudah meninggalkanmu ?
Aku ingin bertemu, namun apakah kamu akan menerimaku kembali ?
Aku ingin bertemu, namun sediakah kamu mengizinkanku menghapus semua kesalahanku kepadamu ?
Aku ingin bertemu, namun semuanya sudah terlanjur karena kamu sudah bersama yang lain.

Jadi bagaimana ? Apa kamu bisa kembali menerima laki-laki bajingan sepertiku ini ?

Zaki bangkit dari duduknya. "Oke, gua balik dulu."

Ya, untuk saat ini, berendam di flatnya akan membuat dirinya lebih baik.

Ia pikir bertemu dengannya adalah yang terbaik untuk menjelaskan semuanya.

***

Bandung, Indonesia

Valdy sedang sibuk dengan laptopnya karena banyaknya tugas yang harus ia kerjakan. Di samping itu ia melihat handphone-nya yang penuh dengan pesan dari Viny dan juga Arraufar. Namun ia membiarkannya untuk fokus mengerjakan tugasnya.

Namun ia terpikirkan oleh Shania. Akhir-akhir ini Shania jarang sekali menghubunginya. Biasanya, dalam sehari Shania menghubungi Valdy hanya sekedar lewat Line dan sesekali lewat telepon, hanya sekedar ingin memberitahu keadaannya dan menanyakan ini itu tentang Bahasa Prancis.

"Halo, Shania. Tumben gak nge-line. Apa kabar ?"

Sent.

Selang setengah jam, tak kunjung ada balasan dari Shania. Valdy pikir mungkin Shania sedang sibuk, untuk sekarang, ia lebih baik berpikir positif kepada Shania.

"Kampret!" teriak Valdy, karena sudah dua jam ia menunggu balasan dari Shania, kini pikirannya kacau karena memikirkan sepupunya. Ia berpikir mungkin terjadi sesuatu kepada Shania. Valdy sudah menganggap Shania seperti adiknya sendiri dan pastinya rasa khawatir akan muncul.

Namun, Valdy teringat sesuatu. Ia mencoba mengcek pulsanya dan berharap itu cukup untuk menelepon seseorang yang Shania kenal. Shania pernah memberikan info kontaknya, namun waktu itu Valdy tidak peduli dan mengabaikannya.

Kini, ia menscroll terus chat historynya dengan Shania. Tidak ketemu.

Ia mencoba mengingat-ingat namanya...

"Oh kampret, kan ada tombol search!"

Ia lalu mencoba mencari kata kunci yang dekat-dekat dengan info kontaknya. Setelah lama mencari akhirnya ia menemukannya.

"Farisha ? Cantik juga."

Lalu setelah ia add, ia segera menuliskan pesan.

"Hmm.... Halo. Ini gue Valdy, sepupunya Shania. Gue yakin lu tau gue, pasti Shania cerita. Gini, kabar Shania sekarang gimana ?"

Tak lama kemudian Farisha membalasnya.

"Oh ya ? Hmm.. Bisa minta no.telp lu ? Biar enak ceritanya."

Valdy lalu memberikannya. Ia menunggu beberapa menit sampai akhirnya handphonenya berbunyi.

"Halo." sapa Valdy mencoba sedikit merubah suaranya karena memang ia sedang sedikit serak.

"Hahaha, kok suaranya aneh banget ? Serak gitu."

"Hmm, iya gue lagi serak. Jadi, gimana kabar Shania." Valdy tanpa basa-basi lama langsung menanyakannya.

Ada jeda panjang sampai akhirnya Farisha menjawab. "Jujur, gue gatau sekarang keadaannya gimana. Gue datang ke apartemennya tapi gak dibuka-buka, terus gue coba telepon gak diangkat, gue coba kirim sms gak di bales."

Pasti ada masalah, pikir Valdy. "Hmm. Mungkin dia lagi gak enak badan atau gimana kali ya ?"

Jeda panjang lagi, Valdy pikir ada sesuatu yang coba di sembunyikan Farisha. "Eeehh.... I-iya."

"Kok jawabnya gitu ? Sebenernya ada apa ? Coba jujur, sumpah gue panik banget dia gak ada kabar. Jangan sampe gue kesana terus dobrak pintu apartemennya!" kata Valdy dengan tegas. "Jujur coba, jangan bohong, walaupun mungkin Shania bilang ke lu gaboleh cerita ke siapa-siapa."

"Sebenernya... Oke gini. Jadi.."

Farisha menceritakan semua yang ia lihat ketika Shania melihat pacarnya, ternyata pergi ke Paris bersama Veranda.

"Qu'est-ce qui vient de se passer!!!! Degoutant!"

"Shania gak berhenti nangis, pas kita sampai di Marseille juga dia murung terus." jelas Farisha.

Valdy hanya terdiam, mungkin ia pikir Shania hanya perlu menyendiri untuk menenangkan dirinya. Tapi, ini terjadi dua kali, mengapa perempuan sepertinya harus disakiti dengan cara yang sama. Mengapa Shania bisa dengan jatuh cinta kepada laki-laki bajingan seperti itu ?

"Oke. Makasih ya, ntar gue line ya buat nanyain kabar Shania."

Valdy merebahkan dirinya di kasur. Sekarang ia memikirkan apa yang bisa ia pikirkan.

***

Marseille, Prancis

Shania bangun dari tidurnya yang cukup lama. Sekarang, tubuhnya dibalut dengan selimut tebal, ia sedang tidak enak badan selepas pulang dari Paris. Dengan gerakan lambat ia meraih handphonenya yang ternyata baterainya tinggal 2%, jam menunjukkan pukul 5 sore. Kepalanya terasa pusing, badannya pun lemas, suhu tubuhnya panas.

Dengan memaksakan dirinya, ia mencoba berdiri untuk berjalan ke kamar mandi. Namun saat baru saja berdiri, kepalanya terasa pusing dan ia pun merebahkan badannya kembali ke kasur. Ia pikir bahwa istirahat sedikit dapat memulihkan keadaannya.

Batin Shania masih terasa sakit. Ia sekarang masih saja mengingat kejadian yang membuatnya luka lama muncul kembali. Mengapa selalu saja pelakunya sama, yaitu laki-laki yang mengaku mencintainya dan pura-pura baik kepadanya. Mengingat itu semua, Shania sadar itu memperburuk keadaannya, namun semakin ia menjauhi ingatan itu, semakin bernafsu pula ingatan itu mengejarnya.

Ia bangun kembali dari tidurnya dan mencoba memaksakan diri ke kamar mandi hanya untuk sekedar cuci muka dan gosok gigi. Di cermin, ia melihat wajahnya begitu pucat. Setelah dari kamar mandi, ia mencari obat di laci mejanya, waktu itu ia sempat membelinya ketika dirinya sedang demam juga.

Setelah agak dirasa baik, Shania mengambil charger dan mengcharge handphone-nya yang sudah lowbatt. Ia melihat banyak sekali panggilan tak terjawab dari Farisha dan juga banyak sekali line dari Valdy yang belum ia balas.

Namun ia agak malas ketika membaca nama Adam di layar handphone-nya. Ia banyak sekali mengirimkan pesan lewat line, meminta maaf. Mulut manis yang biasanya Shania sukai dari Adam kini menjadi bisa yang mematikan. Kata-kata yang selama ini terucap dari lisannya adalah dusta yang Shania konsumsi. Shania berpikir bahwa betapa bodoh dirinya bisa menerima laki-laki seperti itu untuk kedua kalinya.

Lalu ada bunyi ketukan pintu bernada 1-2-1, Shania tau itu Farisha, lalu dengan langkah berat ia mencoba membukakan pintu untuk temannya itu.

"Aduh Shania!" Farisha memegang pipi Shania. "Pucat banget muka kamu!"

Shania hanya tersenyum lemas. "Aku lagi gak enak badan."

Farisha lalu dengan cepat menutup pintu dan menyuruh Shania untuk tiduran. Ia dengan sigap mengambil  kain dan baskom kecil berisi air dan mengompres temannya itu.

"Bentar ya, aku ke kamar Rizki dulu." kata Farisha. Rizki adalah teman Farisha dan juga Shania yang kebetulan tinggal hanya berbeda satu lantai dengan Shania.

Tak lama kemudian, Farisha kembali dengan membawa Rizki yang sudah berpakaian rapi. "Gila lu, sakit kok gak bilang-bilang, entar lu kenapa-kenapa susah juga." seru Rizki.

"Kamu ganti baju dulu ajah, kita ke rumah sakit cepetan." kata Farisha.

***

Sepulang dari dokter, keadaan Shania sudah mulai baikan. Kini mereka bertiga berada di mobil Rizki yang dengan mantap memegang kemudi stir.

"Gue udah denger semuanya Shan." celetuk Rizki memecah keheningan.

"Maksudnya ??" tanya Shania tidak paham.

"Ya yang di Paris itu. Bukan maksud ngingetin lu balik ke kejadian itu, cuman gue gak tahan ajah pengen komentar." jelas Rizki. Memang, Rizki adalah orang yang apa adanya saat berbicara, bahkan ia berani mengungkapkan kejelekan seseorang di depan orang itu sendiri. Ia lebih suka berterus terang daripada harus memendamnya. "Gue liat lu kok bisa-bisanya jadian sama cowok yang begitu. Asal lu tau ya, cowok yang biasanya banyak gombal itu gue yakin banyak simpenannya."

Farisha dan Shania hanya terdiam, Rizki melanjutkan. "Gue kasih tau, cowok ganteng itu banyak, yang baik banyak, yang humoris banyak, tapi yang tulus itu susah sekarang, yang tulus mencintai lu tanpa memikirkan perempuan lain. Bahkan disaat dia lagi sama perempuan lain, pikirannya gak bisa jauh-jauh dari lu."

"Hati lu lemah, Shan. Lu dengan mudahnya memberikan hati lu itu kepada laki-laki yang gak jelas mencintai lu apa engga. Bukan maksud gue mengubah lu jadi cewek yang selektif dalam milih pasangan, tapi gue harap lu belajar dari kejadian ini. Sekarang, gue nganggap Adam sama lu salah. Adam salahnya udah jelas, sementara salahnya lu adalah menerima dia masuk ke hati lu yang lemah itu."

"Jadi gue harus gimana ?" tanya Shania.

"Nah itu, gue gak tau. Gue ngasih wejangan ajah, sisanya terserah sama lu. Kalau terjadi hal kaya gitu lagi, jangan sampe lu bilang 'bener juga kata Rizki ya'. Oke ?" kata Rizki. "Gue gak suka liat cewek nangis, kecuali dia nangis pas lagi di...."

Farisha menampar pelan Rizki. "Disaat gini otak lu masih juga ngeres!"

Rizki hanya menyengir dan kembali fokus menyetir.

***

London, UK

Zaki sedang bersiap-siap untuk pergi ke Prancis. Ia tau ini akan menjadikan perjalanan yang biasa saja dan ia hanya membawa sebuah ransel yang berisi seadanya. Tak lupa ia membawa indomie 2 bungkus karena itu adalah sebuah barang vital baginya jika ia berpergian jauh.

"Lu mau kemana ?" tanya Wisnu yang sedang bermain di flatnya.

"Ke Paris lanjut ke Marseille, gue kayaknya bakal di Paris dulu 2 hari satu malam, ketemu abang gue." kata Zaki sambil memasukan pakaiannya ke ransel.

"Wuih boleh juga. Gue belum pernah tuh ke Paris, mau sih kesana, tapi masa sendiri. Gak asik. Kata orang-orang Paris kan romantis." kata Wisnu.

"Gak ada yang romantis selain Lake District menurut gue. Oiya, kata orang Venice juga kota romantis. Kata orang itu, padahal Venice mah bau pesing kalau masuk gang kecilnya. Romantis dari mana ?" jelas Zaki.

Wisnu mengernyitkan dahinya. "What ? Bau pesing ? Lu pernah kesana ?"

"Gak pernah, gua baca review gitu dan tentunya dari bokap nyokap gua yang tinggal disana." jawab Zaki.

"Baru tau gue orang tua lu tinggal disana."  Wisnu melangkah ke meja yang ada dipojok kamar yang diatasnya ada tiket pesawat dan paspor tentunya. "Yakin lu besok perginya ?"

"Hah ? Iyalah. Kan udah jelas ada di tiketnya." kata Zaki yang menutup persiapannya dengan merapatkan resleting ranselnya.

"Kampret, ini di tiket lu berangkat lusa! Wah salah baca lu!" seru Wisnu.

Zaki melihat tiketnya dan tidak percaya. "Eh bener juga ya, wah kampret nih temen gue ngibulin." Zaki meminta temannya membelikan tiket dan temannya bilang bahwa besok ia harus ke Paris.

"Iya, lu nya juga bego mau ajah di kibulin."

Zaki lalu memilih memikirkan untuk mengisi satu hari yang tak terduga itu.

***

Bandung, Indonesia

"Akhirnya!" Valdy beranjak dari kursinya dan merebahkan dirinya di kasur. Ia melihat jam dinding menunjukkan pukul 10 malam. Ia meraih handphone-nya dan membuka semua notifikasi yang muncul.

Missed Call (26) dari Viny.

"Anjeer!!!! Viny ngamuk nih!" Valdy lalu mencoba menelepon balik, namun hasilnya bisa ditebak, Viny tidak mengangkatnya. Ia mencoba beberapa kali namun hasilnya tetap sama. Valdy memilih untuk membiarkannya dan turun kebawah untuk memasak Indomie.

Sesudah memasak indomie. Valdy mengambil handphonenya dan melihat-lihat teman line-nya. Namun entah kenapa dirinya sangat ingin menelepon Arraufar, namun pulsanya tidak memadai untuk melakukan panggilan internasional.

zamish : eh anak sultan, telepon gue dong. gue gak ada pulsa nih.

Lalu tak lama kemudian ada balasan

arraufar : iya nyet.

"Halo ?" kata Valdy memulai percakapan dengan temannya itu.

"Iye, ada apa nih nelepon." terdengar suara Arraufar seperti yang mengantuk.

"Wah lu ngantuk ya ? Sorry kalau ganggu yaudah matiin ajah." kata Valdy.

"Tenang ajah, gue niat begadang sekarang. Lagian gua males tidur soalnya gila panas bener nih." 

"Lah bukannya lu pake AC ya ?" tanya Valdy yang baru ingat kalau sekarang adalah musim panas.

"Pake, cuman masih ajah panas. Banyak dosa kali ya gue ?" tanya Arraufar.

"Iya kali." kata Valdy.

Tidak ada pembahasan lagi, mereka berdua terdiam. "Eh Dy, gimana ntar kalau kita reunian kecil-kecilan ?" kata Arraufar ememcah keheningan.

"Boleh juga, tapi pastiin waktunya biar pada bisa semua, sekarang lagi pada sibuk."

"Ya gak dalam waktu dekat juga lah, pas musim dingin gimana ?" ujar Arraufar.

"Gila, di Bandung mana ada musim dingin." kata Valdy.

"Eh, maksudnya disini yang musim dingin aelah."

Lalu mereka membicarakan tentang bagaimana reuni itu akan terwujud, walaupun kemungkinannya kecil, mereka berdua mencoba mengatur waktu yang sangat pas.

"Oke, ntar gue sampein ke anak-anak." kata Arraufar.

"Okelah! Bye!" Valdy menutup telepon dan ia menyesal sudah mengobrol dengan Arraufar karena indomie yang ia masak sudah dingin.

***

London, UK

Zaki terbangun dari tidurnya yang cukup nyenyak, ia batal berangkat hari ini karena salah melihat jadwal, ia merasa ceroboh karena salah melihat jadwal hari keberangkatan adalah kebodohan yang langka. Ia melihat jam yang menujukkan pukul 8 pagi, ia berencana pergi ke rumah Mang Adat karena kebetulan dirumahnya sedang ada acara makan-makan. Zaki tidak mau rugi.

Selesai mandi, ia turun dan melihat Damien dan Lakhsan sedang bermain PS.

"Selamat Pagi!" sapa Zaki kepada meraka berdua, menggunakan bahasanya sendiri.

"Oh! Pagi!" kata Lakhsan yang sudah sedikit demi sedikit bisa berbahasa Indonesia. Ia tentunya belajar sendiri dan sering menguping ketika Wisnu dan Zaki sedang mengobrol.

"Are you lose, Damien ?" tanya Zaki.

"Of course! Now, I'm playing with  freak gamer!" jawab Damien.

"Relax!" kata Lakhsan sambil menepuk bahu Damien.

Setelah meminum kopi, ia langsung pergi ke rumah Mang Adat, sebelum itu, ia harus bertemu dengan Alle dan Asep, yaitu rekan kerjanya untuk bersama-sama ke rumah bosnya. Namun saat di tengah perjalanan, handphone Zaki berbunyi..

"Halo ?" sapa Zaki.

"Halo, Zaki, kamu dimana ?" tanya seseorang yang meneleponnya.

"Ini siapa ?" tanya Zaki.

"Naomi! Ini Naomi!" Naomi menjawab dengan nada sedikit panik. "Kamu dimana ?"

"Lagi mau ke Fulham, kenapa ?" tanya Zaki, kini rasa laparnya berubah menjadi rasa cemas.

"Bisa ke flat aku gak sekarang ? Aku mau ngomong sesuatu." kata Naomi.

Zaki melihat kedua temannya terus berjalan sementara Zaki yang di belakangnya bimbang antara ke flat Naomi atau ke acara makan-makan Mang Adat. "Oke-oke, aku kesana sekarang." Lalu Zaki menutup teleponnya. "Sorry ya, saya ada urusan mendadak nih."

Asep terlihat kecewa. "Aduh, padahal enak-enak makanannya disana. Lebar kalau kata orang sunda mah."

"Yasud, pergilah, nanti aku bungkusin." kata Alle.

"Sorry ya guys!" lalu Zaki berbalik dan berjalan menuju flat Naomi dan tentunya flat Veranda juga.

***

"Semuanya kacau." kata Naomi ketika Zaki baru saja duduk di sofa. "Veranda sekarang gak mau keluar kamar, dia baru aja pulang dari Paris."

"Kok bisa ?" tanya Zaki.

"Gatau, aku ketok pintu kamarnya berulang kali tapi gak dibuka-buka." ujar Naomi.

Mereka berdua lalu hanya diam. Zaki hanya melihat sekeliling flat ini sementara Naomi hanya terdiam menatap toples yang berada di meja, ia tak berani menatap mata Zaki. Lalu Zaki beranjak dari sofa dan berjalan menuju pintu kamar Veranda. Zaki mengetoknya berulang kali, namun tak ada tanda-tanda kehidupan dibalik pintu itu, seperti pintu rumah yang ditinggal mudik penghuninya.

"Hey, buka dong pintu--" Lalu Zaki mendengar suara kunci pintu yang diputar sang pemilik, lalu dengan cepat ada tangan yang menariknya masuk ke dalam dan menutup kembali lalu menguncinya dengan tegas.

"Zaki!" kata Veranda yang lalu memeluknya erat-erat. Zaki tidak tau apa yang terjadi dengan perempuan ini namun ia membiarkan Veranda memeluknya. Lama sekali. Zaki melihat kamar Veranda yang berantakan dan juga mata mantan pacarnya yang merah, seperti orang yang baru saja menangis dalam waktu yang lama.

"Ada apa ?" tanya Zaki namun Veranda hanya menggelengkan kepalanya dan terus memeluk Zaki.

Veranda melepaskan pelukannya lalu ia duduk di kasurnya dan menutup wajahnya. Zaki tidak mengerti apa yang sedang terjadi. Ia lalu membuka jendela kamar Veranda dan sinar matahari langsung menyeruak menerangi kamarnya.

"Ada apa ?" tanya Zaki mengulangi pertanyaan sebelumnya. Namun Veranda hanya terdiam dan perlahan air matanya jatuh kembali. Ia pikir bahwa Veranda sedang patah hati, tentunya. Zaki mengerti dan memilih untuk tidak bertanya tentang ini itu. Ia memilih duduk di samping Veranda dan mengelus-elus rambutnya.

"Want some coffee ?" Tanya Veranda sambil bangkit dari duduknya. Zaki hanya mengangguk dan mengikuti Veranda dari belakang.

Ia tak tau apa yang terjadi, mungkin pilihan terbaik untuk sekarang adalah dengan tidak menanyakannya sesuatu hal yang bisa membangkitkan rasa sakit itu, namun pilihan buruknya adalah pasti Veranda tidak akan bisa memendam masalah itu sendirian.

Zaki sekarang hanya peduli sebagai teman, bukan peduli sebagai seorang yang disayang.

***

Charles de Gaule, Paris, Prancis

"I've been trying to reach you. uuuu~~" sambil menunggu Abangnya yang belum datang menjemput, ia mendengarkan lagu kesukaannya yaitu Nurses - Trying To Reach You.

Zaki tau ia sedang berada dimana ia harus bisa berbahasa Prancis. Karena dari yang ia tau, orang Prancis adalah warga dunia yang paling sombong budaya. Susah sekali berkomunikasi disini karena warga disini hanya mau berbahasa Prancis dan tidak mau berbahasa Inggris. Padahal sebenarnya mereka bisa.

"Udah lama ?" tanya Reyhan yang menyusulnya di sebuah kedai kopi, tak jau dari pintu kedatangan.

"Baru ajah nyampe sih, btw, lu makin gendut sumpah." kata Zaki lalu memeluk Abangnya itu.

Lalu Reyhan memesan minuman yang sama seperti yang Zaki pesan. "Gila ajah, restoran gue lumayan rame hari ini, untungnya asisten gue bisa gantiin gue sebentar."

"Lu jarang banget nelepon gue, bang." kata Zaki.

"Harusnya gue yang ngomong begitu. Tapi lu nelepon bokap sama nyokap lancar kan ?" tanya Reyhan.

"Sebulan dua kali ada lah, gue lagi sibuk ngurus PPI ajah ini, soalnya ketuanya bajingan banget, jadinya tugas dia di hibahin ke gue semua." keluh Zaki. "Mantan pacar gue sekarang lagi murung terus, gue khawatir bawaannya."

"Mantan masih ajah lu pikirin ? Udah gausah."

"Bukan gitu. Tapi kayaknya gue masih gak terima dia mutusin gue, malah terakhir kali ketemu, dia meluk gue lama gitu sambil nangis. Mungkin gara-gara pacar barunya kali." jelas Zaki.

Reyhan hanya tersenyum kecil, lalu ia mencoba mengalihkan pembicaraan. "Gimana kalau jalan-jalan ? Ke Eiffel gitu atau Louvre ? Gue jadi tour guide lu deh seharian."

"Okelah oke."

***

"Ah di poto doang bagusnya, aslinya biasa ajah." kata Zaki ketika melihat menara Eiffel yang terkenal itu.

Reyhan meninju pelan bahu adiknya. "Bisa ajah lu, mentang-mentang udah lama tinggal di Eropa."

"Eh kalau keatas bisa kan ? Bagus gak sih ?" tanya Zaki kepada tour guidenya.

"Bagus sih bagus, tapi gue kurang suka." jawab Reyhan. "Oh iya, gimana kalau gue anter lu ke tempat favorit gua di Paris ? Gak akan nyesel deh, soalnya gue suka kesana kalau lagi nenangin diri."

Zaki lalu berjalan mengikuti Abangnya menuju tempat yang dimaksud. Sepanjang perjalanan, ia dipandu oleh Abangnya mengenai ini dan itu, dari taman favoritnya, restoran favoritnya, sampai tempat yang paling ia benci. Zaki pikir Reyhan seperti berceramah daripada menjelaskan.

"Lu harus liat restoran itu, gue gak suka tuh sama restoran itu, soalnya jujur gue dicuekin abis-abisan sama pelayannya. Apa karena muka melayu gue ini gak enak dilihat atau gimana ?" kata Reyhan berapi-api.

"Nah taman ini!" jelas Reyhan. "Ini taman dimana gue ketemu pacar gue sekarang!" Reyhan menunjukkan tamannya seakan-akan itu taman terbaik di dunia.

Zaki tersenyum. "Lu udah punya pacar bang ?"

"Oh iya dong, dan lebih hebatnya lagi dia orang Indonesia. Percaya sama gue, cewek tercantik di dunia tuh adalah cewek dari Indonesia." seru Reyhan.

"Oooohhh begitu..." gumam Zaki.

Lalu sampailah mereka di tempat yang Reyhan maksud.

"Arc de Triomphe, menurut gue ini adalah tempat terbaik di Paris." jelas Reyhan.

Zaki lalu naik keatas lalu ia terkagum-kagum. "Bener juga, keren bang."

"Gua bilang juga apa." lalu Reyhan mengambil handphonenya dan memfoto adik kesayangannya secara diam-diam. Karena pada dasarnya Zaki memang tidak suka difoto, ia lebih memilih memfoto apa yang ia lihat, daripada ia harus memfoto apa yang orang harus lihat darinya.

Zaki merasakan bahwa Paris terlihat sangat bagus jika dilihat dari atas bangunan megah itu. Namun entah kenapa ada rasa yang mengganjal hatinya mengenai kota ini. Seperti ada sesuatu yang menyakitkan sudah terjadi kepada seseorang yang ia kenal.

"Gue gak bisa bilang Paris kota yang romantis." kata Zaki.

"Gue demikian, sama. Alasan gue simpel, karena suatu kota gak akan mempengaruhi arti romantisme itu sendiri. Lu di kampung kumuh juga pasti bisa menciptakan sesuatu yang romantis. Label kota romantis menurut gue gak cocok buat semua kota di dunia, karena suasana romantis bisa dirasakan dimana saja." kata Reyhan.

Zaki hanya menghela nafas dan setuju dengan perkataan Reyhan.

"Gue laper, gimana gue ke restoran lu makan gitu." kata Zaki.

"Why not ?"

Lalu ia tau apa yang akan ia rencanakan malam ini.

***

Marseille, Prancis
Malam Hari

Shania sedang terduduk di depan TV sambil menonton film dokumenter tentang perang saudara di Afrika. Ia tentunya tak sengaja menonton namun untuk saat ini tayangan tersebut memikat Shania untuk menontonnya.

"Halo ?" sapa Shania mengangkat handphonenya.

"Yap, Shania. Gimana sehat ?" tanya Farisha.

"Oh iya agak mendingan, Makasih ya." jawab Shania.

"Besok Ayah aku nyuruh jemput utusan dari PPI London gitu di bandara, aku mager berat. Apa aku suruh adik aku buat jemput dia ya ?" kata Farisha.

"Loh kenapa gak kamu ajah ? Siapa tau dia cowok gitu, ganteng, terus kamu suka." kata Shania.

"Nah iya, itu boleh. Tapi sayangnya ayah aku gak ngasih tau dia cowok atau cewek dan tambahan mengejutkan lainnya adalah ayah aku gak ngasih tau namanya. Cuman ngasih nomor teleponnya, tapi aku belum telepon dia." tutur Farisha yang mungkin sedikit kesal.

"Jadi, aku harus ikut kamu jemput si perwakilan itu nemenin kamu gitu ?" tanya Shania.

"Maunya sih begitu, cuman ya kamu belum sehat, okedeh aku pergi berdua ajah sama Adik aku. Oke Shania, semoga cepat sembuh!" kata Farisha menutup teleponnya.

Shania tidak peduli kepada si perwakilan itu yang pasti, dirinya kini sedang asik menyaksikan film dokumenter yang ia tonton sekarang.

Namun, saat menonton, tiba-tiba handphonenya berbunyi, Shania bergumam kesal tapi setelah membaca notifikasi yang ternyata dari emailnya, ia langsung sumringah karena blogger kesayangannya, Sanzacks, memposting postingan baru.

I Was In Paris

Oke, sebelumnya gue minta maaf, soalnya udah lama banget gue gak posting sesuatu di blog ini. I had a lot of problems, love problem. Haha, canda. Kali ini, gue gak di London, tapi sedang berada di kota yang romantis menurut orang-orang. Hh!

"Hah ?! Di Paris ?!" Shania berteriak dalam hatinya.

Shania membaca semua dengan senang setiap kata demi kata yang dituturkan blogger favoritnya itu. Dari ia mendarat dan mengeluh soal tentang orang Prancis dan juga senang karena bisa bertemu dengan Kakaknya yang tentunya Sanzacks tidak beri tahu namanya.

Katanya malu. begitu alasan Sanzacks ketika ia tidak menyertakan nama Kakaknya.

Sanzacks mengaku bahwa ia sedikit kecewa dengan menara Eiffel, karena tidak seperti apa yang ia lihat difoto. Shania juga heran Sanzacks sama seperti Farisha, yaitu suka sekali melihat kota Paris dari atas di Arc de Triomphe. Shania maish bingung tentunya.

Gue suka Arc de Triomphe, gue merasa seperti di pusat pertemuan berbagai macam tujuan, ada yang pergi ke kantor mungkin, dokter mungkin, atau harus ke pengadilan, atau menjemput pacarnya. Maksud gue, Arc de triomphe tepat berada di titik pertemuan 12 jalan lurus, atau lebih jelasnya, silahkan meluncur ke wikipedia.

Abang gue udah punya pacar ternyata, cantik, gue udah ketemu, hampir ajah jatuh cinta, karena gue masih inget sama cewek yang gue rindukan sampai sekarang, dia nyebelin ya ? Ya! Masa dia beraninya ngelarang gue mencintai cewek lain ? Tapi tak apa, itulah istimewanya dia di hidup gue, dan gue bertanya-tanya, apakah dia masih mengistimewakan gue di hatinya ? fifty-fifty, oh no, im not sure, She probably hates me, haha.

Shania hanya tersenyum membacanya, walaupun itu tentunya bukan untuk dirinya, namun ia merasakan bahwa Sanzacks mewakili apa yang ia rasakan sekarang. Jika Sanzacks adalah laki-laki dalam cerita itu, maka Shania yang menjadi karakter perempuannya apabila cerita itu mengubah kelamin tokoh utamanya.

Dan gue bakal susun ulang perkataan Abang gue, sedikit mengganti :

Paris ? Menurut gue bukan yang romantis, walaupun gue bisa merasakan cinta disini. Suatu kota tidak akan mempengaruhi romantisme, bahkan di kampung perkumuhan pun, kalian bisa membuat suasana menjadi romantis, tak perlu jauh-jauh pergi, lingkungan sekitarmu adalah tempat yang romantis. Gelar Kota Romantis harusnya tidak ada, tidak ada. Karena kalian harus tau, bahwa cinta dan romantisme bisa dilakukan dimana saja.

Dan sekarang aku berharap, perempuan yang aku rindukan, membaca ini, melihat ini, dan menghafal semua kata-kata diatas.

Bahwa dimanapun aku berada, aku selalu cinta kepadamu.

To be continued~

Read more ...

Standupwrongway Fanfict JKT48 : Unreachable 2 (Part 8)

Saturday 26 March 2016
Marseille, Prancis

Shania melihat jam menunjukkan pukul 11 malam, ia tidak bisa tidur. Ia kini sedang berada di depan laptop sambil melihat-lihat timeline twitternya yang isinya hanya itu-itu saja. Ia baru saja berkeliling Marseille bersama Adam dari pagi hingga malam. Mereka berjalan-jalan ke Lereng bukit Le Panier yang merupakan tempat untuk menyaksikan koleksi mumi kucing dan sarkofagus di La Vieille Charite, rue de la charite.

Mereka pun juga mengunjungi Musee d'Art Contemporain yang berada di Cesar Palace yang berisikan seni-seni seperti patung, lukisan dan lain-lain. Perjalanan mereka pun mirip dengan karyawisata anak sekolah yang selalu datang mengunjungi situs-situs bersejarah. Mereka makan malam di restoran mahal yang terletak di hotel Adam menginap di Boulevard Michelet, menu makanannya pun cukup terbilang sangat mahal, satu porsinya saja bisa seharga 65 euro.

Akhirnya ia tak bisa tidur sampai sekarang. Ia lalu membuka handphone-nya dan melihat-lihat galeri Banyak sekali foto Adam dan dirinya, Shania melihat satu per satu dan tersenyum sendiri, ia merasa beruntung bisa berpacaran kembali dengan Adam walau Adam selalu terlihat seperti mengaturnya bahkan Adam sendiri selalu cemburu ketika tau bahwa Shania banyak mempunya teman laki-laki.

"Kamu bisa gak jangan dekat-dekat dia ? Aku punya firasat buruk." kata Adam.

"Loh kok gitu ? Dia baik kok, lagian kenapa sih kamu kaya gini terus kalau aku deket sama cowok ? Cemburu ya ?" kata Shania.

Adam sangat protektif, pikir Shania. Namun Shania memilih untuk berpikir positif dan menganggap bahwa itu adalah bentuk rasa sayang Adam kepada Shania.

Lalu dirinya tersentak ketika bunyi notifikasi emailnya berbunyi, lalu segera ia mengeceknya dan alangkah terkejutnya ketika ia melihat isi emailnya.

****

London, UK

Zaki menutup laptopnya setelah ia menulis kembali di blognya. Ia menulis tentang keadaannya sekarang yang baru saja dicampakkan oleh orang yang ia sayang. Sekarang ia tak tahu harus bagaimana, mau tidur tak bisa, ingin makan tapi tak nafsu, ingin bercerita kepada Damien namun tidak sanggup karena untuk saat ini itu terlalu sakit untuk diceritakan.

Apa ini karma ? pikir Zaki. Mungkin ia sedang merasakan apa yang di rasakan Shania ketika ia pergi meninggalkannya. Ia tentu sudah tau bahwa Shania sudah melupakannya karena ia sudah bersama orang yang baru yang perlahan-lahan menghapusnya..

****

Bandung, Indonesia

Valdy sedang makan siang di rumah makan padang di dekat rumahnya. Ia melihat jam menunjukkan pukul 2 siang dan jarum panjang sedang bergerak menuju angka satu.

"Pelan-pelan makannya, jangan cepet-cepet." kata Viny sambil memandang Valdy yang terlihat buru-buru.

"Iya-iya, lagian kan mau jemput kesayangannya Arraufar di stasiun. Btw, udah sampai mana dia ?" tanya Valdy.

"Tadi dia nge-line katanya bentar lagi nyampe."

Setelah makan mereka berdua menuju stasiun kota untuk menjemput Yuvia. Di jalan, mereka membahas apapun yang mereka lihat. Seperti tukang becak, pohon yang besar, dan lain-lain.

"Eh, Saritem dimana sih ?" tanya Valdy sambil melewati jalan di belakang stasiun.

"Aku mana tau, lagian kamu nanya pertanyaan yang gak ada mutunya sama sekali." kata Viny.

"Hahaha, kayaknya itu deh Saritem." kata Valdy lagi.

"Udah deh ah, bahas saritem mulu, lagian kamu mau ngapain kesana ? mau jual diri ?" ujar Viny.

"Udah jangan cemberut ah." kata Valdy sambil mencubit pipinya, ia lebih memilih mengakhiri pembicaraan tentang Saritem itu.

**

"Hai Viny!!!" seru Yuvia dari kejauhan.

"Hai!" jawab Viny.

"Gue gak di sapa nih ?" kata Valdy.

"Oh iya, hai Valdy, apa kabar ?"

"Biasa ajah, okelah langsung ajah ya pulang." kata Valdy.

"Dasar, jawabnya gitu kalau sama cewek lain." ujar Yuvia, sementara Viny hanya tertawa.

Yuvia ke Bandung dengan tujuan samar, sebelum hari itu, Yuvia tiba-tiba mengirim pesan lewat Line kepada Viny bahwa ia ingin bertemu. Viny dengan senang hati menerimanya, tapi kebetulan Viny lagi liburan di Bandung sehingga Yuvia mau tak mau harus pergi ke Bandung. Sendirian.

Setelah mereka sampai di rumah, Valdy langsung ke kamarnya, sementara Viny dan Yuvia ke kamar Marsha, sepupunya Valdy yang masih kelas 11 SMA yang tinggal bersama Valdy di rumah itu, setiap Viny ke Bandung pastilah ia tidur disitu.

Valdy lalu merebahkan dirinya lalu berpikir bahwa Yuvia sedang ada masalah dengan Arraufar. Di mobil pun Yuvia hanya terdiam, biasanya ia akan bercerita panjang lebar tentang ini itu, namun kali ini tidak.

Lalu terdengar nada dering dari handphone-nya, kemudian Valdy langsung menempelkannya ke telinga tanpa tahu siapa yang meneleponnya.

"Halo ? Siapa ini ?" tanya Valdy membuak percakapan.

"Ha-halo, Dy, lu sibuk ?" kata seseorang dengan suara yang agak ringan namun tidak berat.

"Eh, Zaki, buset ada apa nih nelepon ?"

Ada jeda yang lama sampai Zaki melanjutkan. "Gue mau cerita."

"Lu tau kan mahalnya nelepon dari London kesini ?" kata Valdy mencoba menjelaskan. "Mending lu cerita di Line ajah, gimana ?"

"Engga, gue mau langsung." kata Zaki.

"Okelah, ya ada apa ?"

Ada jeda panjang lagi, lalu terdengar seperti helaan nafas. "Gue putus sama Veranda."

"WHAT THE FU..... Beneran ?" Valdy terkejut mendengarnya. "Kok bisa ?"

"Entahlah, pokoknya dia kemarin ngajak ketemuan di cafe... Abis itu mutusin gue."

"Gak coba lu cegah ? Kok lu terima ajah ? Lu masih cinta kan sama dia ? Kenapa di lepas! Tai!" seru Valdy.

"Engga semudah lu bilang tai, Dy. Ini sulit banget posisinya, apalagi posisi gue. Di sisi lain gue cinta sama Veranda, tapi lu gak tau bahwa Naomi, temen satu flatnya itu sayang sama gue...... Mungkin.... Naomi cerita tentang kejadian lusa waktu gue gak secara sengaja ketemu dia di jalan, abis itu gue temenin ajah dia jalan ke Camden Town. Veranda selama ini gak keberatan gue jalan sama cewek lain, tapi mungkin Naomi cerita dan membuat Veranda serba salah jadinya ketika dia harus berpacaran dengan gue secara diam-diam sementara temannya mencintai gue." jelas Zaki.

"Bentar... Bentar.... Naomi ya... Kakaknya Sinka ?" tanya Valdy.

"Eh ? Gue pernah denger sih dia nelepon adiknya gitu, tapi gue gatau adiknya ternyata Sinka. Dunia sempit banget...." kata Zaki. "Intinya gitu, gue gak semangat banget hari ini, sumpah dari malam gue belum tidur pas abis nulis blog."

"Karma. Mungkin yang lu rasain sekarang adalah sama dengan perasaan Shania ketika ditinggal lu, sampai sekarang dia gak tau lu dimana dan sekarang pun dia udah cukup bahagia sama pacarnya."

Kembali ada jeda yang panjang. "Hoy Halo ?!"

"Oke Dy, makasih." Zaki menutup telepon.

Valdy terdiam dan tak percaya dengan kondisi sekarang. Yuvia sedang bermasalah dengan Arraufar, sementara Zaki putus dengan Veranda. Namun ia memilih tak memikirkannya, lalu ia mengirim pesan kepada sepupunya yang sedang merantau ke Prancis.

"Lu udah baca blog sanzacks belum ? Gue udah."

Walau faktanya ia baru akan membaca nanti malam, sebelum tidur.

****


London, UK

Zaki menundukkan kepalanya sehabis menelepon temannya itu.

"Karma. Mungkin yang lu rasain sekarang adalah sama dengan perasaan Shania ketika ditinggal lu, sampai sekarang dia gak tau lu dimana dan sekarang pun dia udah cukup bahagia sama pacarnya."

Kata-kata itu masih terngiang-ngiang di kepalanya sama seperti yang dia pikirkan semalam bahwa semua ini adalah karma. Ia merasakan kepalanya berat karena memang ia belum bisa tidur dari semalam. Kerjaannya adalah merenung meratapi foto Veranda yang kini masih menjadi wallpaper handphone-nya.

Jika Lakhsan melihatnya, mungkin Lakhsan akan segera membawanya ke rumah sakit. Memang, penampilan Zaki jauh dari kata sehat, ia terlihat pucat karena tidak tidur semalaman dan diotaknya dipenuhi pikiran akan Veranda.

Ia lalu membanting diri ke kasur dan memilih tertidur.

****

Marseille, Prancis

Shania terbangun dari tidurnya setelah semalam ia sukses tidur jam 1 malam. Badannya serasa berat dan bangkit dari kasur pun sangat sulit untuk sekarang. Tangannya meraih handphone dan mulai membuka satu per satu pesan yang ditujukan kepadanya.

"Lu udah baca blog sanzacks belum ? Gue udah." dari Valdy.

"Iya udah semalam, kebetulan pas potingannya masih anget! Dia cerita gitu, kayanya ada masalah percintaan deh." balas Shania.

Lalu ia memilih tidak bangkit dari kasur, ia tak ada rencana apa-apa hari ini karena Adam ternyata mendadak pulang ke London karena ada keperluan.

"Kok bilangnya mendadak sih sayang ? kan aku gak bisa nganterin kamu." balas Shania ketika Adam mengirimkannya pesan bahwa ia harus pulang. Namun tak ada balasan dan mencoba mengerti bahwa mungkin Adam sedang sibuk.

Ia bangun dari kasurnya karena memang hanya membuang waktu jika tidur-tiduran di hari libur ini. Setelah selesai mandi, ia mendapat pesan dari temannya.

"Shania, makan siang bareng yuk, ketemuan di stasiun ya."

***

"Shania!" seru temannya yang ternyata sampai duluan di stasiun.

"Hey! Lama gak nunggunya ?" tanya Shania karena merasa tidak enak.

"Oh engga kok, gimana kalau kita makan di Vieux Port ajah ? Ada restoran Tunisia disitu dan bonusnya aku traktir."

"Oh ayo!" tentunya, Shania tak akan melewatkan begitu saja tawaran temannya karena dia memang dituntut harus hidup hemat karena uang bulanannya tidak terlalu banyak.

Mereka lalu menaiki kereta yang disana terkenal dengan Metro menuju Vieux Port.

"Farisha, bukannya kamu punya mobil ya disini ?" tanya Shania ketika mereka sudah duduk manis di kereta.

"Iya, tapi asal kamu tau ajah, kalau naik mobil disini sama aja kaya di Indonesia. Karena pengemudi disini kebanyakan gak patuh sama peraturan yang ada, serasa jalanan milik sendiri. Terus kalau naik mobil juga susah buat parkir, disini kan jalanannya pada sempit atau emang sengaja kali ya biar semua penduduk disini pake transportasi umum. Pokoknya gitu deh." jelas Farisha kepada temannya.

Mereka berdua akhirnya mengobrol seputar urusan mereka di PPI. "Jadi, nanti kan ada sarasehan gitu deh di London, kebetulan PPI kota kita diundang kesana."

"Baguslah, lagian aku belum pernah ke London." kata Shania yang melipatkan tangannya.

"Loh kamu belum pernah, bukannya pacar kamu tinggal disana ya ?" tanya Farisha.

"Iya belum, aku cuman baca blog mahasiswa yang kuliah disana."

"Oh gitu, lagian ntar ada perwakilan dari London dateng kesini, buat silaturahmi aja." kata Farisha yang memang memegang peran penting di PPI kota ini. Shania pikir mungkin Adam yang akan menjadi perwakilannya, karena ia adalah ketua perhimpunan itu. Ia sangat senang tentunya.

Mereka pun sampai lalu langsung menuju restorannya. La Kahena, begitulah nama restoran Tunisia yang terletak di 2 rue de la Republique. 2e. Marseille. Karena ia ditraktir, Shania menyerahkan semua kepada Farisha untuk memesan makanan.

"Je veux deux le marguez et deux mint tea." kata Farisha yang memesan dua marguez, yaitu daging sapi yang dibumbui jintan serta memesan dua teh mint. Shania iri dengan pelafalan bahasa prancis Farisha karena memang Farisha sudah dari SMA menetap di Marseille bersama keluarganya.

"D'accord, Attendez quelques minutes." kata Pelayannya yang meminta menunggu beberapa menit.

"Oui." jawab Farisha sambil tersenyum, lalu ia menatap Shania. "Tenang, pasti enak!"

Tak lama kemudian makanannya sampai, ia lalu menyantao hidangan yang ada di depannya walaupun sekarang pikirannya tertuju kepada kota London. Bukan ingin bertemu Adam, melainkan ia penasaran siapa penulis blog Sanzacks dan apa yang dituliskannya.

Ia ingin ikut ke London.

*****

London, UK

Zaki terbangun dari tidurnya dan ia merasa badannya lebih ringan dari biasanya karena ada dasarnya ia hanya butuh tidur untuk memulihkan badannya. Namun tetap, ia masih belum bisa melupakan Veranda karena perempuan diciptakan untuk sulit dilupakan. Tidak mungkin melupakannya dengan satu tidur saja, pikir Zaki.

"Koperasi di KBRI masih buka gak ?" Zaki mengetik sebuah pesan kepada Sidik.

Tak lama kemudian Sidik membalasnya. "Ya ada lah, lu kesini kek."

***

"Surga dunia!" Zaki berteriak di dalam hati ketika melihat koperasi di KBRI banyak yang menyediakan makanan, gratis pula. Dari lontong sayur, kupat tahu, ketoprak, soto lamongan, sate padang, soto betawi dan lain-lain.

"Woy, Zaki, kemari kau!" teriak Alle yang ternyata juga berada di koperasi.

"Hahaha, iya bang, aku ngambil makanan dulu." Zaki langsung segera mengambil sate padang.

Namun matanya langsung melirik seseorang dengan tampilan yang cukup rapi dan itu cukup untuk membuat para perempuan disini selalu melirikya.

"Gimana ? Puas liburannya ?" tanya Zaki yang langsung duduk.

"Ya gitu deh dan lu harus tau pacar gue udah pindah ke Marseille 2 bulan yang lalu kalau gak salah." kata Adam.

"Kok gue baru tau sekarang sih, ah payah lu gak cerita-cerita." kata Zaki, sebenarnya ia memang tidak suka bertingkah sok akrab seperti itu, namun ia harus begitu lantaran Adam lah yang membuatnya tau ini itu tentang kota London dan Adam juga yang mengajak Zaki masuk ke PPI.

"Hehehe, gitu deh."

Tentunya Zaki tidak akan menanyakan siapa pacar Adam karena hal itu sangat tidak penting untuk kelangsungan hidupnya dan tentu saja saat ini ia sedang malas jika membicarakan perempuan.

"Acara sarasehan nye kapan nih ?" tanya Zaki.

"Awal september kayaknya, pas kebetulan awal musim gugur, ntar kita sebagai tuan rumah harus ngirim masing-masing perwakilan ke PPI kota-kota di eropa yang diundang. Tapi sayangnya, gue diharuskan ke PPI kota Den Haag, jadi gimana kalau lu ke Marseille ajah ? Siapa tau lu ketemu pacar gue kan." kata Adam sambil menyeruput es cendol.

"Hmm, okelah."

"Yaudah, gue keluar dulu ada keperluan. Bye." kata Adam yang langsung ngacir, cendolnya belum habis.

Zaki lalu melihat layar handphone-nya. Tidak ada satu notifikasi pun. Lalu ia mencoba menghubungi Veranda via line karena dia ingin sekali menemuinya, menanyakan apakah Veranda benar-benar ingin berpisah dengannya.

"Ichsan."

Zaki langsung menoleh ke orang yang memanggil nama depannya. "Eh iya, pak." Lalu bapak itu duduk di kursi bekas Adam.

"Hmm, udah lama gak liat kamu, Ayah sehat ?" tanya Bapak Ateng, atase kedutaan.

"Sehat pak, sekarang tinggal di Italia sama Ibu jadinya rumah di Indonesia kosong." jawab Zaki. Pak Ateng tentu kenal Ayahnya karena ternyata keduanya adalah teman semasa SMA dan dari pertanyaannya, Zaki yakin keduanya sudah lama tidak bertemu.

"Oh, nanti katanya pengurus PPI disini harus ngirim perwakilan ke PPI kota-kota lain kan ?" tanya Pak Ateng sambil memakan bakwan.

"Iya, saya disuruh ke Marseille." kata Zaki.

"Ehhh yang bener ? Anak sama Istri saya tinggal disana, kebetulan anak saya juga anggota PPI disana. Gimana kalau saya minta dia buat jemput kamu ?" tawar Pak Ateng sambil menyomot bakwan keduanya.

Zaki tentu tidak bisa menolak karena selain dia tidak tau apa-apa tentang kota Marseille, ia juga tidak mau rugi keluar uang. "Boleh, makasih Pak."

"Nanti saya kabarin dia, oke, saya ke dalam dulu masih banyak tugas."

Zaki melirik handphonenya kembali dan ia tentu kecewa karena Veranda hanya membaca pesannya tanpa sekali pun dibalas.

***

Marseille

Malam hari di kota ini sangatlah ramai karena memang kehidupan malam disini benar-benar hidup. Tempat terbaik di malam hari adalah di Vieux Port, Place Thiars, dan Escale Borely.

Shania melirik jam tangannya yang sudah menunjukkan angka 10. Bersama Farisha ia sedang menikmati live music di Dock des Suds yang terletak di 12 rue Urbain V, 2e, Marseille. Tempat yang memang sangat multikultural karena memang banyak artis-artis dari Kamerun, Aljazair, Korea Selatan, bahkan Kongo yang mengisi acara live music tersebut.

"Far, pulang yuk, aku ngantuk banget sumpah." kata Shania ketika jam sudah menunjukkan pukul setengah 12.

"Oke ayo pulang, aku maklumin soalnya kamu baru beberapa bulan disini. Ntar kalau udah biasa pasti minimal pulang jam 2 hahaha." Farisha menertawakan Shania.

Sesampainya di apartemen, Shania tidak langsung tidur, melainkan membaca kembali isi blog Sanzacks karena memang ia belum baca sepenuhnya.

Rindu mungkin tak akan lepas dari kehidupanku, walaupun ada 'orang baru' yang membuat rasa rindu itu lenyap, pasti rindu itu akan pulang kembali kepada batin ini. Aku tentunya ingin menghilangkan rasa ini semua, dengan berbaikan lagi dengannya, namun apadaya keputusan berada ditangannya, aku hanya menunggu pasrah ditemani rasa rindu yang tak kunjung padam.

Aku kembali merindukannya, yang sudah berada di pelukan orang lain, yang mungkin dulu merasakan hal yang sama seperti yang aku rasakan sekarang. Semua berbalik, mungkin ini karma.

Saat ini, aku berharap dunia berkonspirasi untuk menemukan aku dengan seseorang yang sangat aku rindukan...

Yang kini bahagia bersama orang lain.

Shania terpaku membaca tulisan itu. Mengapa semuanya seakan sama dengan yang ia alami dulu, ia merindukan seseorang yang tidak jelas keberadaannya. Kini ia bahagia bersama Adam tentunya dan perlahan-lahan Adam menyukseskan misinya untuk menghapus Zaki dari hatinya, namun ketika membaca tulisan itu, ia kembali mengingat sosok yang sangat ia rindukan dahulu. Dosa lamanya kembali dan kini ia terus memikirkan Zaki. Apakah ia sudah berubah atau sama sekali belum, atau ia sudah punya pacar baru atau belum.

Seolah ada yang memaksa, ia ingin bertemu dengan Zaki, walau hanya sekedar bertegur sapa karena dirinya cukup tau diri jika masih cinta kepadanya, karena saat ini ia bersama Adam yang selalu mencintainya.

"Oke, kapan kita akan berjumpa setelah sekian lama rindu ini kupendam ?"

****

3 Bulan Kemudian
London, UK

Zaki kini sedang berada di perpustakaan kampusnya. Perpustakaannya terbilang ramai namun kesunyiannya mengalahkan kuburan. Ia menyapa pelan-pelan teman-temannya yang sedang mengerjakan tugas karena memang jika ada kegaduhan sedikit saja, itu hanya membuatnya dimarahi oleh orang-orang yang sedang serius.

"What the hell are you doing here ?" tanya Roberto, orang amerika latin yang senantiasa mengobrol dengan Zaki, Roberto sangat menyukai hal yang berbau Indonesia.

Zaki duduk disebelahnya lalu berbisik. "Fishing." ia kesal, karena sudah jelas semua orang pergi ke perpustakaan untuk membaca buku, mengerjakan tugas, dan mencari gebetan. "You have to think if you want to ask someone."

"I'm kidding."

Ia lalu melanjutkan membaca buku yang disarankan dosennya. Tebalnya sangat manusiawi, sekitar 600 halaman lebih. Di sisi lain, ia masih belum bisa melupakannya, ia selalu mengirim pesan lewat Line, namun hanya dibaca saja. Mencoba menelepon, tidak diangkat.

Selesai dari perpustakaan, ia memutuskan untuk menuju flat Veranda. Tindakan berani sekaligus bodoh menurutnya, karena mungkin ujung-ujungnya ia hanya diusir.

Memasuki akhir musim panas, tentunya suhu udara di kulit Zaki terasa manusiawi. Karena Zaki memang sangat menyukai musim panas dan ia sangat membenci apa itu musim dingin. Suhu 33 derajat celcius masih bersahabat dengan kulitnya. Berbeda dengan temannya yang berasal dari Rusia, Igor, kulitnya memang diciptakan untuk tinggal di kawasan dingin, sementara ia akan seperti orang sekarat jika keluar dalam waktu yang lama di musim panas.

Ia kini sudah berada di depan pintu flat Veranda, jarinya sangat bernafsu untuk memencet bel yang ada di samping kirinya. Lalu Zaki memencet belnya sebanyak 2 kali, tak lama kemudian pintu itu terbuka.

"Eh Zaki." kata Naomi yang membuka pintu. Zaki entah harus bersyukur atau tidak, bersyukur karena yang membuka Naomi yang tak mungkin mengusirnya, menyesal karena ternyata Veranda bukanlah orang yang ia lihat pertama kali.

"Naomi, Veranda ada ?" tanya Zaki.

"Masuk dulu deh." kata Naomi yang mempersilahkan Zaki masuk.

Zaki melihat bahwa flatnya sama sekali tidak berubah, sama seperti ia terakhir kali datang bulan lalu.

"Gak berubah ya." gumam Zaki yang lalu duduk di kursi meja makan.

"Apanya ?" tanya Naomi yang sedang membuatkan minuman.

"Ya flat ini." jawab Zaki. "Kok sepi, Veranda gak ada ya ?"

Naomi datang dengan membawakan Zaki minuman dan kebetulan ia sangat haus. "Veranda lagi pergi."

"Ke ?"

Naomi tersenyum, jarang-jarang ia tersenyum, pikir Zaki. "Ke Paris."

"Ehhh, sama siapa ?" tanya Zaki.

"Katanya sih sama temennya, tapi gak tau juga."

Zaki bingung dengan jawabannya, seperti terdengar bahwa mereka sedang tidak akur. "Oh begitu."

Lalu mereka berdua hanya diam, karena tidak ada lagi yang perlu dibahas.

"Naomi."
"Zaki."

Mereka berdua berkata secara bersamaan. "Kamu dulu." kata Naomi.

"Hehehe, aku mau nanya." kata Zaki, Naomi mengangkat kedua alisnya sambil menunggu pertanyaan Zaki. "Kamu punya adik kan ?"

"Iya, emangnya kenapa ?" tanya Naomi.

"Oh engga cuman nanya ajah, soalnya kebetulan ada temen aku yang kakaknya tinggal di London." kata Zaki.

"London itu luas, Zaki." ujar Naomi sambil tersenyum lagi yang membuat Zaki salah tingkah.

"Sinka ?"

Naomi tersentak. "Eh, Sinka itu adik aku. Emang aku ga pernah cerita ya ?"

"Hahaha, dunia ini kan udah sempit, Kak Naomi." kata Zaki yang kembali memanggil Naomi dengan kata 'Kakak' "Itu temen sekelas aku pas SMA, kak."

"Kok pake 'kak' sih ? Gaenak tau." kata Naomi, namun Zaki hanya tersenyum.

Sesudah mengobrol lama, Zaki pamit pulang karena dirinya di suruh untuk datang di rapat PPI karena Adam sedang pergi. Entah kenapa Zaki melihat Adam seperti orang yang tidak tau malu, ia ketua, namun selalu berpergian seakan tak ada yang perlu di pedulikan.

Namun Zaki hanya menghela nafasnya dan mulai berjalan menuju flatnya.

*****

Paris, Prancis

"Fotoin aku ih!" seru Shania sambil memberikan handphone-nya kepada Farisha.

Mereka berdua sekarang sedang berada di Katedral Notre Dame yang terkenal itu. Farisha hanya tersenyum ketika Shania bertingkah seperti anak kecil yang selalu berkeliaran dan meminta foto. Ia memaklumi karena ini adalah pertama kalinya Shania pergi ke Paris.

Setelah dari Katedral tersebut, mereka berdua pergi ke Place de la Concorde, yaitu alun-alun yang berbentuk oktagonal yang terletak diantara Tuileries Gardens dan Champs Elysées. Farisha menjadi tour guide untuk Shania yang hanya mengangguk ketika mendengar penjelasannya.

"Abis ini mau kemana ?" tanya Farisha.

"Hmm, Eiffel ?"

"Hahaha, itu terakhir ya, kebetulan cuacanya bagus, gimana kalau kita ke Arc de Triomphe ?" kata Farisha.

"Kenapa ?"

"Jujur, aku lebih suka liat Paris dari ketinggian di Arc de Triomphe daripada di Eiffel, hehehe." jelas Farisha yang langsung di iyakan Shania.

Shania pikir Farisha benar, emang dari atas Arc de Triomphe ini terlihat bagus. Ia melihat kota Paris begitu kecil, dari kejauhan ia bisa melihat Menara Eiffel yang menjadi ikon kota tersebut. Namun sekelebat bayangan Zaki menghampiri pikiran Shania. Ia percaya bahwa matanya akan menangkap sosok laki-laki yang ia coba lupakan itu.

"Kalau aku ke Paris pasti aku kesini Shan." ujar Farisha. "Bahkan menurut aku, tempat ini adalah tempat yang pas untuk memikirkan seseorang."

Shania hanya mengangguk. Ia pun berpikir realistis sekarang, dirinya sekarang sudah bersama Adam dan ia sangat mencintainya dan tak perlu lagi merisaukan seseorang yang sudah menghilang tanpa jejak. Baginya, orang seperti itu harusnya tidak ada, orang seperti itu harusnya dilupakan. Namun hatinya yang menolak melupakannya, namun benaknya selalu memaksa untuk lupa.

"Makan yuk Shan ? Kebetulan aku laper banget nih." ajak Farisha yang lalu menarik tangannya.

Saat berjalan ke restoran, Shania sudah membayangkan makanan yang lezat yang membuat perutnya berbunyi, rasanya ke Paris belum lengkap tanpa menyantap makanan di restoran terkenal di Paris.

Sudah sampai di restoran, Shania melihat ada seorang perempuan yang di kenalnya lalu tanpa pikir panjang Shania menghampiri perempuan tersebut.

"Eh...." Shania berpikir sejenak. "Kak Veranda ?" entah kenapa ia masih memanggilnya dengan sebutan Kakak, namun ia tidak peduli dengan itu.

"Ah kamu.... Shania ya ?!" seru Veranda terlihat senang.

"Hahaha iya, apa kabar Kak ?" tanya Shania basa-basi.

"Baik kok, kamu di Paris ada acara apa ?

"Liburan ajah, kebetulan aku sekarang kuliah di Marseille." jawab Shania sambil tersenyum.

Lalu Farisha menghampiri mereka berdua. Shania dengan cepat mengenalkan temannya ini. "Eh Farisha, ini Veranda. Kak Veranda, ini Farisha."

"Farisha."
"Veranda."

"Kakak kesini sama siapa ?" tanya Shania.

"Ada, tapi dia lagi keluar sebentar." kata Veranda. Lalu terdengar suara pintu terbuka. "Nah itu dia."

Shania lalu membalikkan badannya dan melihat orang yang dimaksud Veranda..

Shania merasa bahwa sekarang bumi sedang menimpa dirinya..

Keras.. Keras..

To Be Continued...

Read more ...